Detik ketika tubuh atletnya membuka pintu kecil di ujung koridor, silet penuh horor menusuk kami dari bilik gelap belakang panggung.
Nuansa film peri di luar seketika berubah jadi suram.
Tujuh sosok yang kukenal sebagai anggota grup OSN terlihat enggan menatapku. Beberapa menyapa laki-laki yang berjalan di depanku, sementara sisanya sibuk menunduk ke ponsel dan melirik-lirik sekitar seolah kabel studio tiba-tiba menjelma jadi gebetan mereka.
Selamat datang di habitat asli Methanom Xu. Bukan bagian berkumpul dengan klub bergengsi ini, melainkan bagian dicuekinnya.
"Aduh, gerah banget, deh!"
"Iya, nih, dari luar nyengatnya nggak ada otak."
Entah hanya perasaanku, atau cewek-cewek ini sengaja mengeluhi gerahnya cuaca gara-gara kami membuka pintu. Padahal AC sudah menyala.
"Zo, lo kepanasan nggak, sih?"
Oooh! Idih, bisa-bisanya aku tak paham!
Apa lagi masalahnya kalau bukan cari perhatian ... si robot di sampingku! Ew.
Mengacuhkan mereka, mataku menangkap seorang siswi asing berambut ungu pastel tengah menyodorkan kepala ke sela-sela panggung. Hanya menampilkan juntaian rambut permen kapas halusnya yang terjatuh anggun di punggung.
Siapa dia? Pengurus kabel?
"Si Juned udah ada?" Cowok berambut gondrong dikuncir separuh bertanya.
"Udah. Udah mulai ramai juga."
Sesaat logat Asia Timurnya merespon, gadis itu langsung menghadap kami. Tak tanggung-tanggung, ia berani menatapku tanpa ragu tak seperti yang lain.
Detik inilah, aku serasa ditampar identitas aslinya.
Astaga, pertemuan terakhir kami di penyerahan medali Jakarta Pusat masih menampilkan sosoknya yang berambut hitam legam.
Kini tampangnya berubah nyentrik persis idola K-Pop! Apalagi ditambah struktur wajah Korea orientalnya yang sering dimiripkan Kang Seulgi! Aku masih mampu membayangkan andai rambut lurusnya tergerai hitam. Maka di tengah kegelapan ini, dia pasti mirip Sadako berjas kantoran.
Oh, no.
Dia tiba-tiba tersenyum padaku?
Seketika listrik menyengat perutku tanpa diundang!
Sial, kenapa aku tiba-tiba kesetrum begini? Dia itu Ketua PMR sekolah yang sudah biasa melayani murid dengan sumringah. Bisa-bisanya aku kesulitan meresponnya! Minimal balas dengan senyuman manusia normal, kek, Methanom!
"Oi, Besties!"
Tahu-tahu suara kakek menyebalkan tak asing memotong fokus kami.
"Yok, kalian boleh naik, nih!" Sosok kakek culun berjas formal muncul dari tangga samping panggung. Sibuk menepuk tangan di udara. "Sound system siap? Mikrofon? Proyektor? OSIS! OSIS!"
Merespon deretan perintah beliau, anak-anak berjaket merah gelap berbordir OSIS 23-24 bermunculan ke tempat kami.
Hari ini semua lebih lambat dari biasanya, ya? Pintu dibuka telat, pengurus OSIS muncul lambat.
"Yok, bisa, yok!"
Entah terhubung oleh sengatan mules yang sama tau apa, kesembilan dari kami saling menatap tanpa aba-aba.
Gila, gara-gara saling bertatapan, aku terpaksa berbalas pandang dengan dia lagi.
Sumpah, cewek pindahan Korea yang dikenal sebagai Seorin Kim itu cantik banget! Argh, sial, aku jadi kepingin buang air betulan!
"Atur napas! One, two, three!" Bang Angga, cowok gondrong yang bertanya pada Seorin soal Pak Juned tadi, tiba-tiba mengacungkan punggung tangan di tengah-tengah kami. Memancing kedelapan sisanya, termasuk aku, mengikuti apa yang dia maksud.
"OSN Seventy-Three!" Tiba-tiba cowok bernama Reihan bersorak.
Dadaku menghirup udara!
"Introvert di balik meja, profesional di atas panggung!"
"Wooo!"
Menghempas tangan ke udara, sorakan canggung kami membuat OSIS yang mulai disibukkan kabel tercengar-cengir. Aku tahu banget, pimpinan mereka yang bertubuh militer di tengah kami tak bisa menahan merah di pipi.
"Weleh, weleh! Slogan Bapak, tuh! Copyright! Copyright!" Si kakek menyebalkan, alias guru pembinaku, Pak Yusrizal, yang muncul memerintah OSIS tadi menjadi yang pertama berkomentar.
"Hahaha! Tapi rasis bet tu slogan, Pak! Saya kan ambivert!" timpal Reihan, cowok sekelasku yang berbeda bidang lomba denganku dan Kaizo.
"Ya elah, ekstrovert nggak punya temen aje nyebut diri gituan!" sulut Bang Angga, senior yang tak kalah bawel dari si Reihan. Merekalah dua orang paling jago membuat tawa di perkumpulan yang terkenal kaku ini.
"Woy, rasis!"
Tak henti tertawa, kami melangkah naik.
Di bawah lampu emas, bising kursi penonton yang menanjak berubah menjadi gemuruh sambutan. Pintu utama belum ditutup dan masih dimasuki siswa-siswi. Sorakan liar mereka membuat koordinasi guru-guru kepada kami tak terdengar.
"Win, Ijo lo, tuh!"
"Jidat Ijo kelemahan gue, woy!"
"Anjir, itu sebelahnya Seorin?"
"Makeover rambut dia? Kek talas bogor, anjir, haha!"
"Mata lo talas! Cantik bet kek bias gue gitu!"
Berusaha tak berfokus pada orang-orang, kuamati dinding yang menjulang sepanjang jajaran kursi mereka.
Sepuluh bendera perwakilan setiap jurusan dijajarkan pada sekat-sekat geometris.
Lima bidang Saintek di kanan, lima bidang Soshum di kiri. Menunjukkan jati diri dan motto agung masing-masing tatkala lampu emas menyorot jatuh bagai prisma ilusi.
"Yang tak terlihat bukan berarti tidak terjadi."
Si paling favoritku tiada lawan!
Jika kutolehkan kepala ke pojok panggung, yang langsung mataku dapati adalah meja triplek besar dengan sembilan bantal berisi medali-medali berkilau.
Emas, perak, perunggu. Jajaran map sertifikat tebal pun menemani masing-masing logam arogan itu.
Perhiasan yang paling kusuka.
Selang pintu utama menggelegar, Pak Junaedi Anode, alias si Juned, sang penanggung jawab kesiswaan, naik menguasai podium dengan langkah garang naturalnya.
Sosok jutek idaman para siswi yang sering disebut kembaran Chef Juna itu tampak jauh lebih tampan berbalut tuxedo elegannya.
"Angga Darmawangsa, Informatika; Diana Vabella, Ekonomi; Harris Alrasyid, Matematika ...."
Saat suara berat Pak Juned mengabsen nama dan bidang lomba kami, atmosfer di ruangan megah ini terasa berubah menjadi momen agung.
Tak lama setelah Chef Juna versi boncel itu selesai, musik pengumuman khas sekolahku—yang lebih mirip Windows menyala—tiba-tiba berdentang.
"A fine morning, Students. Today, the nine history makers of 73 International Public High Schools are standing before us."
"A fine morning, Chief!"
Persis seperti biasanya. Ketika sebuah suara robot bergema, seluruh lampu meredup. Kesembilan dari kami memunggungi penonton. Logo sekolah berbentuk perisai bersayap dan teks "Almighty Chief of 73" tampil pada layar proyeksi.
"Achieving something valuable is not easy, but maintaining it will be more difficult. Put all your strength into the national level! That is your next war!"
Meski suara robot ini terdengar tak bernyawa, di balik layar itu, tak lain tak bukan tersembunyi kepala sekolah kami.
"Yes, Chief!"