"Apa, kamu tidak mempunyai pasangan?" tanya Eljovan, suasana diantara mereka mulai mencair dan kesadarannya pun berangsur pulih.
"Pasangan? Apa arti mereka jika tak pernah hadir dalam hidup kita, dalam arti yang sesungguhnya."
Eljovan mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan perkataan si wanita.
"Jessy, panggil saya Jessy," ucap wanita itu memperkenalkan diri.
"El," jawab Eljovan singkat.
Jessy berjalan ke arah nakas, wanita itu mengambil air dari atas nakas yang ada di samping ranjang. Ia sengaja menumpahkan ceceran air dari mulut sampai ke dadanya untuk menggoda Eljovan. Tetesan air terus mengalir hingga ke perutnya yang putih mulus.
Melihat pemandangan di depannya, Eljovan tidak bisa menahan ludahnya yang tergiur oleh badan Jessy. Sesuatu di dalam celananya merasakan ereksi, tapi Eljovan masiih menahan diri. Seakan paham apa yang dirasakan oleh Eljovan, Jessy berbalik dan berjalan pelan menghampiri pria itu.
Wanita itu berdiri dengan posisi menantang, menampakkan hutan lebat hitam di belahan kakinya. Eljovan menelan ludah, tapi matanya tak bisa lepas dari gundukan puncak dada Jessy yang menggoda. Jessy mengambil tangan Eljovan dan menyelipkan di belahan kakinya.
"Sentuh saja, jangan ragu," ucap Jessy seraya menjulurkan lidahnya.
Eljovan menarik tangan, lalu berjalan ke arah kamar mandi. "Tidak, kita sudah punya pasangan. Jangan lakukan sesuatu yang melanggar batasam pernikahan," tukas Eljovan.
"Ayolah, anda jangan terlalu kolot," cibir Jessy tersenyum tipis.
"Terserah!" seru Eljovan, ia masuk ke dalam kamar mandi. Membasuh wajahnya yang terasa sangat gerah, melihat kelakuan Jessy membuat hatinya merasa jijik. Apa hal itu pula yang dilakukan oleh Chiraaz di belakangnya, pikir Eljovan.
Lama diam di kamar mandi, pada akhirnya tidak bisa menenangkan keperkasaannya yang terus menegang. Eljovan menarik napas berkali-kali, tapi bayang Jessy terus melintas di pelupuk matanya. Otaknya diserang kegelisahan yang tidak bisa ia alihkan.
"Sial! Mantra apa yang wanita itu taburkan!" gerutu Eljovan sambil terus mencoba menenangkan dirinya.
Kepalanya mulai terasa pusing, dadanya terasa berdebar hebat. Tiba-tiba Jessy masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu memeluknya dari belakang, Eljovan yang sudah tegang tidak bisa menahan diri. Akhirnya mereka saling melumat bibir, tangan Jessy bergerak liar membuka celana Eljovan.
Tanpa banyak kata dan bicara, mereka berdua menghabiskan malam bersama. Tanpa ada waktu yang terlewat sedetikpun, hingga menjelang pagi mereka terus saja bertempur di atas kasur.
***
Pagi hari Nyonya Merry sudah pergi dari rumah sakit. Akhirnya akting sayang pada Chiraaz diakhiri juga. Chiraaz yang sudah biasa di perlakukan demikian, hanya bisa mengelus dadanya.
Padahal, kondisinya saja belum pulih. Perlahan Chiraaz turun dari ranjang, perlakuan kasar pria jahanam yang menodainya masih menyisakan luka.
"Aku bersumpah, akan membalas perlakuan mu suatu saat nanti Nyonya Hwan!" maki Chiraaz menggerutu dalam hatinya.
Ia terus melangkah dengan hati-hati, dengan susah payah untuk bisa sampai ke kamar mandi. Kenangan bersama Eljovan melintas dalam pikirannya, Chiraaz sangat merindukan sosok suami yang lemah lembut padanya. Jangankan mengabaikannya seperti itu, sedikit sakit saja Eljovan akan khawatir.
"El, aku kangen banget sama kamu. Kenapa sih kamu berubah, aku kangen kamu, El," lirih Chiraaz berucap.
Setelah membasuh muka, Chiraaz segera keluar dari kamar mandi. Saat membuka pintu, ia terkejut melihat Fayaaz, sahabatnya sudah duduk di tepi ranjang.
"Fay--azz."
"Orang sakit, kenapa tidak ada yang menunggu? Kasihan sekali ratu cantik ini," kata Fayaaz melontarkan godaan.
"Hmm." Chiraaz melangkah pelan, sambil meringis kesakitan.
Fayaaz berlari menghampirinya, lalu membantu Chiraaz sampai berbaring lagi di ranjangnya.
"Sudah sarapan?" tanya Fayaaz.
"Belum."
"Suami kamu, ke mana?"
"Sibuk, banyak klien sepertinya."
"Sampai tidak bisa menunggui istrinya yang sakit?" Fayaaz mengernyitkan dahinya.
"Yaaz, sudahlah. Aku malas bahas dia, kamu tahu bukan. Belakangan ini dia sangat berubah." Mimik muka Chiraaz berubah murung.
Fayaaz menggenggam erat jemari sahabatnya. "Mungkin, dia sedang khilaf atau terganggu sesuatu. Jadi, aku harap kamu juga sabar ya," ujar Fayaaz memberikan semangat.
"Ok, no problem," sahut Chiraaz berusaha menyunggingkan senyum.
"Apa sudah ada polisi datang?" selidik Fayaaz.
Chiraaz terbelalak mendengar pertanyaan pria itu, ia tidak mau menjawab, sebab sangat tahu karakter Fayaaz. "Sudah, suamiku sudah urus," jawabnya berbohong.
"Akku harap, siapapun orangnya yang melukai kamu. Dibalas dengan hal setimpal!" seru Fayaaz geram.
"Yaaz, kalau Mama datang. Bisa tolong jemput?"
"Dengan senang hati, tuan putri." Fayazz membungkukkan badannya.
Seutas senyum tersungging dari bibirnya, Chiraaz mengalihkan pembicaraan dengan membahas masa sulit mereka. Chiraaz dan Fayaaz sudah lama bersahabat, sejak mereka saling mengenal sesama perantau. Mereka berasal dari Turki, lalu memutuskan mencari pengalaman hidup di Korea.
Seringkali Chiraaz merepotkan sahabatnya, bahkan untuk hal remeh temeh. Tapi, Fayaaz tidak pernah mengeluh, ataupun keberatan. Hingga Chiraaz menikah pun, pria itu masih dengan sukarela terus mengulurkan bantuan.
Bahkan, jika dibanding dengan Eljovan, Fayaaz merupakan orang pertama yang akan tahu suasana hati Chiraaz. Setiap kali menghadapi masalah, mereka akan saling mencari satu sama lain untuk sekadar teman bicara.
***
Setelah malam panjang dan ganas yang dilalui begitu indah dengan wanita tak dikenal. Luka hati Eljovan sedikit terlupakan, serangan manis nan membekas dari Jessy. Selalu berhasil menyunggingkan senyum di wajahnya.
Karena hari libur, Eljovan memutuskan pulang ke apartemen. Ia sama sekali tidak peduli pada Chiraaz yang masih berada di rumah sakit. Setibanya di loby, ia melihat beberapa pegawai tengah sibuk membawa barang.
Sepertinya hari ini akan ada penghuni baru pikirnya. Eljovan melangkah masuk ke dalam lift. Melihat bibirnya yang merah merekah, ia teringat lagi pada lumatan bibir Jessy yang membangkitkan hasratnya.
Eljovan tanpa sadar tersenyum sambil mengigit bibir bawahnya. Pikirannya sibuk mengenang satu malam yang membahagiakan. Saking sibuk dengan lamunannya, saat akan keluar dari lift, Eljovan tidak melihat jika di depannya ada seorang wanita yang tengah keberatan membawa barang, tabrakan pun tidak terelakkan.
Braaakk!
"Oh, astaga! Kalau jalan lihat-lihat! Anda tidak punya mata apa." Wanita itu menggerutu menatap tumpukan barangnya yang sekarang berserakan.
"Maafkan-- saya, Nyo---." Ucapan Eljovan terhenti, matanya memindai dari atas sampai bawah. Wanita yang ia tabrak adalah kliennya. "Aletha?"
Wanita itu mengangkat kepala, nampak raut wajahnya juga terkejut. "Pak dokter, anda di sini?" tanya Aletha gugup.
"Ya, saya tinggal di sini. Kebetulan sekali ya, kita bertemu lagi."
"Tidak pernah ada yang kebetulan di dunia ini. Karena semua adalah kehendak Tuhan," jawab Aletha.
Religius sekali wanita ini, ucap Eljovan di dalam hatinya.
"Oh ya, saya tinggal di sini. Kamu?"
"Saya baru pindah, kebetulan ada bisnis boutique di sekitar sini. Yah, supaya tidak jauh saja."
"Oh, begitu. Baguslah, kita bisa jadi tetangga." Eljovan menyunggingkan senyum.
"Iya. Apa artinya, anda membuka konsultasi secara pribadi?" Aletha mengedipkan sebelah matanya.
"Baiklah, tetangga baru," balas Eljovan melakukan hal serupa, mereka pun berjabat tangan.