Chereads / Suami Diskonan / Chapter 2 - 2. Pasien Cantik

Chapter 2 - 2. Pasien Cantik

Chiraaz mengusap air mata dengan ujung tangannya. Menatap kepergian suaminya yang semakin dingin padanya. Nyonya Merry masih berusaha mengejar anaknya sampai keluar dari ruang rawat inap.

"Ada apa dengan si El? Kenapa dia bersikap begitu pada Chiraaz?" gumam Nyonya Merry keheranan. Ditatapnya punggung Eljovan, sampai anaknya masuk ke dalam lift.

Saat ini Chiraaz merasa semakin tak punya muka, karena sudah kehilangan harga diri di mata suaminya. Setelah kejadian semalam, di rudapaksa oleh empat orang pria bergantian, ia kian merasa seperti seorang pelacur.

Nyonya Merry masuk ke dalam ruangan, wanita itu melihat raut sedih di muka menantunya. Chiraaz memaksakan seutas senyum di wajah sendunya. Nyonya Merry duduk di samping ranjang, diraihnya tangan Chiraaz dan mengusap-usap punggung tangan menantunya.

"Chiraaz sayang, apa kamu bertengkar dengan El?" tanya Nyonya Merry

"Tidak, Mams," jawab Chiraaz singkat, ia menelan ludahnya.

"Jangan bohong sama Mama, ada apa dengan kalian. Selama Mama pulang kampung, sepertinya terjadi sesuatu," selidik Nyonya Merry, menatap tajam pada Chiraaz.

Chiraaz menghela napas dalam-dalam, ia tidak bisa lagi membohongi hatinya yang mulai sakit. Tiba-tiba Chiraaz terisak, menutup wajah dengan kedua tangannya. Nyonya Merry hanya diam membiarkan Chiraaz menumpahkan air matanya.

Pikiran Chiraaz berkecamuk, antara malu dan takut bercampur satu. Ia sangat takut kehilangan Eljovan, suami yang sangat dicintainya. Namun, setelah beberapa saat Chiraaz baru menyadari, jika Nyonya Merry tidak mengintimidasi dirinya.

"Kamu tadi malam kenapa?" tanya Nyonya Merry.

"Ak-- aku, tidak ingat Mams," elak Chiraaz.

"Semalam, polisi menemukan kamu di pinggir jalan. Barang-barang kamu juga hilang," jelas Nyonya Merry.

"Tidak apa-apa, Mams. Yang penting sekarang, aku selamat," jawab Chiraaz datar.

"Mama, mau laporkan kasus ini pada polisi. Tapi, El melarang dan ya ... Mama tidak bisa berbuat banyak." Nyonya Merry mengendikkan bahunya.

Mendengar perkataan sang mertua, Chiraaz menelan salivanya. Apakah Eljovan sudah benar-benar tidak mencintainya? Sehingga tidak mau tahu lagi tentangnya. Tapi, apa salahnya selama ini? Seribu tanya menyerang otak Chiraaz.

"Chiraaz, kamu tahu bukan, Mama sudah menjadikan kamu putri. Bukan lagi seorang menantu, Mama tahu, kamu istri dan menantu yang baik. Tapi, melihat perubahan Eljovan hari ini, Mama merasa heran, ada apa dengan kalian?" Nyonya Merry mencecar Chiraaz dengan pertanyaan menohok. Wanita paruh baya itu masih penasaran.

"Aku juga tidak tahu, Mams. Ketika Mams, sudah pulang kampung, tiba-tiba El berubah. Dia sangat dingin, bahkan tidur pun, El tidak mau bersama," jawab Chiraaz.

"Tidak mungkin El berubah, pasti ada sebabnya."

"Itu dia, aku juga tidak tahu!" tukas Chiraaz kesal. Ia memalingkan muka ke sembarang arah.

Nyonya Merry langsung terdiam, melihat perubahan di wajah Chiraaz. Ia jadi tidak enak hati dan berkata, "Ya sudah, kamu istirahat saja. Nanti kita bicarakan lagi di rumah," ucapnya, lalu melepaskan genggaman dari tangan Chiraaz. Menantunya itu hanya mengangguk setuju.

***

Di ruang kerjanya, Eljovan menatap setumpuk berkas milik pasien yang datang untuk melakukan konseling. Belakangan ini ia sering menerima laporan kasus tentang perselingkuhan yang marak terjadi. Anak-anak korban perceraian orang tuanya pun, tak kalah banyak kasusnya.

Eljovan menghela napas panjang, sudah sebulan pikirannya sangat terganggu. Setelah menerima sebuah amplop berisi foto Chiraaz dengan seorang pria tengah berpeluk mesra. Ia tidak menyangka, istri yang dianggapnya baik dan polos, mengaku tidak pernah pacaran. Nyatanya menyimpan sebuah rahasia.

Saat tengah termenung, telepon kerja berdering keras. Eljovan langsung menjawab panggilan, Mei-ling asisten pribadinya membertitahu pasien terakhir yang akan menemuinya.

"Baiklah, suruh dia masuk sekarang." Eljovan menutup telepon, lalu mengambil berkas milik pasien barunya.

Tidak lama kemudian, masuklah seorang wanita cantik ke dalam ruangan. Eljovan segera menyambut kedatangannya dan mengulurkan tangan.

"Selamat sore Nona Aletha," sapa Eljovan dengan ramah.

"Sore Dok," balas wanita tersebut, menyunggingkan senyum lebar.

"Silahkan duduk."

"Terima kasih." Aletha meletakkan tas di kursi sebelah yang kosong. Kemudian, ia duduk tenang di hadapan Eljovan.

"Bagaimana kabar hari ini?"

"Seperti yang dokter lihat, hanya baik diluar saja," jawab Aletha berkelakar.

"Oke, oke, panggil saja saya Eljovan. Jangan terlalu formal," pinta Eljovan.

"Baik, dokter El," sahut Aletha.

Eljovan memulai sesi diskusi dengan Aletha dengan berbicang ringan. Selama bicara Eljovan memindai mimik muka yang berubah-ubah. Aletha terlihat nyaman dengan pembawaannya yang tenang dan santai.

Perlahan wanita itu mulai membuka apa yang tengah dirasakannya saat ini. Meski masih terdengar ragu, Eljovan dengan sabar menunggu sampai Aletha berhenti bicara. Lagi-lagi ia harus menghadapi pasien yang menjadi korban perselingkuhan.

"Jadi, sampai sekarang. Hubungan anda dengan pasangan, masih belum jelas?" tanya Ejovan.

"Ya, saya sangat membenci dia. Tapi belum bisa melepas, karena suatu hal."

"Apa yang membuat anda membencinya?"

"Karena kelakuannya yang itdak bermoral. saya kehilangan sesuatu yang sangat berharga." Aletha menundukkan wajahnya, setitik air bening meluncur dari sudut matanya.

"Oke, saya rasa cukup untuk hari ini. Nanti, saya akan hubungi Nona...."

"Aletha, panggil saja Aletha."

"Ok, baiklah." Eljovan mengulumkan senyum lebar.

"Tolong bantu saya, untuk memulihkan trauma sakit yang sampai saat ini masih belum hilang," kata Aletha.

"Saya akan berusaha, akan tetapi, semua akan berhasil jika ada tekad dalam diri anda," jawab Eljovan.

Aletha menyunggingkan senyum, wanita itu bangkit dari duduknya. "Terima kasih, sudah jadi teman yang menyenangkan untuk bicara," ucapnya.

"Sama-sama," balas Eljovan.

Seperginya Aletha dari ruangannya, Eljovan kembali termenung. Mendengar cerita dari pasien barunya, ia seperti berkaca pada dirinya sendiri. Eljovan meraih ponsel di dalam tasnya, ia melihat ada beberapa pesan dari Nyonya Merry yang memintanya kembali ke rumah sakit.

Eljovan mengabaikan pesan tersebut, lalu mematikan ponselnya. Jam kerja telah usai, Eljovan bersiap untuk pulang. Karena malaspulang ke rumah, Eljovan memutuskan pergi ke sebuah bar demi mengusir suntuk di hatinya.

Kembali ke rumah sakit, Chiraaz masih nampak lemas. Semua badan terasa sakit, sejak tadi ia menunggu mertuanya berkomentar. Tapi, sampai sore menjelang, Nyonya Merry masih diam saja. Hati Chiraaz bertanya-tanya, ada apa sebenarnya.

"Mams." Chiraaz memanggil ibu mertuanya yang tengah sibuk membaca majalah.

"Ya sayang ada apa?" sahut Nyonya Merry, meletakkan majalah dan kaca matanya.

"Tidak ada polisi datang lagi?"

"Sudah Mama bilang, suamimu melarang Mama."

"Ap- apa-- yang, mereka katakan saat menemukan ku?" tanya Chiraaz gugup.

"Mama tidak tahu, mereka bicara dengan El."

Chiraaz langsung berkeringat, ia takut jika polisi itu menceritakan segalanya. Melihat kecemasan di wajah menantunya, Nyonya Merry semakin menaruh curiga. Pasti ada hal yang mereka sembunyikan, wanita itu meraih ponselnya dan melihat kontak Eljovan. Pesannya hanya dibaca saja, Nyonya Merry mendengkus kesal.