Di boutique, Aletha tengah sibuk mengecek stok barang ditemani Anne, asisten pribadinya. Hatinya sangat bahagia karena penjualannya semakin meningkat setiap hari. Meski terbilang baru mendirikan usaha di sana, boutique milik Aletha lumayan banyak dikunjungi dan menjadi favorit para sosialita dalam waktu sekejap.
"Ann, baju ini kemarin masih ada beberapa warna. Ini, tinggal satu saja ya," kata Aletha, senyum semringah tersungging di wajahnya.
"Iya, Bu, kemarin ada rombongan sosialita yang memborong baju itu. Katanya sih mau dipakai seragam," jawab Anne.
"Oh ya? Tidak biasanya mereka mau seperti itu?" Sebelah alis Aletha mengernyit.
"Mereka sering ke sini selama dua bulan ini, Bu. Sepertinya, mereka bergerak dalam hal positif juga. Ya, saya sering mencuri dengar, mereka membicarakan kegiatan amal."
"Oh begitu, baiklah. Kamu sudah catat semua?"
"Sudah, ini Bu." Anne menyerahkan buku laporan pada Alteha.
"Oke, thanks ya Ann. Kamu memang bisa diandalkan," ucap Aletha seraya mengusap lengan Anne.
"Ibu berlebihan, ini sudah tugas saya," sahut Anne merendahkan.
"Jangan terlalu formal, Ann. Kita ini rekan." Aletha mengedipkan sebelah matanya.
"Iya." Anne tersenyum lebar, mempunyai bos seperti Aletha merupakan anugerah terbesar baginya.
"Saya kembali ke ruang kerja. Hari ini, kita tutup lebih awal. Biar Pak Kim saja yang menutup boutique," kata Aletha sambil berlalu begitu saja.
Menatap setiap sudut boutique membuat Aletha merasa bahagia. Ia tidak pernah menduga bahwa dirinya akan bisa bangkit dari keterpurukan hidupnya setelah melewati insiden besar. Dalam kurun waktu hampir setahun hidup berpindah-pindah tempat, ia pun memutuskan untuk menetap.
Selama berjuang hidup di negeri orang, ia sama sekali tidak mengabari keluarganya. Tekadnya melupakan semua yang terjadi dan meninggalkan segalanya sudah bulat. Namun, ia tidak pernah menduga jika di negara ini, ia akan bertemu dengan Chiraaz.
"Hmm, kenapa harus aku ingat dia," gumam Aletha, kepalanya menggeleng pelan. Menatap lagi sekeliling boutique, seutas senyum tersungging dari sudut bibirnya.
Aletha melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja, saat akan membuka pintu. Ia melihat ada seorang pria tengah bicara dengan Pak Kim, penjaga boutique. Sesaat Aletha menatap pria tersebut, mengamati pria itu yang dikiranya seorang pengunjung. Ia pun masuk ke dalam ruang kerja dan duduk di kursinya.
Tidak lama Aletha duduk di kursinya, Pak Kim masuk ke dalam ruangan dan mengatakan padanya, bahwa di luar ada seorang pria bernama Fayaaz ingin bertemu. Awalnya Aletha menolak dengan alasan sedang sibuk. Tapi saat sedang bicara dengan Pak Kim, Fayaaz tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.
"Maaf saya ada perlu," ucap Fayaaz, sudut bibirnya menyunggingkan senyum sinis.
Pak Kim refleks berbalik, lalu mencegah Fayaaz. "Anda tidak sopan, silahkan keluar."
Aletha melirik pada Fayaaz, ia seperti mengenal pria itu, akan tetapi tidak ingat di mana. Sikap Fayaaz begitu tenang, akan tetapi sorot matanya yang tajam membuat Aletha waspada.
"Anda siapa? Sudah membuat janji dengan asisten saya?" tanya Aletha.
"Anda sungguh lupa dengan saya, Nyonya?" Fayaaz balik bertanya, seringai tipis lagi-lagi hadir di sudut bibirnya.
"Saya orang sibuk dan sering bertemu banyak orang," tandas Aletha.
"Saya ingin bicara dengan anda, Nyonya Ale."
"Tapi saya sedang tidak ada waktu. Saya sibuk dan pekerjaan sedang banyak." Aletha memicingkan sebelah matanya.
"Ayo, silahkan anda keluar. Jangan paksa saya bertindak kasar," kata Pak Kim berusaha menarik tubuh Fayaaz.
"Tunggu! Saya ingin bicara dengan Nyonya Aletha, ini soal Chiraaz," teriak Fayaaz berseru kencang.
"Chiraaz?" Aletha bergumam pelan, matanya memicing pada Fayaaz.
"Nyonya, bisakah kita bicara empat mata?" tanya Fayaaz mendesak Aletha.
"Pak Kim, biarkan dia duduk dan tinggalkan kami," titah Aletha. Mendengar nama Chiraaz disebut, mendadak suasana hatinya berubah buruk. Aletha membatin dan bertanya-tanya, siapa Fayaaz sebenarnya.
"Saya akan berjaga di depan pintu, Bu," kata Pak Kim. Aletha hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Fayaaz melangkah menuju meja kerja Aletha, matanya tidak lepas menatap wanita di depannya yang duduk dengan anggun. Aletha mengulurkan tangan nenunjuk kursi, Fayaaz langsung duduk berhadapan.
"Sepertinya kita pernah bertemu?" tanya Aletha. Dari kerutan di wajahnya, ia nampak berpikir keras.
Fayaaz menyunggingkan senyum sinis, matanya memicing tajam pada Aletha. "Jauhi Chiraaz dan jangan ganggu dia, jika anda berani mengganggunya, maka bersiaplah menghadapi saya."
Dahi Aletha berkerut keras, hatinya bertanya-tanya. "Siapa anda? Untuk apa anda mengancam saya? Apa anda pikir saya akan takut?" balasnya tak kalah sengit.
"Anda tidak perlu tahu siapa saya, Nyonya Aletha. Cukup jauhi Chiraaz, maka urusan kita tidak akan berlanjut," tukas Fayaaz.
"Tunggu, anda datang ke sini baik-baik. Jadi, bicara dengan sopan dan bukan memberikan ancaman."
"Terima kasih atas waktunya Nyonya Aletha. Saya harap, Anda ingat untuk tidak mengganggu Chiraaz lagi," tandas Fayaaz, ia bangkit lalu bersiap pergi.
"Oh, saya tahu sekarang. Rupanya betina itu memiliki kekasih," cibir Aletha.
"Maksud anda?" Fayaaz nengernyitkan dahinya.
"Anda kekasih Chiraaz," jawab Aletha datar.
"Terserah anda," balas Fayaaz tersenyum tipis. Pria itu segera berbalik lalu pergi meninggalkan ruangan kerja Aletha.
"Siapa dia? Kenapa tiba-tiba dia datang dan mengancamku!" seru Aletha kesal, ia segera menelpon seseorang dan memintanya mencari tahu siapa Fayaaz. Tangannya terkepal kuat seiring amarah yang timbul.
Aletha membereskan berkas di atas meja, karena mood nya rusak akibat kehadiran Fayaz. Ia memutuskan akan bekerja di rumah saja, dengan cekatan ia memasukkan berkas ke dalam tas. Pak Kim dengan sikap sigapnya membawakan tas milik Aletha dan mengantarkan ke parkiran.
"Terima kasih Pak Kim," ucap Aletha.
"Sama-sama Bu, hati-hati di jalan." Pak Kim membukakan pintu mobil.
"Iya," sahut Aletha menyunggingkan senyum lebar.
"Aletha, apa kabar?"
Suara seorang pria yang tidak asing di telinganya mengejutkan Aletha. Sontak ia menoleh pada pria tersebut, matanya membelalak lebar, napasnya berderu dengan cepat. Sosok pria yang memanggil namanya itu perlahan berjalan menghampirinya.
Aletha seakan mati kutu dibuatnya, kakinya gemetar hebat. Namun, ia berusaha mengendalikan diri.
"Apa kabar sayang?"
***
Usai menemui Aletha di boutiquenya, Fayaaz segera datang ke rumah Chiraaz. Karena ada Eljovan di rumah, mereka tidak bebas membicarakan hal tersebut. Chiraaz sengaja membuat suaminya sibuk di dapur, supaya ia bisa mengobrol berdua dengan sahabatnya.
"Bagaimana Fayaaz? Apa kamu sudah menemui wanita itu?" tanya Chiraaz.
"Sudah, tapi sepertinya dia sekarang lebih tangguh," jawab Fayaaz.
"Celaka, aku harus bagaimana sekarang? Susah payah aku membangun kehidupan bersama Eljovan. Aku tidak mau pernikahan kami hancur," ucap Chiraaz panik, hingga gelas teh yang dipegangnya bergetar kuat.
"Hei, rileks Chiraaz. Kita akan pikirkan jalan keluarnya sama-sama." Fayaaz mencoba menenangkan Chiraaz.
"Tapi--, Fayaaz."
"Ada apa ini?" tanya Eljovan.