Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 34 - Pikirkan Orang Lain!

Chapter 34 - Pikirkan Orang Lain!

Setelah kejadian kemarin sore, hatiku kembali galau, walau aku sudah berusaha untuk melupakannya, tapi tetap saja, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Bahkan semalaman aku tidak bisa memejamkan mata.

Selalu saja bayangan Dion menghampiriku. Dan tepat di saat bayangannya muncul, kedua mataku langsung berair.

Rasanya benar-benar sakit, aku tidak rela Dion memperlalukanku seperti ini.

Aku selalu bertanya-tanya pada diriku sendiri, 'apa salahku?'

Selalu itu yang muncul dibenakku.

Bahkan sampai pagi ini, sesekali mataku masih mengeluarkan cairan bening. Dengan kedua pelupuk yang membengkak.

Aku duduk di bawah pohon talok sambil bermain ayunan pelan-pelan.

Pandanganku kosong, berkali-kali Nenek memanggilku, dan menyuruhku untuk sarapan.

Tapi aku tak menuruti perintahnya, aku hanya berkata, 'Iya, Nek, nanti,' selalu itu kalimat yang kuucap secara berulang.

Sepertinya Nenek mulai menghawatirkan aku, akhirnya dia memanggil, Bagas.

Pelan-pelan kudengar Nenek yang sedang berbicara kepada Bagas.

"Gas, tolong bujuk, Mel, ajak jalan-jalan atau kemana gitu, biar dia gak galau terus, Nenek khawatir sama keadaan dia," ucapnya.

Sebenarnya Nenek itu sedang berbisik kepada Bagas, tapi sayangnya suaranya sampai di telingaku.

Tak lama Nenek pergi dan Bagas menghampiriku.

"Mbak, udah dong! Jangan nangis terus! Mau sampai kapan, Mbak Mel, kayak begini?!" Begas mulai memarahiku.

"Mbak, jangan egois karna mikirin perasaan, Mbak Mel, aja. Pikirkan juga orang-orang yang peduli sama, Mbak Mel!" ucap Bagas.

Kalimat ini juga pernah diucapkan oleh Elis. Waktu itu dia memarahiku, saat aku sedang patah hati seperti ini.

Dan berkat Elis, serta Jeni, akhirnya aku jadi sadar. Bahwa aku sudah mengabaikan mereka yang sangat peduli denganku, dan malah memikirkan Dion yang sama sekali tidak peduli denganku.

Sekarang aku malah melakukan kesalahan yang sama.

Andai saja kemarin aku tidak bertemu dengan Dion. Pasti keadaannya tidak akan seperti ini. Dan aku pasti biasa-biasa saja, seperti sebelumnya.

Patah hati untuk yang kedua kalinya harusnya dialami dengan orang yang berbeda, tapi kenapa aku masih mengalami patah hati dengan orang yang sama?

"Mbak, apa sih yang Mbak Mel, harapkan dari, Dion?"

"Apa selamanya cuman Dion, yang ada di hati, Mbak Mel?"

"Apa, Mbak Mel, sudah tidak berniat membuka hati untuk cowok lain?" tanya Bagas.

Aku masih terdiam, dan air mataku jatuh kian deras. Sejujurnya aku tidak mau merasakan ini semua, tapi mau bagaimana lagi?

Hatiku tidak sekuat mereka yang bisa dengan mudahnya menggantikan cinta pertamanya dengan cinta yang baru.

Aku bukan gadis yang mudah jatuh cinta. Aku memang payah! Aku tidak tahu kenapa aku menjadi gadis yang menyedihkan seperti ini?!

Perlahan Bagas menggenggam kedua tanganku.

"Mbak, lihat aku!" pintanya.

Aku masih menunduk, mataku masih berair.

"Ayo cepat lihat aku! Sekarang!" Bagas menaikkan nada bicara.

Akhirnya aku memandangnya.

"Mbak, jujur aku juga pernah merasakan cinta pertama. Dan cinta pertamaku sampai sekarang masih kusimpan dalam hatiku ... aku tahu dia tidak menyukaiku. Dan aku tahu dia tidak mungkin membalas cintaku, karna sampai sekarang dia masih menganggapku sebagai teman. Dan mungkin juga selamanya dia akan menganggapku sebagai teman! Tidak lebih! Yah ... aku memang pria yang menyedihkan! Tapi aku tidak peduli. Aku masih mencintainya sampai kapanpun. Sampai aku benar-benar bosan karna mencintai secara sepihak. Meski begitu aku tidak mau menyiksa diriku dengan menutup hatiku untuk orang lain. Kalau ada yang menyukaiku, aku akan menerimanya, yah ... setidaknya akan kuberi dia kesempatan," tutur Bagas. Dia masih duduk di bawahku, sementara aku duduk di atas ayunan.

Gaya kami mirip sepasang muda-mudi yang sedang berkencan, dan si prianya sedang menyatakan cinta pada si wanita. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Karena aku dan Bagas, selamaya akan menjadi teman. Aku tak pernah berharap dia akan menjadi kekasihku.

Dan jujur aku tidak terlalu paham dengan ucapan Bagas tadi.

Lalu Bagas melanjutkan pembicaraannya.

"Dan, Mbak Mel, tahu enggak siapa cewek yang aku suka?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku, karna aku memang tidak tahu. "Cewek itu adalah—" ucapan Bagas terputus saat seseorang memanggilnya.

"Gas! Gas!" teriak Laras.

Gadis itu tidak hanya datang sendirian, tapi ada Aryo, Ardi, dan Rio.

Melihat Bagas tengah ada bersamaku, mereka pun mendekati kami.

Belum selesai masalah tentang Dion, tapi ada masalah baru yang kembali kuingat.

Yaitu insiden di Studio Musik kemarin.

Aku hampir lupa dengan peristiwa memalukan itu setelah aku bertemu dengan Dion.

"Kebetulan ada, Mbak Mel, juga!" ucap Laras. Wajahnya tampak antusias, sepertinya dia ingin mengucapkan sesutu.

Aku hanya diam dengan wajah yang melengos. Jujur aku masih kesal kalau ingat masalah yang kemarin, awalnya aku sangat kagum dengan Laras. Aku pikir dia gadis yang baik hati, dan pandai bernyanyi.

Tapi setelah kejadian kemarin, aku langsung menganggap Laras tak lebih sebagai, Tukang Bully.

Aku turun dari ayunan, hendak meninggalkan tempat itu.

Tapi Bagas menghentikanku.

"Jangan pergi dulu, Mbak!" ucapnya.

"Aku males ketemu sama mereka!" cantasku.

Dan raut panik seketika muncul di wajah Laras.

"Mbak! Jangan pergi dulu! Kami kesini mau minta maaf!" ucapnya.

Aku memdengus kesal, dan aku pun akhirnya memutuskan untuk tetap berada di tempat itu.

Aku berdiri sambil melipat kedua tangan dengan bibir cemberut, tatapanku pun sangat sinis.

Laras semakin medekat lagi, dia kembali mengulangi ucapan permintaan maafnya.

"Mbak, saya mewakili, Rio, Ardi, dan Aryo, ingin meminta maaf sama, Mbak Mel," ucap Laras.

"Saya tahu, kemain saya dan yang lainnya udah keterlaluan sama, Mbak Mel. Pasti Mak Mel, marah banget, 'kan sama kita?"

"Oleh karna itu, kami menyesal, Mbak. Kami minta maaf ...." Wajah Laras tampak memelas, terlihat sekali jika dia memang benar-benar menyesal.

Lalu Rio berjalan mendekatiku, "Mel, gak apa-apa, suara kita jelek! Yang penting, 'kan muka kita gak jelek!" kata Rio.

Sebenarnya, selain Bagas, hanya Rio yang tak mentertawakan aku kemarin. Mungkin karna kita senasib, dan Rio memang tidak punya suara yang bagus. Alias suara sumbang yang kalah merdunya dengan suara buruk gagak.

"I-iya, Rio!" jawabku agak gagap.

Aku menatap wajah Rio dengan seksama, dia bilang 'gak apa-apa suara jelek, yang penting mukanya, gak jelek,' dan setelah kupandang dengan seksama, wajah Rio itu ....

Kulit hitam keling, rambut kriting belum di sisir.

Dan aku yakin kalau Rio sudah seminggu ini belum keramas, dan wajahnya yang mengkilap bagaikan dilulur dengan 'Oli Top One' pasti dia juga jarang cuci muka dengan 'Facial Foam' terus kenapa dengan percaya dirinya dia bilang kalau dia itu 'tidak jelek?'

Aku tidak mau mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan, karna nanti ujung-ujungnya aku malah menyinggung hati Rio.

Aku saja tidak mau diejek karna suaraku jelek. Walau sebenarnya suaraku memang jelek.

Dan ada baiknya kita menahan kata-kata jujur yang membuat orang menjadi sakit hati.

Bersambung....