"Tapi apa sih, Ndok? Nenek bakal setuju banget kalau kamu pacaran sama Bagas, apalagi kalau sampai nikah! Huh Nenek langsung loncat-loncat!" ucap Nenek menyemangatiku agar mau berpacaran dengan Bagas.
"Tapi ya gak segampang itu kali, Nek! Mel sama Bagas itu cuman temanan!" sangkalku.
"Yah, Nenek tahu kalau kalian cuma temenan! Tapi cinta itu berawal dari temenan, 'kan, abis itu jadian!" kata Nenek agak centil.
"Ih, Nenek! Belajar dari mana tuh, kok bahasanya sok asik banget sih?" cercaku.
"Ih, Nenek mah memang asyik dari sononya kali!" kata Nenek masih dengan gaya centilnya. Entah dia belajar dari mana, soalnyal awal aku bertemu dengan beliau, Nenek tidak seperti ini.
"Astaghfirullah, Nenek siapa sih?" Aku geleng-geleng kepala menanggapi, Wanita Ajaib, yang ada di hadapaku ini.
"Nenek-nya, Melisa dong," katanya penuh bangg.
***
Obrolan bersama Nenek aku hentikan dengan alasan aku yang akan beristirahat dulu. Padahal hanya alasan saja karena aku tidak mau Nenek terus-menerus membahas Bagas, dan menyuruhku untuk berpacaran dengannya.
***
Sore harinya Laras datang ke rumah dan kembali curhat kepadaku.
Tentu saja membahas tentang Bagas. Rasanya hampir mual mendengar nama Bagas terus-menerus dibahas sepanjang hari ini.
Aku bosan, huftt ....
'Dasar, Bagas! Sok Yey, banget!'
"Mbak Mel, nanti malam kami bakalan latihan, Mbak Mel, mau ikutan enggak?" tanya Laras.
"Enggak, Ras, besok aku pulang ke Jakarta, takut kecapean," jawabku.
"Beneran? Bukan karena, Mbak Mel, yang trauma gara-gara pas itu, 'kan?" tanya Laras memastikan, dia masih mengira aku tidak mau kejadian di studio itu terulang kembali.
"Ya enggak dong, Ras! Aku beneran lagi pengen istirahat." Jelasku.
"Ow gitu, Mbak Mel, sakit ya?" Laras memegang keningku.
"Enggak, aku cuman masuk angin,"
"Keningnya gak panas sih, tapi kok mukanya pucat banget?"
"Aku capek doang, Ras,"
"Tadi katanya masuk angin?"
"Ya cepek campur masuk angin, Ras!"
"Oww, mau ke Bidan?"
"Bi-bidan?!" Aku langsung menggelengkan kepalaku.
Mendengar kata 'Bidan' aku jadi ingat dengan Dion, saat itu dia memanggilkan seorang Bidan saat aku sakit. Dan karena hal itu aku jadi salah paham dengan Dion.
"Mbak Mel!"
"Eh, iya! Ada apa?"
"Mbak Mel, kok ngelamun sih? Sebenarnya, Mbak Mel sakit apa?" tanya Laras.
Aku terdiam sesaat, tidak mungkin aku akan berkata jujur jika aku tadi habis pingsan dan habis bertemu dengan Dion.
Seketika aku mengalihkan topik pembicaraan.
"Eh, Ras! Berarti, kamu nanti ketemu sama, Bagas, dong?" tanyaku.
"Yaiya dong, Mbak, kan satu band!" sahut Laras.
"Yaudah, nanti malam kamu langsung tembak Bagas aja!" kataku.
"Hah?" Laras yang giliran melamun. Wajah Laras yang sedang melamun itu terlihat aneh ... aku agak ... ngeri.
"Ras, kamu baik-baik aja?" tanyaku sambil melambai-lambaikan tangan di depan Laras.
Dan suara dengan nada tinggi langsung mengagetkanku.
"Nah! Ini beru bener!" kata Laras penuh semangat, "iya, Mbak! Nanti malam, aku bakalan nambak, Bagas!" ucap Laras penuh antusias dan semangat 45.
"Nembak sih nembak, tapi gak usah ngagetin orang juga kali, Ras!" protesku dengan bibir mengerucut.
"Ya maaf, Mbak!" kata Laras, "eh, Mbak, kira-kira Bagas bakalan terima aku enggak ya?" tanya Laras.
"Kalau menurut aku sih bakalan diterima,"
"Serius?!"
"Iya," Aku menganggukkan kepalaku.
"Tapi apa yang membuat, Mbak Mel, jadi yakin kalau Bagas bakalan terima cinta aku?"
"Ya, soalnya ... kayaknya ... pastinya ... Bagas itu suka sama kamu, Ras!"
"Ah masa sih!"
"Iya, Ras!"
"Wah asik!"
Belum diterima oleh Bagas saja, Laras sudah bahagia, hanya karena mendengar perkataanku tadi.
Bahkan saking senangnya gadis itu sampai jingkrak-jingkrak dan mencium pipiku.
Aku jadi merinding, 'Laras main cium-cium aja, emangnya gue cewek apaan?'
Dia memang agak berlebihan, tapi aku sangat memahaminya namanya juga orang sedang jatuh cinta. Wajar saja kalau bertingkah agak aneh, hanya saja aku agak takut kalau Bagas menolaknya.
Meski ada pikiran seperti itu, tapi aku berusaha untuk menyangkal kemungkinan buruk yang akan menimpa Laras, aku sangat yakin kalau Bagas pasti menerimanya.
Yah menerimanya! Semangat yo!
Dan di dalam hatiku terus berdoa agar Bagas dan Laras segera berpacaran.
Perkara aku masih jomblo dan belum move on, untuk waktu yang tidak ditentukan ... aku tidak masalah, yang terpenting kedua sahabatku bahagia.
Setelah curhat cukup lama denganku, Laras pun pulang.
Dan berulangkali dia berkata, 'Mbak, doain berhasil ya!' ucapan itu sekitar lima kali terdengar di telingaku.
"Iya, Laras! Semangat ya semoga berhasil!" kataku pada Laras.
*****
Malam telah tiba, aku masih merapikan barang-barangku dan kumasukan di dalam koper.
Sengaja aku melakukan semua karena aku tidak mau besok tergesa-gesa, dan bisanya kalau serba tergesa-gesa akan ada saja barang-barang yang tertinggal.
"Ndok! Minum susu dulu, Nenek udah buatkan lo!" kata Nenek dari luar kamar.
"Iya, Nek!"
Aku pun keluar dan ikut mengobrol bersama, Nenek.
"Besoknya kamu pulang jam berapa, Mel?" tanya Nenek.
"Kata, Pakde Darmidi, sekitar jam tiga sore, Nek," jawabku. Darmidi adalah warga kampung sini yang bekerja sebagai Sopir Travel.
"Oww," Nenek manggut paham sembari menyeruput teh manis.
"Yah, besok Nenek kesepian, gak ada kamu," keluhnya.
"Kan masih ada Kakek, Nek. Kalian nanti bisa bermesraan lagi, kalau ada Mel, 'kan kalian jadi sok jaim-jaim gitu," ledekku pada Nenek.
"Ah, si Kakek mah ada kamu atau enggak, ya sama aja! Kakek gak romantis sama Nenek," keluh wanita tua itu sambil cemberut.
"Yaelah, pakek acara tahu kata 'romantis' segala lagi! Emang romantis apa sih, Nek!" Aku meledek Nenek lagi.
"Huh, kamu nih!" Nenek mendengus kesal, dan bibirnya masih cemberut mirip ABG yang sedang digombali sama Abang-abang Tukang Cireng.
Aku gemas melihat Nenek, aku malah berulang kali melontarkan kalimat-kalimat yang membuat beliau menjadi bertambah kesal. Sengaja, karena aku suka melihat ekspresi Nenek yang sedang kesal itu, 'dasar, Aku, hehe,'
Tapi tak berselang lama terdengar ketukan pintu, yang mengalihkan obrolan kami.
"Mel, ada yang ngtuk pintu, sana bukain dulu!" perintah Nenek.
Aku, menurutinya.
Dan ternyata orang yang mengetuk pintu itu adalah Laras.
Ceklek!
"Ras, tumben malam-malam begini datang kemari? Ada apa?" tanyaku.
Lalu gadis itu mengusap kedua matanya yang berair.
"Ras, kamu kenapa?" Aku menatap wajahnya dengan seksama, "kamu lagi nangis ya?"
Laras tak menjawab pertanyaanku dan dia malah menarik tanganku lalu mengajakku pergi.
"Ayo ikut saya, Mbak! Saya mau mengobrol sebentar," kata Laras.
Aku sangat penasaran dengan Laras, apa yang akan dia katakan kepadaku? Dan kenapa dia seperti habis menangis?
Ini tidak seperti Laras yang kukenal, atau jangan-jangan Laras baru saja ditolak oleh Bagas?
Dalam otakku terus bertanya-tanya, hingga aku pusing sendiri memikirkannya.
Bersambung ....