Shintya tetap diam saja dan terus melangkahkan kakinya.
"Sekarang gue mau tanya dengan lo. Lo mau ikut gue atau gue tinggal sekarang?" tanya Revan yang sepertinya sudah mulai kesal.
Shintya menghentikan langkahnya kembali, ia berpikir sejenak. Lalu, langsung menaikkan motor yang dikendarai oleh Revan tanpa sepatah kata pun.
"Gini kek dari tadi. Kan gue jadinya gak capek-capek mengejar lo!" gerutu Revan dengan datar. Kemudian, ia mulai melajukan motornya tersebut.
***
Dua orang wanita paruh baya, baru saja keluar kantor. Sepertinya mereka berdua merupakan salah satu karyawan di kantor tersebut karena melihat dari penampilan yang begitu rapi dan sopan.
"Bu, saya pulang duluan ya!" sapa Hesti seraya tersenyum. Ia mengeluarkan sebuah kunci mobil segera menuju parkiran.
"Iya, Bu. Hati-hati ya," jawab Maya seraya tersenyum. Ia pun menatap Hesti yang mulai menjauh. "Andai aku bisa seperti dia!" batin Maya.
Tiin … tiin … tiin … terdengar suara klakson mobil membuat Maya yang sedari tadi mobil kini tersadar. Sebuah mobil berwarna merah ada di hadapannya kini.
"Bu, mau bareng saya saja pulangnya? Soalnya ini juga sudah malam kan. Nanti malah susah mencari taksinya," tawar Hesti dari balik mobil. Ia membuka kaca mobil demi berbicara dengan Maya, rekan kerja sekaligus teman baiknya di kantor.
"Hmm, gak usah, Bu. Gak usah repot-repot. Aku naik taksi saja gak apa-apa kok," jawab Maya seraya tersenyum. "Lagian, sekarang juga baru pukul 20.00 Wib dan ini juga aku sudah terbiasa kalau lembur seperti ini," lanjut Maya lagi setelah melihat arloji di pergelangan tangannya.
"Yaudah, kalau gitu, Bu. Saya duluan ya dan kamu hati-hati," jawab Hesti dengan ramah. Kemudian, ia menamcapkan gas mobilnya kembali.
Maya hanya tersenyum. Ia menatap kembali mobil Hesti yang mulai menjauh. Setelahnya, menghela napas berusaha menyemangati diri sendiri. Lalu, menuju ke pinggir jalan demi menunggu taksi untuk sampai di rumah.
***
Marvin baru saja sampai ke rumahnya, ia masuk ke dalam rumah dengan perasaan malas. Rumah Marvin terlihat sangat megah dan mewah, berlantai 2 dengan luas yang sangat lebar sekali. Mungkin rumah impian semua orang karena bagaikan bak istana. Namun, bagi Marvin, ia tidak peduli dengan segala isi dan bentuk rumahnya, yang dirinya inginkan hanyalah kebersamaan bersama keluarga agar ia bisa betah dan nyaman untuk berada di rumah. Marvin segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua, baru saja menaiki setengah tangga, ia terkejut karena ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. Marvin menoleh dan menatap orang tersebut dengan datar.
Hesti baru saja sampai di rumah, ia melihat anak semata wayangnya sepertinya juga baru pulang ke rumah. Hesti segera menghampiri Marvin yang berada di anak tangga. "Sayang, kamu baru pulang?"
Marvin menghela napas. "Iya!" jawab Marvin singkat.
"Ya ampun, Sayang itu pipi kamu kok memar gitu. Kenapa kamu, Sayang?" tanya Hesti panik seraya mendekat ke arah Marvin dan berusaha memegang pipi anaknya itu.
"Marvin gak apa-apa! Marvin mau ke kamar sekarang!" jawab Marvin datar seraya berusaha menjauhkan tangan mamanya. Kemudian, ia segera menjauh dari sang mama.
Hesti terdiam melihat tingkah anaknya seperti itu. Ia menyadari kalau Marvin seperti ini memang kesalahan dirinya. Namun, baginya mungkin Marvin belum mengerti dan menerimanya saja untuk saat ini.
Marvin menatap pintu kamarnya setelah terdengar ada suara ketukan pintu. "Masuk!" ucap Marvin singkat.
Hesti tersenyum ke arah anaknya, ia membawa kompresan dan P3K untuk mengobati luka lebam di pipi Marvin. "Sayang, mama obati dulu lebam di pipi kamu itu."
Marvin tidak menjawab sedikit pun, ia hanya menatap mamanya dengan datar.
Hesti mulai membersihkan dan mengobati lebam di pipi Marvin dengan lembut. Ia menatap anaknya itu ketika mendengar Marvin menyapanya.
"Mama!" sapa Marvin datar.
Hesti menatap Marvin dengan tersenyum. "Iya, Sayang. Ada apa?"
"Mama sampai kapan harus seperti ini?" tanya Marvin dengan datar.
Hesti mengernyitkan keningnya. "Maksudnya seperti ini apa, Sayang?"
"Mama, sampai kapan harus kerja dan tidak ada waktu untuk Marvin?" tanya Marvin lagi seraya menatap Hesti dengan lekat.
Hesti terdiam, perasaannya sakit mendengar pertanyaan anaknya ini. Ia menghela napas. "Kamu sabar saja ya, Sayang. Suatu saat nanti kamu pasti bisa mendapatkan semua yang kamu inginkan tetapi belum sekarang," jawab Hesti dengan memaksakan tersenyum.
Marvin menghela napas. Jawaban mamanya selalu seperti ini setiap ditanya dengan pertanyaan yang sama. "Iya, Ma!"
Setelahnya tidak ada lagi percakapan antara Marvin dan Hesti. Hesti hanya menyelesaikan mengobati luka lebam di pipi Marvin sampai selesai setelahnya ia langsung keluar dari kamar anaknya itu.
"Marvin hanya ingin kebersamaan bersama keluarga utuh yang tercipta di rumah ini!" batin Marvin. Setelah mamanya keluar kamar.
***
Yuda sedang terbaring lemah di atas kasur. Tubuhnya terasa sakit semua apalagi luka lebam yang diberikan oleh Marvin tadi terasa sangat perih dan pedih. Untung saja di rumahnya ada sang adik yang bisa mengurusi dan mengobati semua luka-luka itu.
"Kakak, gimana sih kok bisa lebam-lebam gini nih wajah?" tanya Zidan, sang adik seraya mengompres luka tersebut dengan es batu secara perlahan.
"Aww … aww …," rintih Yuda seraya memegangi pipinya.
"Sudah tahu sakit tetapi masih mau dipegang. Sini biar Zidan obati dulu!" jawab Zidan yang masih sibuk mengobati luka tersebut. "Jawab pertanyaan Zidan tadi, Kak!" lanjut Zidan lagi seraya menatap Yuda sekilas.
"Banyak tanya banget sih lo! Sudah tahu gue kesakitan gini!" jawab Yuda dengan sewot. "Kalau mau mengobatinya ya silakan tetapi jangan banyak tanya dan omong, gue jadinya pusing nih!" lanjut Yuda seraya menatap Zidan.
"Yaudah deh kalau gitu!" seru Zidan datar. Ia masih sibuk mengobati Yuda dengan alat yang ada.
"Mama pulang!" teriak seseorang yang baru saja masuk ke dalam rumah. Yuda dan Zidan pun langsung tersenyum ke arah mamanya.
"Mama bawa apa itu?" tanya Zidan dengan semangat. Ketika melihat ada sebuah kantong yang dipegang oleh Maya.
Maya tersenyum. Lalu, menghampiri Yuda dan Zidan. "Ini tadi mama sempat beli roti bakar dulu untuk camilan kita malam ini," jawab Maya seraya memberikan sebuah kantong tersebut ke Zidan.
Pandangan mata Maya langsung beralih ke Yuda. "Ya ampun, Nak. Kenapa kamu bisa seperti ini?" tanya Maya sangat khawatir.
"Iya, Ma. Zidan juga gak tahu itu Kak Yuda seperti itu karena apa, Kak Yuda gak mau ngasih tahu!" celetuk Zidan datar seraya membuka dan menikmati roti bakar bawaan mamanya tadi.
Maya memegangi pipi Yuda dengan lembut. "Coba cerita dengan mama, Nak!"
"Aww!! Sakit, Ma. Jangan disentuh kayak gitu!" protes Yuda yang menahan sakit.
"Eh, iya, maaf, Nak!" jawab Maya dengan datar.
"Kakak habis berantem ya?" tanya Zidan seraya mengunyah roti bakar tersebut.
Next?