Aku tidak sempat dan belum bernafsu membicarakan pergaulan di sekolah ini, tapi mumpung kalian sudah menyaksikan satu persen kehidupan absurdku, sebaiknya aku mengucapkan penyambutan.
Selamat datang di SMA Internasional Negeri 73. Sekolah sejuk ramah etika, yang dikuasai orang-orang sesat.
"Hafalin pidato bisa di rumah, di kelas! Ngapain ke toilet segala?"
Bising suara om-om terus mengejar langkah cepatku. Sambil menembus tubuh-tubuh penuh semerbak parfum, kembali kukenakan jas almamaterku dengan agresif.
Sial, beruntung tempat ini dipenuhi orang tajir! Andai aku sudi berurusan dengan keluarga merepotkan mereka, sudah kutendang setiap orang yang menyenggolku!
"Yah, lo kenapa chat kalo tahu posisi gue?"
"Ya, karena kebiasaan kau mute semua notif—"
Saat mendapati ruang kosong di antara tubuh orang, aku langsung melesat meninggalkan dialognya yang masih separuh.
Sesampainya kami di selasar belakang Auditorium nan sepi, sosok rasksasa di belakangku menerjang berhenti ke hadapan.
"Dengar!"
Hanya satu gerakan, sosok jangkung persis karakter CEO mesum dalam novel-novel grafik ini serasa mampu menghentikan waktu.
Urat leher dan kepalan tangannya terlihat mengeras. Gertakan gigi di balik mulut rapat itu seakan siap menyemprotku dengan makian paling brutal.
Kuharap tanpa perlu bersuara, dia sudah membaca ketidakminatanku mendengar apa pun dari gayaku bersedekap lengan.
"Berasa tokoh utama, ya, bebas nggak ikut diskusi?"
Sumpah, malesin banget.
"Jangan pernah silent chat siapa pun! Aku nggak minta apa pun selain itu!"
Angin menghempas helaian rambut di kedua pipi sejukku. Cuitan burung kebun belakang mengupas hening.
Kupu-kupu kecil bermain di antara bunga-bunga tanaman rambat di sekeliling kami.
Aku tahu, aku tahu banget suasana ini sepantasnya kuisi dengan monolog, "Oh my God, si ganteng ini peduli padaku? Apa yang harus kulakukan? Uh, sikap dinginnya bikin meleleh banget!"
Sayangnya aroma kayu, dedaunan, pomade, bahkan parfum khas lelakinya tak kuasa menghentikan keinginanku meninjunya!
Lebih disayangkan lagi, aku hanya bisa membayangkan melakukan itu!
Aku yang kebanyakan nonton serial kriminal atau cowok ini memang kerja sampingan jadi intel, sih? Sudah tiba-tiba tahu keberadaanku di toilet, bagaimana bisa menebak isi Whatsappku?
Mengerikan!
"Hùp pàak pai leey!" Mulutku mengumpat secepat tubuhku menyalipnya. 'Bacot, mending diem, deh!'
"Tolong hormati batas kemampuan lawan bicara!" Reaksinya dari belakang terdengar persis husky lupa disuap makan.
"Ya!" bentakku menoleh berhenti. "Oke, gue bakal unmute semua yang gue mute!" Ribet!
"Termasuk?"
"Grup OSN."
"Termasuk?"
Hah? "Grup kelas."
"Termasuk?"
Sial, maunya apa, sih?
"Kontak lo!"
Demi astronot yang susah kentut di angkasa, itu adalah lirikan paling ganas yang pernah menusukku dari wajah batunya.
Melesat mendahuluiku, barulah kusadari jawaban itu yang dia ingin dengar.
Padahal aku tak pernah memberitahunya. Si jenius ini pasti sadar aku mensenyapkan kontaknya dari durasiku menjawab pesannya selama paling cepat empat jam.
Lagian memang apa salahnya mute kontak personal, sih? Toh, kami bukan sedang pedekate!
Iya, iya! Justru kebalikannya. Kebanyakan pesan dia berupa info penting mengenai OSN yang justru membuatku pusing.
Lagi-lagi dia menggunakan gaya rambut yang berbeda dari hari-hari emo-nya.
Poni CEO itu lagi. Poni hitam jabrik yang biasanya dibiarkan terjatuh bagai tirai penghalang antara dunia luar dan rahasianya, pagi ini sengaja disisir melengkung seolah membuka diri aslinya.
Kaizo, satu-satunya senior yang menjuarai OSN-P Fisika selain diriku.
Setiap pidato ketua OSIS dibutuhkan, setiap menerima tamu sekolah, gaya rambut memamerkan dahi segar ini yang selalu dikenakannya.
Aku dan semua siswi—yang diam-diam menyimpan foto cowok ini dari unggahan kabinet OSIS—pun tahu tujuannya demi menampilkan aura formal dan berwibawa. Memang berhasil, sih, berhasil membuat panas akun gosip di media sosial.
Aktor Tiongkok nyasar, blaster Jepang-Rusia, Ketos Es Batu. Semua orang berlomba memberinya julukan. Padahal semesta pun tahu, panggilan paling pas untuknya jelas si emo Light Yagami!
Detik ketika tubuh atletnya membuka pintu kecil di ujung koridor, silet penuh horor menusuk kami dari bilik gelap belakang panggung.