Chereads / Extraordinary Girl / Chapter 3 - Jaksa?

Chapter 3 - Jaksa?

"Hah?"

"Tapi saya bukan gelandangan!" jerit Kaira tak terima. Suaranya terdengar melengking hingga membuat dua orang polisi sedang mengintrogasinya hampir terjengkang ke belakang.

Rambutnya tampak kusut parah. 

Sedangkan di sampingnya. Wanita yang baru saja menamparnya nampak tak kalah kusutnya.

Rupanya tidak hanya mereka berdua, sebab seorang pria yang mengaku sebagai pacar wanita itu juga sama. Kaira bukan gadis sembarangan. Berbekal dari film kungfu, silat dan semacamnya ia tumbuh menjadi gadis yang cukup lumayan kuat.

Karena ditampar, Kaira yang tak terima pun balas menampar sang wanita angkuh. Tak terima pacarnya di begitukan, pria yang sok menjadi Hero malah terkapar di atas aspal. Karena dibanting oleh Kaira yang murka. Sebab hampir saja, pria itu memukuli wajahnya. Dua lawan satu, dan ia menang telak tanpa perlu bersusah payah. Energinya juga terisi penuh sebab habis makan.

"Baiklah, bukan gelandangan," ucap polisi berbadan subur itu mengganguk, tapi teman di sampingnya yang berperut buncit, mengetikan bahwa ia gelandangan setengah gila.

"Mereka bilang Anda tiba-tiba menyebrang," ujarnya lagi menatap Kaira penuh selidik.

"Hah?!" Ekor mata Kaira menatap kedua pasangan itu tajam. Dengan wajah julid khas ibu-ibu yang tengah gibah ia menyeletuk.

"Saya tegak diam bak tiang lampu jalanan!" Tangannya menunjuk ke arah pasangan yang diam dengan wajah tak berdosa.

"Tapi kedua pasangan astagfirullah ini malah hampir menabrak saya, jika saja saya tak menghindar dengan melompat ke selokan!" jelasnya kesal. 

"Dan yang salah malah saya? Tidak sekalian saja, kalian salahkan pohon yang mereka tabrak? Kenapa malah tumbuh di sana? Bukannya minggir ketika mereka mau lewat," sambungnya makin nyolot dengan muka memerah, menahan amarah.

Kedua pasangan itu saling sikut. Ingin membantah omongan Kaira. Hanya saja, mereka tidak punya alibi kuat, selain Kaira yang tiba-tiba menyebrang, dan ia seorang gelandangan gila.

"Cepat bicara! Atau saya rontokkan gigi kalian berdua!" Ancamnya.

"Se... seperti yang kami bilang tadi, d... dia yang salah!" Tunjuk si cowok pada Kaira.

"Ses... sepertinya," Kaira mengulangi ucapan sang cowok yang terbata-bata. Dengan nada mengejek. Dasar aktor buruk, ejeknya, ia tak pandai akting sama sekali, jika polisi percaya itu keterlaluan pikirnya.

"Halah! Bicara saja masih belepotan, sudah mau menghakimi orang yang tak bersalah," cibir Kaira dengan wajah bak antagonis di serial sinetron. 

Setelah mendengar penjelasan dari kedua pihak, aparat itu berujar.

"Kalau begitu, kamu minta maaf pada mereka."

Mau bagaimana pun juga, karena Kaira gelandangan tak tahu apa-apa. Ia menjadi sasaran empuk. Pasangan itu mengulum senyum bahagia sebab akting mereka berhasil.

"Papa saya seorang pengacara, kalian mau di tuntut?" Sergah Kaira tak mau jadi kambing hitam. Walau sudah ia jelaskan sampai mulut berbusa sekalipun, namun tidak ada yang mempercayainya hanya karena penampilannya seperti itu. Jelas sekali orang-orang hanya menilai dari luar saja. Tanpa tahu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Menghakimi seenaknya tanpa tahu cerita aslinya. Jika memang seperti itu, untuk apa penyelidikan seperti ini terjadi.

Mendengar celetukan Kaira. Orang-orang di sana nampak menahan tawa. Berpikir bahwa halu Kaira telah melampaui batasan.

"Apa yang kalian tertawakan?!" tanya Kaira tak terima dan tahu itu tawa mengejek.

"Ya, ya, kalau Papamu benar pengacara. Hubungi saja dia, suruh dia untuk melepaskanmu," kata seorang polisi terdengar menantang.

Kaira menelan ludah. Bisa dimutilasi dia. Jika keluarganya tahu ia membuat masalah. Meski itu bukan salahnya. Maka ia pun akhirnya berkelit.

"Pembohong," cibir wanita yang sudah ia hajar tadi.

"Kau mau dihajar lagi?" Deliknya, seketika membuat wanita itu ciut dan bersembunyi di balik punggung pacarnya.

"Bagaimana?" tanya polisi.

"Saya tidak bawa ponsel. Pinjam ponselnya."

Saling tatap sekilas, mereka pun akhirnya memberikan ponsel pada Kaira. Memberikan kesempatan pada Kaira, agar gadis muda itu sadar untuk tak berhalusinasi ketinggian.

"Kau bisa menggunakan ponsel?" Celetuk seorang polisi lain terdengar keraguan dari suaranya.

Kaira berdecak sebal. "Tenang saja, ponselnya tak akan saya hancurkan—kecuali saya khilaf!" sahutnya santai. Sambil menekan beberapa nomor. Untung saja ia hapal nomor keluarganya.

"Hei!" Sentak polisi tak terima. Dan tak diindahkan oleh Kaira yang berbalik.

Tak menunggu waktu lama, seseorang menggangkat telponnya. Ia menghubungi sang adik.

Sayangnya yang terdengar malah suara musik dangdut mengema.

"Kevin!"

"Maaf, aku tidak jual pulsa."

"Ini Kak Kaira! cari tempat sepi!"

"Halo? Saya tidak jual pulsa! Anda salah sambung."

Kaira menghela nafas panjang. Persis seperti obrolan di atas motor.

Tanyanya apa, jawabnya malah apa.

"INI KAIRA!" teriakan itu berhasil membuat sang adik berlari ke tempat yang lebih sepi. Siapa lagi yang punya suara kencang melengking seperti itu kecuali kakaknya.

"Mau buat aku budek, ya?!" gerutu Kevin sebal.

"Ah, sudahlah kau memang budek sih—oh ada yang mau kakak bicarakan."

"Dari tadi sudah bicara," sahut Kevin.

Netra Kaira melirik ke arah orang-orang yang menatapnya.

"Jangan kaget, Kakak sekarang di kantor polisi."

Terdengar gelak tawa dari Kevin. Membuat Kaira hampir berbicara kasar. Pemuda itu sama sekali tidak terkejut, karena entah kenapa, ia merasa cepat atau lambat kakaknya itu akan terlibat masalah.

"Kakak enggak ditangkap satpol PP karena di kira gelandangan, kan?" ujarnya sambil tertawa nyaring.

"Kau—" gadis itu ingin membantah, sebelum kata terakhir dari adiknya itu benar adanya.

"Bukan itu masalahnya, Oke. Memang benar Kakak dikira gelandangan—"

Tawa Kevin kembali pecah, namun hanya sebentar, ia langsung meminta maaf sebelum dirinya dibuat perkedel saat di rumah nanti.

Akhirnya dengan setengah sebal, ia pun menceritakan kejadian sesungguhnya.

"Ha? Kok bisa?"

"Entahlah, Kakak yakin, sim si cowok itu hasil nembak."

Sementara Kaira sibuk bicara dengan adiknya. Seseorang baru saja tiba.

"Lepaskan, dia," ucap sebuah suara tiba-tiba mengejutkan, Seorang pemuda bertubuh tinggi, memakai kemeja abu-abu, kesan pertama orang yang melihatnya adalah rapi, dan memesona. Ia memakai kacamata hitam, yang ia lepas saat orang-orang menatap ke arahnya. Karakternya sangat berkarisma.

"Anda siapa?" tanya seorang polisi wanita, ucapan itu terhenti ketika sadar di hadapannya bukan orang sembarangan, ia adalah Faiz, Anak hakim. Dan ia sendiri adalah seorang jaksa Muda. Berusia 28 tahun.

"Apa yang dilakukan seorang jaksa di sini?" tanya polisi gelapapan. 

Perkataan itu seketika membuat gaduh. Terutama pasangan angkuh tadi yang pucat pasi. Niat hati ingin minta ganti rugi atas kelalaian sendiri tapi sekarang jadi takut sendiri.

"Harusnya saya yang bertanya, kenapa kalian menahan calon istri saya, yang bahkan tidak salah apa-apa." Nada bicaranya sangat santai, tapi berkesan ketika melirik ke arah Kaira. 

"Calon istri anda?" Gumam mereka tak percaya dan kebingungan.

"Siapa?"

Faiz menatap lurus ke arah Kaira.

"Tentu saja gadis yang tengah menelpon itu," jawabnya santai.

Jangan tanya seberapa kaku ekspresi mereka sekarang hanya karena ucapan Faiz.