Aku keluar dari dalam studio milik Rio. Sesekali aku menyeka air mataku, yang turun membasahi pipi.
Saking malunya aku berpikir untuk pulang ke Jakarta saat ini juga.
Aku terlanjur trauma mengingat wajah-wajah mereka yang telah menertawakanku tadi.
***
Semakin lama aku berlari, semakin aku merasa sesaak, nafasku tersengal-sengal, dan kuputuskan untuk berhenti sejenak.
Aku duduk di bawah pohon rindang pinggir jalan.
Aku tidak peduli dengan orang-orang sekitar yang tengah memandamgku dengan heran.
Aku menangis terisak-isak, baru kali ini aku malu-semalu-malunya.
"Harusnya aku tadi tidak usah terima ajakan Bagas, lagian aku kenapa malah sok-sokan membaur dengan orang-orang yang tidak sesuai denganku?" gumamku yang sangat menyesal dengan keputusanku sendiri.
Tak lama terdengar motor berhenti tepat di hadapanku, aku melihat ke depan. Ternyata Bagas.
Aku segera membuang muka.
"Mbak, ayo pulang, Mbak!" ajak Bagas.
Aku tak menyahuti ucapanya. Bibirku masih cemberut dengan raut wajah yang kesal.
Bagas memasang standar motornya, lalu membuka helm dari kepalanya.
Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sampingku.
"Udah jangan dipikirkan, Mbak, teman-teman aku memang begitu. Aku bakal suruh mereka buat minta maaf sama, Mbak Mel," ujar Bagas menenangkanku.
Tapi hatiku terlanjur tak tenang.
"Aku tidak peduli mereka mau minta maaf atau enggak, Gas! Yang aku pikirin sekarang perasan malu aku ini lo!" ucapku dengan nada ketus.
"Mbak Mel, gak usah malu! Mereka itu orangnya gak tahu malu kok!" ucap Bagas dengan kalimat ambigu yang membuatmu bingung. 'Mereka itu orangnya gak tahu malu kok!' aku tidak tahu apa maksudnya?
"Kan tadi aku udah bilang sama, Mbak Mel, supaya gak usah nyanyi, tapi Mbak Mel, malah gak dengerin aku," Bagas berucap dengan nada pasrah.
"Gas, kok tadi kamu ngelarang aku sih? Sebelumnya kamu, 'kan gak pernah denger suaraku pas lagi nyanyi?" tanyaku yang heran.
Bagas langsung mengangkat kepalanya dengan semangat.
"Kata siapa?!" ucap Bagas dengan wajah menantang.
"Kata aku barusan! Kamu amnesia?!" ujarku.
Bagas menggelengkan kepalanya seraya mendengus kesal.
"Jangan bilang, Mbak Mel, lupa ya?"
"Lah, aku memang lupa, Gas! Malah seingat aku memang baru kali ini aku bernyanyi di depan kamu!" ucapku.
"Ya ya, sudah pasti lupa!" Bagas manggut-manggut semakin membuatku bingung.
"Mbak, inget enggak pas kejadian kita lagi di tengah pematang sawah? Waktu itu turun hujan dan kita lagi duduk berteduh di dalam gubuk. Dan, Mbak Mel, bla ... bla bla ... bla ...." Bagas menceritakan dengan detail. Dari A sampai Z.
Aku baru teringat, dan seketika bayanganku melambung jauh ke masa itu.
***
Kami sedang memancing berdua di tengan sawah, mendadak turun hujan dengan deras.
Aku dan Bagas berteduh di sebuah gubuk dengan atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa.
"Gas, gimana nih, Nenek pasti bakalan marah sama aku?" ucapku dengan panik.
"Tenang aja, Mbak, nanti aku bakal rayu Nenek Sugiyem, biar gak marah sama, Mbak Mel!" ucap Bagas menenangkanku.
Sambil menunggu hujan reda, aku dan Bagas bercerita. Dan aku yang paling banyak bercerita dengan Bagas, sementara dia lebih sering diam sambil manggut-manggut.
Sampai pada sebuah kalimat yang menuntun Bagas, mengetahui satu kelemahan yang ada pada diriku.
"Gas, kamu bisa nyanyi enggak?" tanyaku.
"Baru hafal lagu, 'Bangun Tidur' aja sih, Mbak!" jawabnya.
"Aku bisa nyanyi banyak lagu lo!" ucapku dengan bangga.
"Wah, yang bener?!" Bagas kembali antusias menanggapiku. Sambil mengusap ingus, Bagas memintaku untuk bernyanyi.
"Ayo dong, Mbak! Nyanyi satu lagu aja!" pintanya.
Melihat Bagas yang tampak tak sabar ingin mendengar aku bernyanyi, aku langsung bersemangat 45.
"Ok kalau gitu dengerin ya!" Aku mulai menarik nafas dan bersiap-siap untuk menyanyikan sebuah lagu.
"PADA HARI MINGGU KUTURUT AYAH KE KOTA! NAIK DELMAN ISTIMEWA—"
JEGLER!!
Mendadak petir menyambar pohon kelapa di sebarang sawah.
Terlihat api dan asap mengepul pada ujung pohon kelapa.
Bagas memelukku dengan erat sambil menangis kencang, dan sebagian ingusnya mengenai bajuku.
Aku geli, tapi aku tidak, mungkin marah dengan Bagas, apa lagi dia sedang ketakutan begini ....
"Mbak Mel, aku takut, Mbak! Ayo pulang aja sekarang!" ajaknya.
"Bagas, kamu gak liat, gluduknya gede-gede begitu! Kalau keluar dari gubuk ini bisa berbahaya! Memangnya kamu mau kulitnya makin gosong gara-gara kesamber petir?!" tanyaku dengan nada tinggi.
Bagas menggelengkan kepalanya dengan wajah ketakutan.
Dia kembali bersbunyi di dalam pelukanku, kepalanya di taruh tepat di sela ketiakku. Untung saat itu kami masih anak-anak usia 6 tahun dan 4 tahun. Kalau saja kejadian itu dialami saat ini, sudah pasti aku dan Bagas akan di grebek para warga dan di arak keling kampung. Selanjutnya sudah pasti aku bakalan dinikahkan secara paksa!
"Oh No ...!" Aku tak sengaja berteriak secar reflek. Hingga membuat Bagas kaget.
"Mbak Mel, kenapa?" tanya Bagas.
"Eng-gak!" jawabku sambil menggelengkan kepala.
Aku baru menyadari jika aku masih duduk di bawah pohon rindang bersama dengan Bagas
Kenangan masa kecil membuatku terhanyut, dan seakan kembali pada masa lalu.
Dan karna kejadian di gubuk tengah sawah itu, membuat Bagas kapok mendengarku bernyanyi.
Padahal kejadian itu tidak ada hubungannya dengan suaraku, petir datang karna memang sedang turun hujan, bukan karna mendengar suaraku yang sedang bernyanyi.
Tapi Bagas yang polos tetap mengira jika suaraku yang sumbang ini telah menyebabkan badai—petir. Sehingga dia benar-benar takut jika aku mengeluarkan nada sedikit saja dari mulutku. Dia sudah trauma!
***
Saat di rumah Nenek.
"Pada hari minggu kuturut—"
Bagas segera berlari dan menutup mulutku.
Dia berkata, "Mbak, jangan nyanyi ya, Mbak!"
***
Saat di bawah pohon talok.
"Tuk-tik-tak-tik-tuk! Suara—"
Bagas segera menutup mulutku dengan tangannya yang bekas ingus.
Sambil berbisik, "Mbak Mel, tolong jangan nyanyi ya,"
"Iyuh, Bagas! Tangannya!" teriakku.
***
Saat berada di rumah neneknya Bagas.
Aku kembali bernyanyi lagi.
"Duduk di samping Pak Kusir yang sedang beker—"
"Mbak Mel, jangan nyanyi ya ... please ...! Bagas menutup mulutku lagi, dan kali ini sambil mencekik leherku.
***
Selalu saja begitu reaksi Bagas setiap mendengar aku ingin bernyanyi.
Bagas memang berlebihan karna menganggap suaraku itu mampu mengundang pataka, padahal kejadian di gubuk pinggir sawah itu hanyalah kebetulan.
Tapi satu hal yang aku pahami dari reaksi Bagas pada saat itu ... yaitu: suaraku, memang JELEK!
Aku yang benar-benar bodoh, karna sejak dulu tidak pernah menyadari jika aku tidak berbakat di bidang musik.
Apalagi bernyanyi, dan aku juga baru menyadari kenapa Mama selalu melarangku bernyanyi, jadi ini alasannya: karna suaraku memang JELEK!
Aku masih ingat pada saat usia 8 tahun, aku merengek minta les vocal kepada Mama. Tapi beliau melarangku, dan malah menyuruhku les matematika.
Mama sudah tahu kalau aku tidak memiliki bakat bernyanyi, dan akan percuma jika aku belajar pun, hanya buang-buang waktu saja. Dan beliau tahu jika aku ahli matematika. Terbukti dengan beberapa kali aku menjadi juara olimpade.
Dari semua itu, aku bisa memetik sebuah pelajaran, bahwa aku tidak perlu memaksakan diri untuk suatu hal yang tidak aku kuasai, atau bahkan tidak mampu aku lakukan.
Setiap orang memiliki bakat dan kemampuan tersendiri. Bagas pandai bermain musik, tapi nilai matematikanya selalu rendah.
Aku sangat unggul di pelajaran matematika, dan sering memenangkan Olimpiade, tapi aku tidak bisa bernyanyi.
Pada intinya kita harus bersyukur dengan bakat yang kita miliki, cukup galih dan pelajari, sampai kita menjadi ahli.
Melisa Aurelie
Bersambung ....