Laki-laki yang kini ada di hadapannya kemudian memilih duduk di bangku semen koridor kelas. Ia menghela sejenak dengan pandangan lurus ke depan. Menatap semua penonton yang asyik berjingkrak-jingkrak.
Alga tertawa tanpa suara.
Eiryl memutuskan untuk duduk di samping Alga. Agak jauh, gadis itu wajib menjaga jarak dengan laki-laki yang kini di samping nya. Bukan apa-apa. Ia hanya tidak ingin jika kesehatan jantung nya terancam.
"Saya iri sama mereka," ujar Alga. Merasa kalau diri nya selalu tersekat oleh ruang batas yang membuat nya tidak bebas bergerak.
"I-iri kenapa?" tanya Eiryl pelan. Ia menatap Alga seolah mencari tahu apa kekurangan nya.
Alga menoleh. "Mereka bisa joget. Saya nggak bisa," jawab nya dan malah tertawa. Meski sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan tadi.
Eiryl pun terpaku. Apa laki-laki itu sedang tidak bergurau?
"Serius?" Eiryl menatap Alga tidak percaya.
"Jangan serius-serius, ah. Nanti repot," balas Alga membuat Eiryl berdecak sebal.
Alga kembali tertawa. Begitu manis. Eiryl tidak bisa memungkiri hal itu. Selain manis, laki-laki di samping nya itu memang tampan. Lebih tampan dari vokalis band tadi yang kata nya banyak di gilai kaum perempuan.
"Oh iya. Soal tadi," ujar Eiryl memulai.
Alga mulai mengernyit. Ia sibuk mengingat-ingat kejadian yang Eiryl maksud.
"Waktu di sudut koridor," tambah Eiryl memperjelas.
"Oh." Hanya itu komentar dari Alga. Sukses membuat Eiryl kembali berdecak.
"Aku tau kamu laki-laki yang beda," lanjut Eiryl.
"Tau dari mana?" Alga segera menimpali nya dengan sebuah pertanyaan.
Mata Eiryl semakin tertuju pada Alga lamat-lamat. Menatap bola mata bening nya.
"Dari mata mu," jawab nya kemudian.
Alga terlihat terpaku. Mulut nya membisu.
"Semoga aku nggak salah menilai kamu," tambah Eiryl.
Alga menarik napas nya. Berusaha menetralkan pikiran nya yang mulai berkabut gelap. "Nanti malem mau ngeteh bareng?" tawar nya.
"Ngeteh?" ulang Eiryl agak heran.
Alga mengangguk.
"Boleh. Dimana? Kapan?" beruntun Eiryl.
"Enak nya dimana?"
Eiryl mengedikkan bahu. Menatap Alga dengan raut bingung.
"Baru di Jakarta, ya?"
"Kenapa sih harus nanya begitu?"
"Baru berapa bulan atau minggu?" Seperti nya Alga tidak peduli dengan nada protes Eiryl.
Eiryl mendengus. "Baru dua minggu. Puas, lo?!"
Bukan nya terkejut, Alga malah mengangguk-anggukkan kepala nya. Ia berpikir, tidak mungkin jika ia menyuruh Eiryl untuk menunggu di luar. Jakarta keras, woy!
"Kalo gitu, nanti malam kamu tunggu saya aja di rumah. Nanti saya jemput," putus nya.
"Je-jemput pakai apa?" Ragu-ragu Eiryl menatap Alga.
Alga terdiam. Ia menyandarkan tubuh nya pada kedua tangan nya yang menyangga di belakang. Kemudian tatapan nya ia lempar jauh ke depan sana.
"Iya, iya. Udah nggak punya motor, nggak punya hp, malah sok-sokan ngajak jalan anak orang," gumam nya begitu pelan. Ia yakin Eiryl tidak dapat mendengar nya dengan jelas karena suara dentuman musik yang berisik.
"Kok ngelamun?" seru Eiryl.
Alga menoleh. Kemudian membenarkan posisi duduk nya.
"Pokok nya tunggu aja, ya. Jam tujuh saya ke rumah kamu," final nya.
Eiryl mengangguk saja. "Baiklah," gumam nya menghela napas.
"WAH! WAH! WAH!"
Biar Eiryl tebak pasti itu suara dari__
Eiryl menghela. Benar saja. Renaldi muncul di depan nya dan sedang berusaha mengganggu diri nya dan Alga.
"Kalian malah asyik-asyikan di sini," lanjut Renaldi si ketua OSIS dengan datar.
"Atau jangan-jangan kalian lagi pdkt-an. Iya, kan?" tuding nya semangat.
Alga menghela sabar. Lantas menatap si ketua OSIS dengan datar.
"Wih! Santai dong. Kalo nggak santai, mata lo gue colok, nih." Renaldi mengangkat pulpen yang di pegang nya.
"Kak," panggil Alga pada Renaldi.
"Apa?" Renaldi menyahut nya dengan dagu yang sedikit mengangkat.
"Kok orang kayak kakak bisa jadi kedua OSIS, ya?" tanya Alga dengan begitu santai nya.
Andai ia tau bagaimana reaksi Eiryl yang kala itu langsung membulatkan kedua mata nya penuh keterkejutan. Bagaimana bisa Alga berkata seperti itu dengan tenang nya? Sungguh sulit di percaya.
Renaldi menatap Alga. Kemudian tertawa mengerikan. "Yeuh! Lo belum tau gue aja," jawab nya sedikit menggertak.
Tapi tetap saja. Alga adalah Alga yang akan bersikap biasa saja meski dalam keadaan seperti ini. Ah, bagaimana bisa? Lihat saja pandangan laki-laki itu.
"Emang," balas Alga dengan enteng nya.
"Oke." Renaldi menjentikkan jari nya. "Lo gue rekrut buat jadi anggota OSIS tahun ini," ujar nya lagi.
"Maaf, kak. Nggak minat," balas Alga enteng.
"Eh! eh! Mulut nya," Renaldi menatap Alga sambil berkacak pinggang.
"Stop it!" seru Eiryl. merasa pusing sendiri karena perdebatan dua laki-laki di hadapan nya ini.
"Tuh kan, kak. Ngambek," ujar Eiryl menyalahkan Renaldi.
"Dih, kok gue?" protes Renaldi tidak terima.
"Lagian kakak kayak nyamuk. Tau-tau dateng," jawab Alga.
"Ish... ish... ish...," Renaldi mendesis sebal. "Mau nggak mau, lo gue rekrut buat jadi anggota OSIS. Bulan depan lo harus dateng buat ikut seleksi," final nya langsung pergi.
"Lah, maksa," gumam Alga tidak menyangka. Kemudian ia menoleh pada Eiryl yang sedari tadi menjadi penyimak yang baik. Ia nyengir lebar membuat Eiryl memutar bola mata nya dengan gemas.
"I want you to," ujar Alga tiba-tiba, sukses membuat mata Eiryl nyaris keluar. Ia tertawa lalu menarik napas nya.
"Entahlah. Ternyata seperti ini rasa nya jatuh pada cinta pertama," lanjut Alga memandang ke depan.
Tidak lama kemudian ia menatap Eiryl. "Apa kamu merasakan hal yang sama?" tanya nya langsung.
Ah, apa laki-laki ini tidak bisa bermain kode sedikit? Kenapa begitu to the point seperti ini? Ya Tuhan, tolong selamatkan jantung Eiryl yang kini sedang melompat-lompat tidak mau diam.
Sampai ia tidak tahu harus berkata apa. Eiryl berdehem kecil. "Ehm, kamu pikir aja sendiri," ujar nya ketus.
Alga menghela. "Nanti malem aja kamu jawab," putus nya. Ia bangkit saat melihat Dimas dan Arya berjalan mendekat kemudian tangan nya terulur pada Eiryl dan berniat untuk membantu nya.
Dengan ragu, Eiryl meraih tangan yang terasa dingin itu. Apa Alga sedang sakit? Ia menatap Alga lamat-lamat. Memperhatikan lekuk wajah nya yang indah dan sedikit... pucat.
Laki-laki itu malah tersenyum.
"Ehm!" Dimas berdehem dengan keras.
"Pegang-pegangan nih, ye!" timpal Arya tidak kalah rusuh.
"Mau juga dong di pegang," tambah Dimas mulai jahil.
Tanpa segan Alga menyikut perut nya agar mau diam. Dimas terkekeh.
"See you tonight," pamit Eiryl melambai kecil.
Alga mengangguk sambil tersenyum.
Pandangan Dimas dan Arya sempat mengekori langkah Eiryl kembali tertuju pada Alga dengan curiga.
"Mau kemana lo sama Eiryl nanti malem?" selidik Dimas.
"Cuma ngajak ngeteh bareng," jawab Alga ringan.
"Terus dia mau?" tanya Arya histeris.
"Santuy dong," peringat Dimas nada nya rendah tapi tegas.
Arya terkekeh dan Alga menanggapi nya hanya dengan tawa nya yang tidak bersuara.
"Mau minjem motor gue nggak?" Tawar Dimas kemudian sambil menunjukkan kunci motor nya.
"Nggak perlu. Saya ngajak dia jalan bukan motoran," jawab Alga logis.
"Si kampret!" maki Arya gemas. Ia pun tidak segan merangkul Arya dengan erat. Ah, lebih tepat nya ia lompat dan naik ke punggung Alga.
Bruk!
Alga yang tidak kuat menopang tubuh Arya pun terjatuh. Sialan, kenapa perut nya mendadak sakit seperti ini? Rasa nya seperti ada sesuatu yang menusuk-nusuk sekaligus meremas-remas nya. Ia mendesah tertekan. Menahan sakit sekaligus berpura-pura untuk tetap biasa saja.
"Makanya, badan jangan kurus-kurus." Dimas membantu nya bangkit sekaligus menepuk-nepuk bahu nya.
Alga hanya tertawa kecil. Kemudian ia berlalu menuju toilet siswa.
Ini yang menjadi alasan nya untuk selalu menepi dari keramaian. Ruang batas nya. Rasa sakit nya. Kelemahan nya.