Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 40 - Meminta Maaf

Chapter 40 - Meminta Maaf

Esok paginya, aku mendatangi rumah Laras, berharap sebelum aku pulang ke Jakarta, Laras sudah memaafkanku.

Berkali-kali aku mengetuk pintu, tapi Laras tidak mau keluar, aku juga berusaha untuk menelponnya, tapi Laras juga tidak mau mengangkatnya.

Kemudian datang wanita paruh bayah mendekatiku.

Wanita itu berkulit putih, dan bermata sipit, mirip Laras.

"Hai, kamu siapa?" tanya wanita itu.

"Halo, Tante, kenalkan namaku Melisa, temannya Laras," jawabku.

"Oh temannya Laras? Kok di luar? Kenapa gak masuk? Laras ada di dalam kok!" ucapnya.

"Masalahnya, pintunya gak di buka, Tante, gimana saya masuk?" Aku menjelaskan seraya tersenyum, "nanti dikira maling dong?" kataku.

"Ah, iya juga ya?" si Tante itu manggut-manggut.

"Tante, Mama-nya Laras ya?" tanyaku pada wanita itu.

"Iya, benar! Saya Mama-nya, Laras! Kok kamu bisa tahu?" Beliau bertanya balik.

"Em ... mukanya mirip, Tante," jawabku sambil tersenyum lagi.

Dan wanita itu malah tertawa menanggapinya.

"Ah haha! Iya juga sih banyak yang bilang begitu!" Lalu dia menjulurkan tangannya kearahku, "kenalin nama saya, Magdalena, panggil saya, Tante Lena," tukasnya.

Aku segera menyambut tangan itu dengan ramah, ternyata Mama-nya Laras orangnya baik juga, dan kelihatannya orangnya juga asik.

"Laras," ucapku.

"Tadi, 'kan kamu udah nyebut nama!" katanya.

"Eh, iya lupa!" Aku tersipu malu, "sekalian biar, Tante Lena, hafal!" ledeku kepadanya.

"Haha! Kamu ini ada-ada aja! Kamu dari Jakarta ya?"

"Iya, Tante! Kok tahu?"

"Kelihatan, dari logat bicaranya!"

"Masa?"

"Ho'oh!" Tante Lena manggut-manggut.

"Kalau, Tante, habis dari mana? Kok cantik banget?" tanyaku.

"Tante sebenarnya mau ke Gereja, tapi ada yang ketinggalan makanya balik lagi!" jelasnya.

"Oww," kini giliran aku yang manggut-manggut.

Dan Tante Lena memutar gagang pintu.

'Ceklek!'

Pintu pun terbuka, rupanya pintu itu tidak dikunci.

"Ayo masuk, Mel! Tante panggil, Laras dulu," ajaknya.

"Baik, Tante!" jawabku.

"Duduk!" suruh Tante Lena.

"Iya,"

Aku pun duduk di atas sofa, menunggu sampai Laras keluar dari kamarnya. Kembali memasukki rumah ini aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengan Laras.

'Eh, ngomong-ngomong si Bruno, mana?' Aku mendadak teringat dengan hewan menyeramkan itu.

'Aduh hampir lupa kalau si Laras, 'kan punya anjing galak, kalau tiba-tiba anjingnya nyemperin gue bisa bahaya banget ini,' bicaraku di dalam hati.

Aku menjadi semakin was-was, takut sekali kalau anjing galak milik Laras tiba-tiba muncul dan menggonggongiku, atau bahkan menggigitku pahaku! benar-benar sangat menyeramkan!

Sambil menunggu Laras datang, aku memejamkan mata seraya membaca doa di atas sofa, berharap anjing galak itu tak menghampiri aku.

Selain itu aku juga merasa takut, jika Laras tidak mau memaafkanku.

Aku benar-benar tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

Aku ingin ketika pulang ke Jakarta nanti, semua sudah baik-baik saja. Terutama hubunganku dengan Laras.

Sekarang aku sudah resmi putus dengan Dion, itu artinya aku benar-benar harus melupakannya, dan tidak ada alasan lagi untuk memikirkan Dion, tidak seperti dulu setatus hubunganku masih menggantung.

Kini akhirnya masalahku dengan Dion sudah usai, tapi sayangnya ada masalah lain yaitu dengan Laras. Aku ingin Laras juga memaafkanku.

Dia harus tahu jika aku tidak ada niat jahat kepadanya, apalagi sampai memiliki dendam kepadanya.

Tak lama Tante Lena keluar dari dalam kamar Laras.

Wanita itu menghampiriku dengan raut wajah yang agak kecewa.

"Mel,"

"Iya, Tante, ada apa?"

"Kayaknya, Laras lagi gak mau di ganggu deh, maaf ya," ucapnya sedikit tidak iklas.

"... oh gitu ya, Tante?" Aku juga kecewa.

Ini artinya Laras benar-benar tidak mau memaafkanku.

"Kalian sedang ada masalah ya?" tanya Tante Lena.

Aku pun mengangguk, "Iya, Tante,"

"Ayo, kita ngobrol di warung pecel depan sana!" ajak Tante Lena.

"Tapi katanya, Tante, mau ke Gereja?" tanyaku.

"Bentar doang gak bakalan telat kok ... lagian Tante belum sarapan," ucapnya.

Aku mengikuti ajakan Tante Lena, mungkin dengan begini, beliau bisa menyampaikan permintaan maafku kepada Laras, dan mungkin juga beliau akan menjelaskan kesalah pahaman ini kepada Laras.

Di sebuah warung pecel sederhana, yang letaknya tak jauh dari rumah Laras, aku dan Tante Lena mengobrol.

Beliau juga membelikanku satu porsi pecel lengkap dengan es teh manis.

"Yaudah, sekarang kamu bisa ceritakan semua sama Tante," ucapnya.

Dan tanpa ragu, aku bercerita semuanya kepada Tante Lena, tentang Laras yang baru saja menyatakan cinta kepada Bagas.

Tapi sayangnya Bagas malah menyukaiku.

Aku juga menceritakan kepada Tante Lena, tentang kejadian memalukan yang aku alami ketika berada di studio milik Rio.

Dan hal itulah yang membuat Laras merasa curiga jika aku menjebak dia agar mau menyatakan perasaan cintanya kepada Bagas, padahal aku sudah tahu Bagas menyukaiku, dan dengan begitu Laras akan merasa malu karena ditolak oleh Bagas. Setidaknya itu yang ada di dalam benak Laras.

Dia mengira patah hatinya karena aku yang telah merencanakannya.

Padahal tidak sama sekali.

"Oh, jadi begitu ceritanya? Rumit juga ya masalah kalian?" kata Tante Lena.

"Yah, begitu deh, Tante, aku gak enak sama Laras,"

"Ya sudah, nanti biar, Tante jelaskan pelan-pelan. Tante yakin pasti Laras mau dengar kok," Beliau mengusap pundakku.

"Tapi kalau Laras gak aku maafin aku gimana?"

"Udah tenang aja, pasti mau kok. Sekrang dia itu lagi emosi aja, nanti lama-lama juga reda,"

"Tapi kalau dia berbuat yang tidak-tidak gimana, Tante?"

"Berbuat yang tidak-tidak? Maksudnya ...?"

"Ya, namanya juga orang patah hati karena cinta ditolak, bisa aja dong, Tante, kalau Laras bunuh diri, minum racun tikus, makan obat nyamuk, atau ngirup gas elpiji gitu, 'kan, Tante?!" ucapku dengan heboh, dan Tante Lena malah menertawakanku.

"Haha! Ya gak gitu juga kali, Mel? Laras mah bukan tipe orang yang mudah bunuh diri!" ujarnya.

"Ya, 'kan kita gak tahu, Tante!"

"Haha! Udah! Udah! Kamu habisin makanan kamu, nanti Tante antar kamu pulang, sekalian mau ke Gereja, kan searah tuh!" kata Tante Lena menutup obrolan kami.

*****

Ya ... setidaknya aku merasa tenang, walau Laras tidak mau bertemu denganku, tapi Tanre Lena berjanji akan menyampaikan permintaan maafku kepada Laras.

Selain itu Tante Lena juga mengantarkanku pulang dengan mengendarai motor metiknya.

*****

"Makasi, Tante, udah anterin, Mel!" ucapku seraya melambaikan tangan.

"Iya, Mel! Sama-sama!" sahutnya.

Aku tak langsung masuk ke rumah, aku memutuskan duduk di bawah pohon talok.

***

"Mbak Mel, habis dari mana?" tanya Bagas, yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

"Astaghfirullah! Bagas, kamu ngagetin aku tahu!"

"Yang tadi bukanya Tante Lena ya?" tanya Bagas.

"Iya!"

"Tunggu! Jangan bilang kalau, Mbak Mel, habis dari rumah, Laras?"

"Lah emang iya! Terus kenapa?"

Bersambung ....