Chereads / Between Cat / Chapter 9 - Tamu

Chapter 9 - Tamu

Ia pikir dengan cara menolak perjodohan dari kedua belah pihak akan membuat perubahan yang baik, namun nyatanya salah. Setelah lelaki itu adu argumen di ruang kerja papanya, ia malah dikejutkan dengan perkataan asang papa bahwa minggu depan akan segera dilaksanakan pernikahannya. Sejujurnya ia ingin membantah, namun kepala keluarga itu langsung mengambil keputusan yang menbuatnya bungkam.

"Berani bantah! Malam ini juga Papa akan pesankan tiketmu ke Afrika. Biar Mamamu tahu kalau anaknya yang satu ini tak bisa menuruti permintaan papanya."

Alasan Galaksi yang paling kuat tak ingin meninggalkan rumah yaitu, tak ingin berpisah jauh dari makam mamanya. Bagaimanapun, ia sangat menyangi orang yang telah melahirkannya itu kala masih hidup. Namun, kebahagiaannya harus direngut ketika beliau divonis sakit kangker stadium 4. Dan yang menjadi pesan terakhir dari sang ibu adalah ia diminta untuk menuruti semua permintaan sang papa.

"Ma, apa Mama senang kalau aku akan menikah dengan May? Memang perempuan itu tidak terlalu buruk, tapi Galaksi tetap saja tidak mencintainya, Ma," lirihnya seraya menatap foto ibunya. "Apa yang harus Galaksi lakukan, Ma?" imbuhnya dengan nada sendu.

Matanya terpejam, bulir bening menetes dari sudut matanya. Ia sangat rindu akan kehadiran ibunya. Semenjak ia bangku SMA, ia tak dapat lagi melihat langsung wajah perempuan yang bernama Minara itu.

Lamat-lamat kepalanya ia jatuhkan ke atas meja dengan mata yang masih memejam, hingga tanpa sadar ia menangis lalu tertidur.

Getar ponsel membuatnya membuka mata. Tanganya mencoba meraba sekeliling kepalanya, kalau tidak salah semalam ia meletakkan benda pipih itu tak jauh dari kepalanya. Kesal tak mendapatkan apa yang ia cari, lelaki itu mencoba untuk mengangkat kepala namun gagal. Sakit, itulah yang ia rasakan. Detik berikutnya ia mengumpat karena kelalaiannya sendiri yang membuatnya begini.

Tangannya memijit sedikit bagian tengkuknya agar kepalanya bisa ia tegakkan. Setelah terasa agak mendingan, ia mencari keberadaan benda yang menbuatnya terbangun. Rupanya ia sudah tergeletak di lantai, pantas saja ia tak menemukan keberadaannya di atas meja.

Saat melihat layar ponselnya, rupanya ada 7 kali missed call dari Azwan dan Waslam. Jemarinya bergerak untuk memanggil Azawa, penasaran apa yang menyebabkan sahabatnya menghubunginya pagi-pagi buta.

"Woi, Gal! Lo kenapa belom ada nongol di kampus? Nggak ada kelas pagi, ya?" tanya Azwa tiba-tiba.

"Gue masuknya nanti siang jam 1. Kalau lo mau ke rumah, gue titip cariin balsem!"

"Kenapa lo? Encok?" tanya Azwan lalu tertawa.

"Bukan. Gue ketiduran di meja belajar."

"Woi, Lam! Sahabat kita ketiduran di meja belajar, rajin banget, kan?"

"Si*lan!" umpat Galaksi dalam hati, semalam ia sedang bersedih, bukannya belajar. "Dasar Azwan tukang ngadu!" cibirnya.

"Heh, ntar gue bawain lo martabak kacang, mau?" tawar Azwan.

"Bawa yang banyak ya! Gue belom makan," ucap Galaksi dengan semangat 45.

"Dasar maniak makan! Persis kaya Waslam lo!" maki Azwan.

"Kalau soal perut, gue mau khilap aja!"

Usai mengatakan itu, Galaksi lalu mematikan panggilannya secara sepihak. Ia ingin mengistirahatkan lehernya. Jujur, sakitnya bukan main.

Baru saja menuju kasur, tapi tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Niatnya ke kasur, akhirnya menuju pintu.

"Ada apa, Bik?" tanya Galaksi ketika sudah membuka pintu kamarnya. Ada Bik Dewi yang tengah berdiri di sana---asisten rumah tangga di rumah.

"Ada tamu---"

"Suruh masuk ke kamar aja, Bik," sela Galaksi cepat.

"Tapi---"

"Tolong, Bik. Leher saya benar-benar sakit ini." Galaksi langsung menutup pintunya kembali. Rasa sakit di leher ketika kepala menghadap lurus ke depan betul-betul menyiksanya.

Lelaki dengan surai hitam itu langsung menelungkupkan tubuhnya di atas kasur, merentangkan kedua tangannya lalu mencoba memejamkan matanya.

Ceklek.

"Wan, Lam! Cepet bener kalian nyampenya. Nggak jadi bawa martabaknya?" tanya Galaksi dengan mata masih terpejam.

"Enggak!"

"Lah, kenapa suara lo jadi kaya cewek yang pernah gue temui?" tanya lelaki itu dengan mata yang masih terpejam.

"Galak Sih!" panggil suara itu

Eh!

Mata Galaksi spontan terbuka. Tubuhnya refleks bangun dari posisi tidurannya guna memastikan ia tak salah dengar, dan rupanya ia memang tak salah dengar. Suara itu adalan suara Maydarika. Dari ekor matanya, ia dapat melihat perempuan itu masih berdiri di ambang pintu.

"Aduhhh!" jeritnya ketika sadar ia sudah terlalu lama mengakat kepala.

"Kamu kenapa? Salah bantal?" May berjalan mendekat ke arah Galaksi yang tertunduk.

"Bukan. Gue ketiduran di kursi," Galaksi menujuk kursi belajarnya. "Dan alhasil gue malah kaya orang yang lehernya patah. Tapi emang sakitnya kebangetan juga sih," curhatnya.

Walau lelaki di depannya sudah mengirimkan pesan padanya jika ia gagal membujuk ayahnya, sama seperti dirinya, tapi May tetap memiliki rasa kasihan.

"Tengkurap gih!" titahnya. "Kali aja tanganku masih bisa berguna." Maydarika meletakan dua buah katalog besar di atas meja belajar Galaksi.

"Woi-woi! Nanti leher gue malah lo patahin, lagi!" tolak Galaksi mentah-mentah.

"Berisik, Ah!" May langsung duduk di samping Galaksi, tangan kirinya mendorong kepala lelaki yang pasrah itu dengan paksa hingga menyentuh bantal, lalu tangan kanannya mulai mengambil ancang-ancang untuk beraksi.

"Woi, sakit! Sakit!" pekik Galaksi ketika jemari May mulai mengurut tengkuknya. Ia memang tak bisa melawan karena ia tak tahan dengan rasa sakitnya, tapi pijitan dari May malah membuatnya merasa tersiksa bak di neraka Jahannam.

"Diem aja lah. Kalau berosik nanti ku patahin beneran, mau?" ancam May.

"Ya Allah, apa salah dan dosa hamba? Kenapa engkau menciptakan makhluk semenyebalkan Maydarika," rintihnya dengan nada pilu.

"Ck! Laki-laki kok lebay!" cibir May.

"Biarin. Orang gue menderita gini," sanggahnya, "lo titisan malaikat penyiksa kubur apa gimana sih! Duh ... sakit banget ...," keluhnya di sela-sela omelannya.

"Oi, Galak Sih. Tadi ayah kamu ke rumah, terus dia nitip katalog buat pemesanan cincin nikah sama katalog baju pengantin. Emang seriusan minggu depan nikahannya, ya?" tanya May, mengabaikan pertanyaan tidak bermutu dan berbobot dari Galaksi.

"Iya---Adohhh ...," pekik lelaki itu karena tiba-tiba May menekan kuat-kuat tengkuknya.

"Ah, maaf. Tadi aku kaget," lirih May. Ia berharap jika ayahnya Galaksi hanya bercanda, tapi ternyata serius. Bahkan rasanya ia masih belum siap sampai detik ini.

"May, lo kenapa diem dah?" tanya lelaki seraya menahan sakit. "Sorry, gue nggak bisa lakuin banyak hal buat batalin pernikahan---"

"Yuhu! Kita-kita datang, Cuy!"

Tahu siapa yang datang, tangan Galaksi langsung meraih 2 buah katalog yang ada di atas meja lalu membuangnya ke bawah kasur. Berharap orang yang datang tak sempat melihat aksinya, karena kebetulan suara teriakan itu masih berada di balik pintu kamarnya yang sedikit terbuka.

"Astaga, Gal! Lo lagi ngapain sama tuh cewek?" tanya Azwan histeris.

"Astaga! Jangan-janga dia---"

"Jangan mikir aneh-aneh Lam, dia ini tukang pijit. Kalian sih lama!" ucap Galaksi asal, setidaknya hanya alasan itu yang paling masuk akal menurutnya.

May tercengang. Bisa-bisanya Galaksi menganggapnya tukang pijit. Ingin protes pun tak bisa. Apalagi ia baru ingat jika ia sedang memijat Galaksi.

"Wah, Mbak-Mbak tukang pijetnya cantik," seru Waslam.

"Udah punya pacar belom, cantik?" goda Azwan.

"Jangan sembarangan lo berdua, calon suaminya entar ngamuk!" peringat Galaksi.

"Ah, pijatnya sudah. Saya harus pulang." Maydarika langsung kabur begitu saja dari kamar Galaksi. Ia yang niat awalnya hanya ingin menyerahkan katalog tadi, malah berbuat macam-macam. Semoga saja Galaksi tak sampai berpikir yang aneh-aneh tentang dirinya.

Ia menutup pintu Galaksi dengan keras lalu berlari ke ruang tamu. Ia segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu mengirim sebuah pesan pada Galaksi, tentang sepatunya yang tertinggal di mobilnya.

"Lain kali aja, kunci mobilnya di kamar. Nggak mungkin kan gue turun, nanti Azwan sama Waslam bisa kepo. By the way, thanks ya udah mau mijitin gue," lirih May ketika usai membaca pesan dari Galaksi. Walau kecewa ia harus menerima. Ia tak boleh terlalu memaksakan kehendaknya juga. Mau tak mau ia harus pulang dengan tangan kosong.

Sementara itu, Galaksi tengah ketar-ketir di kamarnya setelah mendapat pesan dari May. Beruntung ia bisa memberikan alasan yang bisa diterima oleh perempuan itu.