Chereads / BURONAN / Chapter 4 - Chap 1: Pagiku Gerahku

Chapter 4 - Chap 1: Pagiku Gerahku

METHANOM XU

[Dua bulan sebelum ditemukannya surat-surat.]

Pamanku berkata, "Isi sekolah itu hanya orang-orang idiot."

Aku tahu tujuannya berkata begitu demi mengurungkan niatku memasuki sekolah yang tengah kududuki.

Senin ini, mungkin menjadi ratusan kalinya aku ditampar kalimat Pamanku tersebut. Yang berarti, tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah menerima resiko terpenjara keidiotan sekolah ini.

"Mamat Koreng beli baju murah!"

"Cakep!"

"Matanye cantik amat, sih, Neng, buset dah!"

"Idih! Ngeri, Bos!"

"Pepet teros!"

Serupa deretan piala emas yang berbaris angkuh di rak-rak sekitar kami. Lorong gerah lantai dasar ini dipenuhi kerumunan cowok senior yang mengeluarkan tawa knalpot dan ogah kutatap balik.

Cuaca pertengahan April ini begitu menyengat. Langit biru. Lantai biru. Akuarium raksasa yang terpajang di samping rak-rak piagam pun sejernih campuran Blau.

Tarian ikan mas gembul di antara bunga-bunga dan gelembung aerator itu terasa meledekku.

Sungguh kehangatan yang membuatku antusias menempelkan kepala seseorang ke tiang-tiang besi terbakar.

"Eh, Metanol, lo nggak bosen apa bikin kite bolak-balik auditorium?"

Astaga! Padahal bukan aku sendiri yang ... eh! Kenapa aku terpancing bagian itu? Berani-beraninya menyebutku—

"Awu, nih, mana lo nggak pernah kelihatan keringet. Alias, tetep cakep aje, sih!"

"Eaaa!"

Belum pernah aku memutar bola mata seganas lecutan panah Katnis Everdeen!

Sial, masih pagi, kenapa geng itu tiba-tiba bertingkah?

Di hari-hari biasa, bahkan tak ada seorang pun yang berani menatapku. Lantaran hanya butuh satu lirikanku, setiap makhluk langsung menyesali keputusan hidup di planet yang sama denganku.

Tak terkecuali Geng Amoeba, perkumpulan nongkrong paling sok kaya dan tidak jelas seantero SMA Jakarta.

Sesampainya aku di taman belakang dengan terik mematikan, gedung-gedung korporat Ibu Kota berdiri menantang langit tanpa awan. Para siswa yang sudah mendarat di sini terlihat membeludak.

Dari jauh, kudapati geng cewek gaul yang terlihat lucu berebut berteduh pada satu-satunya pendopo sempit.

Bangku-bangku taman dikuasai sirkel populer lain yang menggenggam kipas elektrik ke leher dengan alis mengkerut. Menandakan prinsip mereka yang tetap ingin mendapat spotlight, meski terpaksa terbakar mentari.

Sisanya, masih mengenakan masker sambil dikibas-kibaskan.

Cih, meski menjengkelkan, sebenarnya pemandangan hangat ini benar-benar kondisi pascapandemi yang kuharapkan.

Namun selain menandakan berakhirnya pandemi, keramaian ini pun berarti Gedung Auditorium megah kami belum dibuka. Maka aku tak bisa ngacir duluan ke sana.

Daripada jantung dan hafalan pidatoku semakin terobrak-abrik, sebaiknya aku kabur ke toilet.

Terakhir kami dibuang panas-panasan begini tiga hari lalu.

Hari itu acara penyerahan piala lomba Pramuka. Sebelumnya ada medali lomba lukis. Sebelumnya lagi penyerahan piala bulutangkis.

Hingga jauh berminggu-minggu sebelumnya ada penyerahan medali Olimpiade Sains Nasional Kotamadya yang dihadiri olehku. Tidak ada yang bertanya, sih, tapi aku belum naik ke panggung sejak terakhir diserahkannya medali OSN Jakarta Pusat tersebut.

Oke, aku minta maaf. Bukan untuk misuh-misuh tiada henti, tapi untuk tidak menjelaskan dari awal. Hari ini penyerahan medali tingkat provinsi.

Seluruh angkatan diperintahkan menuju Auditorium, demi menyaksikan upacara penyerahan prestasi yang bikin mabuk panggung.

Berbicara tentang pidato, sekiranya aku berharap bisa menghafal ulang naskahku di toilet ini.

Treeek.

Sialnya, pintu jelek ini belum dibetulkan! Padahal sudah rusak sejak penyerahan sertifikat OSN-Sekolah pertamaku, dan itu bukan yang terakhir kemarin, melainkan berbulan-bulan lalu!

Ketikan di artikel saja bilang "sekolah modern", aslinya? Interior berdinding marmernya memang mirip restroom pusat perbelanjaan, tapi gara-gara kayu soak ini terseret lantai, kehadiranku terpaksa ditusuk pelototan yang menguasai isinya.

"Ey, Nomnom! Ketemu di sini!"

"Nommie! Selamat ya! Cie, medali emas!"

Ya, jelas siswi kelas lain yang jarang berbicara denganku akan desak-desakan menegur.

Kabar baiknya, mereka masih perempuan dan tiada hal aneh yang keluar dari mulut mereka—selayaknya cowok-cowok di luar. Mau tidak mau, aku harus memasang senyum dan respon terima kasih normal.

Dalam sekejap, mereka sudah kembali pada gosip harian masing-masing.

"Mau pipis, Nom?"

Yah, sebenarnya tidak juga, tapi karena seorang cewek ... oh, astaga, itu ketua kelasku! Saking padatnya, kukira semua gadis di sini bukan orang yang kukenal!