Malam telah tiba-tiba, aku menepati janji bersama Bagas.
Yah jalan-jalan, Bagas bilang dia ingin menikmati kota Jakarta di malam hari.
Bagas menjemputku dan disaksikan oleh Tante serta Mama yang kebetulan sedang berada di rumah.
"Ih, ya ampun Bagas, malam ini ganteng banget sih! Kamu kalau dandan rapi begini gak kelihatan kayak anak SMP lo," puji Tante Diani.
"Saya, 'kan sudah SMA, Tante," sahut Bagas.
"Eh, iya juga ya Tante sampai lupa, kalau kamu sekarang udah SMA!" ujar Tante sambil tertawa.
"Bagas, kamu ganteng banget, emang kamu gak naksir sama anak Tante? Anak Tante, 'kan juga cantik lo," ujar Mama yang seolah mempromosikan diriku.
"Mama!" Seketika aku berteriak.
Karena Mama sudah keterlaluan, yang ada dia malah membuat aku jadi malu.
Lagi pula mereka itu tidak tahu jika aku sedang bermasalah dengan Bagas tentang perasaan, aku tidak mau berhubungan dengan Bagas selain hubungan pertemanan.
Lagi pula Bagas itu sudah menjadi pacarnya Laras.
"Ih, kanapa sih, Mel! Wajar dong, kalau Mama promosiin? Anak Mama, 'kan lagi jomblo ini!" sahut Mama.
"Iya bener kata Mama kamu itu, Mel! Dari pada kamu mikirin Dion yang gak jelas keberadaannya!" imbuh Tante Diani.
Tante dan Mama begitu kompak mendukung hubunganku dengan Bagas. Semakin memperumit keadaan saja.
"Ih, apaan sih! Bagas itu udah punya pacar tahu!" sengutku kepada dua wanita itu.
"Ih, masa sih?" Tante terlihat tak percaya.
"Emangnya bener, Nak Bagas?" tanya Mama pada Bagas.
Bagas tersenyum dan hendak menjawab pertanyaan Mama serta Tante, tapi aku langsung menarik tangannya dengan paksa.
Aku tidak mau obrolan kami semakin berbuntut panjang, dan Mama serta Tante Diani akan berbicara yang semakin nyeleneh. Kalau sampai hal itu terjadi maka akan berpotensi mempermalukan diriku.
"Gas, ayo pergi sekarang!" ajakku dengan paksa.
Kami pergi dengan mengendarai taksi online yang sudah kupesan.
Aku mengajaknya ke restoran yang sama dengan tempat Elis berkencan.
Aku ingin memantau apa saja yang di lakukan Julian saat bersama dengan Elis. Aku takut Julian berbuat macam-macam pada sahabatku itu.
"Mbak Mel, kita bakalan pergi kemana sih?" tanya Bagas.
"Kita pergi ke restoran seafood baru yang terkenal enak banget, Gas!" jawabku.
"Jauh enggak?"
"Enggak kok, bentar lagi juga sampai,"
"Ow," Bagas kembali fokus ke arah depan, dia memandang suasana kota Jakarta di malam hari.
Tak sengaja aku malah memperhatikan penampilan Bagas malam ini.
Benar kata Tante Diani kalau penampilan Bagas malam ini benar-benar sangat berbeda.
Menggunakan celana jeans hitam, dipadu dengan kemeja flanel hitam abu-abu, gaya rambut undercut, serta sneackers warna hitam yang membuatnya semakin keren.
Biasanya Bagas itu lebih suka menggunakan kaos oblong dengan celana jean robek-robek di padu sendal gunung yang jarang di cuci.
Tapi entah mengapa malam ini Bagas terlihat lebih rapi? Apa dia berpenampilan seperti ini karena ingin menarik perhatianku?
Entalah ... aku tidak tahu, yang jelas dia sukses membuatku kagum.
Entah kagum atau apa? Aku juga tidak terlalu paham dengan perasaanku ini. Yang jelas jantungku kembali berdegup kencang, ini rasa yang sama dengan apa yang aku rasakan pada saat pertama bertemu Bagas, dan saat aku tidak tahu jika Bagas itu teman masa kecilku. Hampir saja jantungku copot, tapi bayangan Dion mengingatkanku agar tidak mudah jatuh cinta kepada pria lain.
Tapi sekarang kenyataannya berbeda, aku sudah tidak ada hubungan dengan Dion, apa itu artinya aku sudah boleh ...?
Ah tidak mungkin!
"Mbak Mel, kenapa ngelihatin saya kayak begitu?" tanya Bagas.
Aku langsung mengerjap dengan cepat, "Eh enggak kok, Gas!" sahutku menyangkal. "Aku gak ngelihatin kamu tuh!" Padahal aku memang benar-benar sedang memperhatikan Bagas, hanya saja aku tidak mau mengakuinya, sangat—gengsi.
"Mbak Mel, pasti baru nyadar ya kalau saya ini ganteng?" tanya Bagas dengan percaya dirinya.
"Ih, apaan sih! Jangan GR kamu!" sengutku.
Padahal memang benar jika Bagas itu sangat tampan.
Aku sudah tahu sejak dulu, hanya saja aku tidak menyukainya, maksudnya aku tidak mencintainya.
Eh! Tunggu!
Aku tidak menyukai Bagas, tapi kenapa sekarang aku merasa deg-degan saat dekat dengan Bagas?
'Ah! Aku gak jatuh cinta kok! Deg-degan itu wajar! Aku kalau lihat film hantu juga deg-degan! Anggap aja Bagas itu hantu!' bicaraku di dalam hati.
"Mbak Mel, kok kaya lagi mikir sesutu begitu sih? Mbak Mel mikirin apa sih?" tanya Bagas.
"Eng-gak!" sahutku.
Lalu Bagas meraih ponselnya yang kebetulan sedang berbunyi, ada panggilan masuk.
"Halo, Ras! Ada apa?"
[....]
"Iya, aku lagi sama, Mbak Mel!"
[....]
"Ok, nanti pulang dari Jakarta bakalan aku beliin oleh-oleh khusus buat kamu," ucap Bagas, lalu dia menutup panggilan teleponnya.
Bagas kembali menaruh ponselnya di dalam saku.
"Tadi yang telepon Laras ya, Gas?" tanyaku.
"Iya, Mbak!" sahut Bagas.
"Dia tahu kalau kita lagi jalan bareng?"
"Iya, tahu," jawab Bagas dengan santai.
"Terus, apa dia gak cemburu sama kita?" tanyaku sedikit panik.
Tapi Bagas lagi-lagi bersikap santai.
"Enggak kok, dia gak cemburu. Karena dia tahu kalau Mbak Mel, itu gak pernah suka sama aku!" sahut Bagas.
"Oww," Aku mengangguk paham.
Aku memang tidak suka dengan Bagas, selain menjadi teman saja.
Tapi entah mengapa melihat Bagas yang sedang mengobrol dengan Laras, aku sedikit kesal.
Aku tidak yakin kalau ini perasaan cemburu. Mungkin aku merasa kesal karena aku sedang Jomblo, sementara Bagas dan Laras lagi mesra-mesranya.
Aku merasa tidak tenang, aku tidak tahu dengan perasaanku sendiri.
Berulang kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku ini tidak suka dengan Bagas!
Tapi semakin aku menolak, semakin aku ... ah tidak! Aku tidak jatuh cinta dengan Bagas, 'kan?
Yah aku TIDAK SUKA DENGAN BAGAS!
Hufft ....
"Mbak, bener ini restorannya?" tanya Bagas, kebetulan mobil taksinya sudah berhenti, dan hampir saja aku tak menyadarinya karena lagi-lagi aku sedang melamun
"Iya, Gas! Bener, ini restorannya," jawabku.
"Yaudah ayo buruan turun, kenapa malah diam aja?" ujar Bagas.
"Eh, iya deh!" Aku pun langsung turun, tak lupa aku membayar ongkos, tapi baru saja mengeluarkan dompet Bagas malah menghentikanku.
"Udah, Mbak! Biar aku aja yang bayar!" ujar Bagas seraya mengeluarkan dompetnya.
Dia benar-benar gentleman, apalagi aku tahu dia itu sangat mandiri, dan untuk masalah uang jajan meskipun masih pelajar kelas 1 SMA, dia tidak terlalu mengandalkan pemberian orang tuanya. Tidak seperti aku yang selalu menengadahkan tangan pada, Mama, Papa, dan Tante, Bagas itu sering bekerja sampingan untuk mendapatkan uang.
Yah Bagas sering bernyanyi dengan teman Band-nya di acara tertentu, sering dia diundang sebagai bintang tamu dalam acara perpisahan sekolah, ulang tahun, dan lain sebagainya. Walau honornya tak sebesar Band Papan Atas, tapi lumayan untuk tambahan uang jajan mereka.
Bagas juga mendapatkan uang dari membuat video youtube di channel pribadinya. Subscriber-nya lumayan banyak, gajih Adsense dalam satu bulan bisa untuk biaya sekolahnya.
Aku sedikit kagum akan hal itu, tapi hanya sedikit saja, kerena aku membatasi diriku sendiri agar tidak terlalu kagum terhadap Bagas, sebab bisa menimbulkan perasaan yang lainnya.
Perasaan cinta misalnya?
Ah tidak boleh!
Bersambung ....