Sampai di hari berikutnya aku masih bersikap manis terhadap Dino.
Seolah-olah aku benar-benar bersungguh-sungguh untuk belajar mencintai Dino.
Tapi sayangnya Dino malah seakan menjauh dariku. Bagus! Memang itu yang aku mau haha!
"Mel, itu ada Dino, buruan deketin gih!" suruh Elis.
"Ah, males, masa sih masih harus deketin juga?" keluhku.
"Yaiya dong, Mel! Biar si Dino gak curiga, pokoknya sebelum dia benar-benar nyatain buat mundur, kamunya jangan berhenti!" kata Elis.
"Apa kata Elis itu bener banget, Mel," imbuh Jeni.
Tak ada pilihan lain akhirnya aku pun menuruti saran mereka, dan berjalan mendekati Dino.
***
"Hay, Dino," sapaku.
"Eh, Mel," sahut Dino. Dan hari ini pun Dino juga tampak tak bersemangat.
"Gimana kue buatan aku kemarin? Enak enggak?" tanyaku.
"E-nak kok!" sahut Dino, "iya enak banget!" ucapnya lagi memantapkan pernyataannya.
"Wah! Makasi atas pujiannya!" Aku bersikap heboh, "eh, Dino! Ke kantin yuk!" ajakku.
Lalu kutarik paksa tangannya, padahal Dino tidak begitu niat untuk pergi ke kantin, tapi aku tidak peduli memang aku sengaja membuat hari-hari Dino terasa seperti beban.
Kali ini aku jadi, Mel si Licik!
"Eh, Dino, aku mau pesan bakso kamu mau enggak?" tanyaku.
"Enggak deh, aku udah sarapan," jawab Dino.
"Oh, kalau gitu, aku aja deh yang pesan," ucapku, "tapi bayarin ya?" Lalu kukerjapkan kelopak mataku dengan cepat, sebagai rayuan untuk Dino.
"I-iya, deh!" jawab Dino dengan terpaksa.
"Makasi, Dino!" Aku mencubit wajah Dino dengan gemas.
"Akh!" teriaknya, "sakit, Mel!" keluhnya.
"Eh, maaf ya, Dino! Aku gemas hehe ...." jawabku dengan tertawa garing.
"Mbak, Bakso satu! Teh manis satu!" teriakku.
Dan si Embak Kantin mengacungkan jempolnya, "Siap!" jawabnya.
Sambil menunggu pesanan datang aku mengajak Dino mengobrol, walau sebenarnya aku sangat malas berbicara dengannya.
Tapi ya sudahlah ini demi kebaikanku juga, aku benar-benar ingin agar Dino tidak mengusikku untuk selama-lamanya!
'JEGLER!'
Eh mendadak ada petir!
Tapi bohong! Hehe ....
"Eh, Dino, kayaknya aku beneran udah jatuh cinta sama kamu deh," ucapku dengan mata berbinar.
"Se-serius?" Dino terlihat ragu mendengarnya. Entah karena tak percaya dengan ucapanku? Atau dia memang sudah mulai tak nyaman denganku?
"Iya, Dino. Aku semakin jatuh cinta sama kamu, karena kamu itu orangnya pengertian banget, kamu juga gak pelit, setiap aku makan kamu selalu bayarin aku. Terus kata teman hantu aku, kamu itu memang cocok buat aku," ujarku.
"Gi-gi-gi—"
"Gi apaan? Gigi?"
"Bu-bu-kan! Gi—"
"Gila?" tanyaku.
"Bukan, Mel! Tapi 'gitu ya?' maksud aku!" jelas Dino.
"Oh, iya! Teman hantu aku itu selalu kasih petunjuk tentang hal baik kepadaku, termasuk siapa cowok yang terbaik buat aku!" jelasku pada Dino.
Dino menghela nafas panjang lalu dia mengusap dahinya yang berkeringat.
"Ah, kamu keringetan mulu sih, Din! Kamu kurang sehat ya?" tanyaku seraya menghapus keringatnya dengan sapu tangan.
"Mel, sapu tangan kamu kok baunya begini sih?" tanya Dino.
"Kenapa? Baunya wangi, 'kan?" tanyaku.
"Iya, wangi sih, tapi ...."
"Tapi apa, Din?"
"Tapi wanginya aneh banget, Mel!" sahut Dino.
"Ah masa sih?" Aku mencium sapu tanganku dan baunya memang aneh, wanginya terlalu menyengat, aku menggunakan minyak nyong-nyong milik si Embak Asisten Rumah Tangga di rumahku. Kebetulan minyak wanginya aroma melati. Aku hampir menghabiskan satu botol kecil untuk satu sapu tangan.
"Baunya enak banget tahu, Din! Ini aroma melati! Bunga kesukaan aku!" sahutku dengan bangga.
Dino mengernyitkan dahinya dengan raut wajah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Dia benar-benar merinding, aku melihat sendiri jika bulu-bulu di tangannya mulai berdiri.
"Mel, jangan elap dahi aku pakek itu! Baunya aku gak suka!" bentak Dino.
"Dino, kamu bentak aku lagi?" Kupasang wajah yang kecewa, dan kedua sudut bibirku turun ke bawah. Menandakan jika aku sedang bersedih, padahal ini hanyalah kesedihan palsu.
"Eh, maaf Mel, tapi aku beneran ...." Dino mulai merasa bersalah.
"Kamu kenapa?" tanyaku.
"Aku mau jujur sama kamu, Mel!"
"Jujur soal apa?"
"Jujur, aku udah gak cinta lagi sama kamu, Mel," jawab Dino dengan sedikit ragu-ragu.
'Yes!' dalam hatiku jingkrak-jingkrak tak karuan.
"Kamu beneran udah gak cinta lagi sama aku?" tanyaku pura-pura sedih lagi.
"Maaf ya, Mel," Dino mengusap pundakku pelan-pelan.
"Tapi kenapa, Din? Apa alasannya?"
"Aku ya udah gak cinta aja, Mel! Kamu yang sekarang udah berubah! Kamu udah punya teman hantu, makan bunga kantil, melati, aneh banget!" jelasnya.
"Tapi ... aku udah beneran suka sama kamu, Dino!"
"Maafin aku ya, Mel, tapi kamu sendiri, 'kan yang udah bilang kalau cinta itu gak bisa dipaksakan?"
"Iya, sih," Aku menunduk lemas.
Aku mengerahkan sekuat tenaga agar air mataku mau keluar.
Aku mengingat-ingat film Korea yang baru kutonton tadi malam. Kebetulan film itu cukup sedih. Sehingga bisa merangsang mataku untuk mengeluarkan air.
Dan akhirnya kedua sudut mataku mulai mengeluarkan cairan bening, yes! Aku berhasil menangis.
"Mel, kamu nangis ya?" tanya Dino. "Maaf ya, Mel, tapi mau bagaimana lagi ... aku beneran udah gak cinta sama kamu," ucapnya.
Aku menganggukkan kepalaku.
"Iya, gak apa-apa kok, Dino, aku bisa terima kalau kamu udah gak cinta sama aku lagi. Cinta memang tidak bisa dipaksakan. Dan hubungan kita berakhir sampai di sini," ucapku.
"Beneran Mel!" Dino terlihat sangat girang.
"Iya, kita putus untuk kedua kalinya, Dino," jawabku.
"Yes!" Dino sampai berteriak heboh. "Eh maaf, Mel," Dan dia langsung menutup mulutnya sendiri, kerena merasa tidak enak denganku. Masa iya putus cinta malah lompat-lompat tidak jelas?
"Dino, walaupun putus kamu masih mau bayarin bakso aku, 'kan?" tanyaku.
"Iya, Mel! Gue bayarin!" jawab Dino bersemangat. Aku tahu kalau hanya membayar bakso saja tidak ada masalah bagi Dino, karena dia itu anak orang kaya.
"Dino,"
"Iya,"
"Teh manisnya juga kamu, 'kan yang bayarin?"
"Iya, Mel! Beres!"
"Boleh nambah siomay 10 ribu enggak?"
"Boleh, pesan aja!"
"Ok, sekalian aku minta sosis bakar jumbo 5 buah ya?"
"Lah banyak amat, Mel?"
"Aku, 'kan lagi galau habis putus cinta, Dino! Wajar kalau aku makannya banyak! Ini juga gara-gara kamu!" ucapku.
"Iya juga ya?" Dino garuk-garuk kepala. "Yaudah deh, Mel! Kamu mau pesan apa aja aku turuti, biar aku yang traktir. Yang penting kita tetap putus," ujar Dino.
"Iya," jawabku.
Andai saja di depanku sedang tidak ada Dino pasti aku sudah tertawa dengan lantang sampai guling-guling di bawah bangku.
Kemarin dia merengek minta balikan, dan sekarang dia merengek minta putus! Dasar si Bodoh tapi plinplan!
Saat melihat Dino seperti ini, benar-benar membuatnya terlihat sangat cemen.
Bersambung ....