Di dalam kamarnya, Fayaaz tengah asyik memadu kasih bersama Laura, kekasihnya. Karena sedang cuti dari pekerjaan, hari ini ia bebas dari aktifitasnya yang membosankan di depan komputer. Sejak pagi entah berapa ritme yang mereka lakukan, keduanya larut dalam buaian asmara.
Sentuhan bibir Fayaaz yang mendarat di sekujur tubuh Laura membuat wanita itu lemas tak berdaya. Meski berkali-kali kalah mencapai klimaks, Laura tetap saja meminta Fayaaz memuaskannya. Guncangan tubuhnya semakin kuat seiring dorongan tubuh Fayaaz yang semakin cepat.
"Ahhh, kau gila Yaaz. Kenapa semakin, aah--." Ucapan Laura terbata-bata, tubuhnya sudah tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa meremas seprai, mendesah sepuas hatinya merasakan kenikmatan yang Fayaaz berikan.
"Kenapa sayang? Masih kurang kencang, heh?" Fayaaz semakin mempercepat gerakan tubuhnya.
"Ahh, kau gila! Hari ini luar-- biasa, huuuhh." Laura yang tengah membelakangi Fayaaz mulai menggeliat.
"Aku berikan sesuatu untukmu ya," ucap Fayaaz.
"Tidak-- tidak, aku masih ingin menikmati--."
Krrrinnnggggg.
Bunyi ponsel Fayaaz yang ada di atas nakas mengganggu konsentrasi pria itu. Laura yang posisinya dekat dengan ponsel melirik ke arah layar. Di sana tertulis nama Chiraaz yang menelpon.
"Siapa yang menelpon, sayang?" tanya Fayaaz.
"Chiraaz," jawab Laura singkat.
"Astaga! Kenapa aku sampai lupa, aaahhh."
Fayaaz mencabut keperkasaannya lalu beranjak turun dari tempat tidur dan menjawab telepon dari Chiraaz. Di sebrang telepon Chiraaz terdengar menggerutu dan mencecar Fayaaz yang belum datang. Fayaaz segera menutup telepon dan meraih pakaiannya.
"Sayang, mau ke mana? Kita belum selesai." Laura merajuk melihat Fayaaz mengenakan pakaian.
"Nanti malam saja ya sayang. Aku lupa ada janji dengan Chiraaz," jawab Fayaaz.
"Kenapa sih Yaaz, kalau soal Chiraaz kamu nggak pernah bisa mengabaikan." Raut wajah Laura berubah muram.
"Dia sahabatku, Laura."
"Sahabat rasa cinta," ejek Laura tersenyum tipis.
"Please, jangan mulai perdebatan tidak penting. Kalau kamu masih mau, tunggulah aku pulang. Tapi jika tidak, silahkan saja," kata Fayaaz.
"Hmmm." Laura memutar bola matanya malas, ia menarik selimut dan menutupi tubuhnya.
Fayaaz melirik sang kekasih sebelum pergi, wajahnya mengulumkan senyum lebar. Ia mendekati Laura dan mendaratkan kecupan mesra di bibir wanita itu. Laura memejamkan matanya menikati sentuhan bibir kekasihnya.
"Cepat kembali, aku menunggumu," ucap Laura.
"Iya sayang, aku janji akan segera kembali," balas Fayaaz.
Fayaaz berjalan keluar kamar, Laura diam di tempatnya menatap kepergian Fayaaz. Sebagai wanita biasa, ia merasakan cemburu luarbiasa, terlebih Fayaaz selalu mementingkan Chiraaz. Namun, di lain sisi ia pun menyadari bahwa hubungan mereka hanya sebatas friendzone saja.
"Kamu memang lelaki baik, sayang sekali kita tidak ingin saling memiliki," ucap Laura.
***
"Fayaaz kurang ajar! Ada apa dengan dia hari ini. Tidak biasanya dia telat seperti sekarang!" seru Chiraaz kesal.
Karena menunggu Fayaaz yang sangat lama datang, ia pun mengubah lokasi mereka bertemu. Chiraaz sudah menghabiskan sushi dan ramen daging, daripada bosan menunggu sahabatnya lebih baik makan saja, pikirnya. Hari ini suasana hatinya juga sedang tidak baik.
Sikap Edward padanya berubah drastis, pria itu menunjukkan sikap dingin yang tidak biasanya. Tidak terlalu banyak menyuruh, tapi kebungkamannya cukup menyebalkan. Entah kenapa hatinya merasa serba salah dengan Edward yang sekarang. Chiraaz seperti tidak mengenali sosok bosnya yang seperti biasa mengerjainya.
Jika sedang seperti ini, Chiraaz sangat senang menghabiskan banyak makanan daripada harus marah-marah tidak jelas. Sesekali ia melirik ponsel dan berharap Fayaaz segera datang. Perutnya sudah mulai kenyang, tapi ia masih ingin makan.
"Terus saja makan, nanti badanmu semakin gendut." Suara Fayaaz sontak membuat Chiraaz menoleh.
"Kamu? Baru datang jam segini? Tidak salah? Apa sih hal penting yang membuat kamu bisa mengabaikan aku!" seru Chiraaz mencecar Fayaaz.
"Maaf, maaf, aku sedang ada perlu." Fayaaz duduk di depan Chiraaz.
"Perlu apa? Wajahmu lelah sekali."
"Lumayan lelah menghabiskan waktu dengan wanita." Fayaaz mengedipkan sebelah matanya.
"Hmm, kamu masih bersama Laura?"
"Iya."
"Sudahlah, kenapa jadi bahas itu. Aku minta kamu datang, karena butuh bantuanmu, Fayaaz." Raut wajah Chiraaz nampak menegang, Fayaaz menyimaknya dengan serius.
"Ada apa Chiraaz? Apa Eljovan menyakiti kamu? Biar aku beri pelajaran pria itu!" Fayaaz mengepalkan tangannya.
"Bukan Eljovan, Fay. Dia-- masa laluku," jawab Chiraaz ragu.
"Maksudmu, wanita itu?" Sebelah alis Fayaaz terangkat.
"Iya, dia ada di sini, Fay. Dia tetangga kami sekarang." Chiraaz menghela napas dalam-dalam.
"Mau apa dia datang ke sini." Fayaaz nampak berpikir keras, hingga keningnya berkerut beberapa lapis.
Chiraaz mendorong piring dari hadapannya, membicarakan Aletha membuat selera makannya hilang. Chiraaz mengatakan kegelisahannya pada Fayaaz, bagaimana sikap Aletha yang mengganggunya. Ia ingin Fayaaz melakukan sesuatu supaya Aletha pergi.
"Aku takut Fay, jika dia merusak kebahagiaanku bersama El. Belakangan ini kami sedang kembali dekat," ucap Chiraaz.
"Oke, aku paham Chiraaz. Nanti aku pikirkan jalan keluarnya," sahut Fayaaz.
"Thanks Fayaaz, aku mengandalkanmu." Seutas senyum tersungging di sudut bibir Chiraaz.
"Oke, aku selalu ada untukmu Chiraaz," ucap Fayaaz. "Bagaimana dengan suamimu? Apa dia berubah?"
"Maksudmu?"
"Hehehe, Eljovan pernah menemuiku. Kami bicara sebentar tentang kamu," jawab Fayaaz.
Chiraaz menelan ludahnya, pantas saja Eljovan sangat berubah belakangan ini dan ternyata sahabatnya yang menasihati. Fayaaz menceritakan obrolan mereka malam itu, meski sedikit tidak mengerti akibat perutnya yang kenyang. Chiraaz tetap mendengarkan sahabatnya bicara.
Mereka terus berbincang dan nenyusun rencana untuk menyingkirkan Aletha. Fayaaz yang begitu menyayangi Chiraaz menyetujui permintaan sahabatnya itu. Chiraaz berkata dengan jujur, bahwa dirinya takut menghadapi Aletha yang sekarang dan sangat berbeda.
"Dia sangat mengerikan, wajahnya menipu, Fay," kata Chiraaz.
"Tunggu, tidak mungkin dia mengejar kamu, jika hanya menyangkut kasus dulu. Apa ada hal yang tidak kamu ceritakan padaku, Chiraaz?" Fayaaz menyelidik.
"Apa maksud kamu Fay? Kamu curiga aju berbohong?" Chiraaz merasa berang mendengar pertanyaan sahabatnya.
"Bukan seperti itu, mau bagaimanapun Chiraaz. Aku pernah melihat Aletha dan tahu wanita itu. Kenapa dia baru kembali mengejar kamu, sedangkan kejadian itu sudah cukup lama. Aku merasa-- ada yang janggal saja," ungkap Fayaaz.
"Sudahlah, jika kamu tidak percaya," tukas Chiraaz.
"No, bukan begitu. Ayolah jangan marah, baiklah, nanti aku kerjakan semuanya. Kamu tenang saja ok."
"Hmmm." Chiraaz menundukkan wajahnya, ia tahu cara membuat Fayaaz tidak banyak lagi bertanya.
Walau sudah saling mengenal satu sama lain, sampai saat ini Fayaaz masih sering terkecoh dengan manipulasi yang Chiraaz lakukan. Ada janji yang pernah terucap dari mulut pria itu untuk selalu melindungi sahabatnya.
Dalam diamnya Fayaaz menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Logika pikirannya mengatakan ada yang Chiraaz sembunyikan darinya. Tapi melihat raut wajah sedih sahabatnya, Fayaaz merasa sangat tidak tega.
"Aku tidak mengerti, entah kenapa aku selalu ingin melindungi kamu," ucap Fayaaz dalam hatinya, matanya menatap lekat pada Chiraaz.