Setelah kejadian kemarin aku tidak mau lagi berangkat ke sekolah bersama dengan Elis.
Aku trauma! Dan pagi ini aku diantar oleh Papa, beserta Tante yang kebetulan kantornya searah.
"Mel, kemarin gimana ceritanya kok kamu sama Elis bisa nyungsep ke sungai sih?" tanya Tante Diani.
"Tante, bisa enggak jangan bahas itu?" protesku.
"Loh, kenapa? Tante, 'kan pengen denger ceritanya?"
"Iya, tapi jangan tanya, Tante! Mel tuh trauma!"
"Lagian kamu sih naik motor segala ugal-ugalan!"
"Tapi yang bawa motor itu Elis, Tante! Bukan aku!"
"Ya sama ajalah! Yang naik, 'kan kalian berdua!" kata Tante yang tak mau mengalah.
"Ih, Tante, mah!" Aku mulai cemberut.
Tante Diani memang hobi menggangguku, padahal sejak kemarin aku sudah bilang kalau aku tidak mau membahas tentang kecelakaan kemarin, dengan alasan aku yang trauma, tapi Tante masih saja memaksaku. Agar aku menceritakan kepadanya. Sepertinya Tante Diani memang sengaja membuatku kesal. Mungkin kalau bisa membuatku kesal, dia seperti mendapatkan kebahagiaan tersendiri.
Huh dasar, Tante!
"Ayolah, Mel! Cerita samaTante,"
"Gak mau, Tante!"
"Ayo cerita!" Dia memaksa lagi.
"Enggak!" Aku pun sampai membentaknya lalu menutup telingaku dengan earphones.
Sementara Papa sepertinya sedang menasehati Tante Diani supaya tidak menggangguku. Tante memang nyebelin!
***
Sesampainya di sekolah, aku bertemu dengan Elis, dia juga tampak lebih diam dari biasanya. Kami memang sudah sepakat untuk tidak menceritakan kejadian yang kemarin.
Sehingga hari ini pun aku dan Elis bersikap seakan tak terjadi apapun.
Tapi sayangnya Jeni sudah tahu dari Tante Diani, sehingga dia kembali membahas kejadian kemarin di sekolah.
Biasanya yang menjadi Ratu Kepo adalah Elis, tapi kali ini yang menjadi Ratu Kepo, gantian si Jeni.
"Mel, El, kenapa Tante Diani kemarin kalian abis kejebur di sungai ya?" tanya Jeni.
"Dasar, Tante Ember!" umpatku.
"Jen, bisa enggak jangan bahas ini?" protes Elis.
"Tapi kenapa? Aku, 'kan kepo?" sahut Jeni dengan polosnya.
"Udah, Jen! Keponya dipending dulu deh!" sengutku.
Tak berselang lama si Pengganggu alias Dino datang menghampiriku.
Aku tidak habis pikir kenapa makhluk astral ini masih saja mendatangiku.
"Hay, Mel," sapanya dengan ramah.
"Apa?!" sengutku.
"Mel, bisa ngomong berdua aja enggak?" Lalu Dino melirik Elis dan Jeni, "kalian bisa pergi enggak? Aku mau ngomong penting sama, Melisa," ujarnya.
Dan kedua sahabatku itu pun menjawab dengan kompak, "ENGGAK!"
"Ayolah, biarin aku sama Mel, ngomong bentar aja," rengek Dino.
Elis pun mulai tersulut emosi.
Dia mulai bertolak pinggang dengan raut wajah yang menantang.
"Eh, Dino! Lu cari mati ya!?" tanya Elis dengan nada yang mengancam.
"Elis, udah, El," bisikku sambil menarik tangannya dengan pelan.
Jeni juga membantuku untuk mengajak Elis pergi kerena kami tidak mau kalau sampai Elis membuat keributan di tempat ini.
Kerena Elis satu-satunya cewek yang sikapnya paling Preman di antara kami.
"Ih, kalian jangan ngalang-ngalangi gue dong! Udah lama banget tahu, gue pengen bikin kepala Dino jadi benjol!" teriak Elis.
"Jangan, Lis! Jangan!" kataku.
"Iya, Lis! Bahaya urusannya bisa ke Guru BK dan paling buruknya bisa sampai ke pihak berwajib" kata Jeni.
Lalu kami menarik paksa Elis agar manjauh dari depan Dino.
"Ih kalian apaan sih!" teriak Elis, "jangan tarik-tarik gue!" Elis berusaha untuk meronta.
"Mel!" teriak Dino memanggilku.
"Kalau masih pengen hidup diem lu, Din!" teriakku.
Sedangkan Dino masih terlihat bingung dan ingin mengejarku, tapi masih ragu-ragu, akhirnya dia tetap diam di tempat dengan wajah polos yang menurutku sangat memancing tindakan anarkis.
Tapi yasudahlah, aku saja melarang Elis untuk tidak menghajarnya, masa iya aku yang malah turun tangan untuk menghajarnya?
Ini tidak mencerminkan tindakan yang beradap.
***
Aku dan Jeni membawa Elis duduk di kantin.
Dan kami membelikan satu gelas es teh manis untuk Elis, berharap dengan minum yang manis-manis emosi Elis bisa redam.
"Lu udah enakan, Lis? Gak emosi lagi, 'kan?" tanyaku.
Elis masih menyeruput teh manisnya.
"Ya lumayan gue udah enakan, emosi gue udah rada reda, tapi kalau boleh gue beliin siomay juga dong!" pinta Elis.
'Memang, Elis, itu teman tiada akhlak,' batinku, 'sudah ditraktir es teh manis masih merembet ke siomay!'
Tapi apa boleh buat daripada dia membuat keributan yang berujung membuat kami malu, akhirnya aku menuruti permintaannya.
"Iya, gue beliin!" sahutku.
"Sekalian sosis bakarnya ya? Gue lagi pengen nih," pinta Elis lagi.
Seketika aku dan Jeni mendengus berjamaah, anak ini sepertinya memang aji mumpung.
"Iya, deh! Gue beliin!" kataku dengan raut wajah yang tidak iklas.
Tapi namanya juga Elis mau iklas atau tidak yang membelikan, dia tidak peduli yang terpenting perutnya tetap kenyang.
Selanjutnya kami membahas cara untuk membuat Dino menjauh dariku. Karena selama ini Dino masih terus mengejarku dan dia terus mengusik kehidupanku. Aku benar-benar tidak nyaman, aku juga takut kalau kejadian yang waktu itu terulang kembali.
Masih terngiang-ngiang betapa gelapnya kamar di rumah bercat ungu itu. Pengalaman yang paling menyeramkan sepanjang hidupku.
Aku tidak bisa melakukannya dengan cara kasar, aku ingin membuat Dino menjauh darimu dengan cara yang halus.
Yah dengan cara yang licik misalnya?
"Mel, kayaknya kamu kudu kasih kesempatan Dino buat jalan sama kamu satu kali lagi deh," usul Jeni.
"Ih kamu mah udah stres ya, Jen? Mana mau aku kasih kesempatan buat dia? Eww, najis!" sahutku.
"Iya, lu, Jen! Ada-ada aja masa iya elu nyuruh Mel ngasih kesempatan buat Dino? Gue gak bakalan rela, Mel pacaran sama Dino!" kata Elis.
Aku dan Elis ngotot dan menentang usulan Jeni.
Tapi Jeni masih menanggapi kami dengan santai.
"Ah, kalian ini bawaannya emosian mulu deh, pakek otak dong," kata Jeni.
"Maksudnya?" tanyaku.
Jeni tersenyum sedikit menatapku sesaat, lalu menatap Elis.
"Jadi, Mel itu pura-pura kasih kesempatan buat Dino lagi, tapi dalam kesempatan itu kita kerjain Dino habis-habisan!" kata Jeni dengan senyuman liciknya.
"Wah, ide bagus tuh! Tapi gimana caranya?" tanya Elis.
Lalu Jeni memegang kepala kami berdua dan berbisik.
"Pokoknya malam minggu nanti Mel, harus kencan sama Dino, nanti aku bakalan susun rencana yang lebih matang lagi supaya Dino benar-benar kapok kencan sama, Mel," ujarnya.
"Tapi kalau Dino nyekap aku lagi gimana?" tanyaku.
"Ya gak bakalan lah, Mel! Aku sama Elis bakalan mantau kalian!" jawab Jeni.
"Ok deal!" kata Elis yang langsung menyetujuinya, padahal kami itu belum sepenuhnya paham dengan rencana Jeni.
Tapi aku yakin Jeni pasti punya ide yang brilian, dia itu, 'kan gadis yang jenius. Hanya saja tampang lugunya sering membuat orang jadi salah paham, dan mengiranya gadis lemot.
Bersambung ....