Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 33 - Bertemu Dion

Chapter 33 - Bertemu Dion

"Sekarang, Mbak Mel, sudah paham, 'kan? Kenapa aku melarang, Mbak Mel, bernyanyi?" tanya Bagas.

Lalu aku menganggukkan kepala.

"Iya, Gas, aku udah paham. Kamu melakukan itu karna kamu peduli sama aku. Dan aku minta maaf ya, karna gak mau dengerin ucapan kamu tadi, " tukasku dengan penuh rasa bersalah.

Kini giliran Bagas yang menganggukkan kepalanya.

"Ok, kita pulang sekarang yuk!" ajak Bagas. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya kearahku.

Setelah itu kami pulang dengan mengendarai motor milik Bagas.

***

Di pertengahan jalan, Bagas menghentikan laju motornya.

"Mbak, kita berhenti dulu ya, mau ngisi bensin!" ucapnya.

"Oke!" jawabku seraya mengacungkan ibu jari.

Untuk mendapatkan beberapa liter bahan bakar, kami terpaksa mengantri. Kebetulan sekali hari ini pelanggan pom bensin itu cukup ramai.

Sambil menunggu Bagas selesai mengisi bahan bakar motornya, aku duduk di samping Musholah area pom bensin.

Sambil memandangi keadaan sekitar, aku tak sengaja melihat seorang pemuda baru saja turun dari mobil truk.

Sepertinya pemuda itu bekerja sebagai, Kenek Mobil truk.

Karna di dalam truk sudah ada seorang Sopir yang masih memegangi stir mobilnya.

Dan pemuda itu memberikan aba-aba, kepada si Sopir.

"Kiri-kiri!"

"Yok! Mundur dikit!"

"Kanan-kanan!"

"Ok, stop!" Suara pemuda itu yang memberikan intrusi kepada Pak Sopir Truk.

Aku memperhatiakannya bukan karna aku yang tak punya kerjaan, atau karna wajah pemuda itu yang sangat tampan. Tapi aku melihatnya karna wajah pria itu sangat mirip dengan Dion. Bukan hanya wajahnya saja yang mirip, tapi suara dan gaya bicaranya juga sama persis dengan Dion.

Hanya saja penampilannya yang agak berbeda, pakaiannya terlihat lusuh, dan kulitnya agak sedikit gelap.

Aku mulai penasaran dengan pemuda itu, aku ingin memanggil namanya ... tapi aku masih ragu, dan takut jika orang yang kulihat itu bukan Dion.

Hingga aku pun semakin memperhatikannya dengan teliti.

Tak puas hanya melihat dari kejauhan, aku pun berjalan mendekat.

Aku tak menyapanya, tapi aku mendengarkan obrolan mereka. Dua pria itu masih berdiri tepat di depan pengisian bahan bakar. Seorang Karyawan Pom Bensin, tengah sibuk melayaninya.

Sementara si Kenek dan Pak Sopir tengah asik mengobrol.

"Pakde, habis ini kita langsung kemana dulu?" tanya pemuda itu kepada Pak Sopir. Suaranya benar -benar tak menyimpang dengan suara Dion.

Dan yang lebih membuatku yakin lagi jika pemuda itu benar- benar Dion, saat si Bapak Sopir truk memanggil namanya dengan jelas.

"Dion! Kita langsung pergi kearah pasar sekarang! Orang yang memesan barang sudah menelpon Pakde, sejak tadi!" kata Sopir itu, "dia sudah menunggu lama!" tegasnya.

Kedua mataku membulat sempurna, saat mendengar si Bapak Sopir menyebut nama pemuda itu.

Dia benar-benar Dion! Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, aku langsung berteriak dan memanggil namanya dengan kencang.

"DION!" Sampai orang-orang sekitar melihat kearahku.

Tapi aku tak peduli, aku pun berlari menghampirinya.

Dion sempat menoleh dan melihat wajahku, tapi sayangnya dia tidak mau berhenti, dan malah menyuruh Pak Sopir untuk segera meninggalkan tempat itu.

Aku bisa bicara seperti ini karna aku melihat gerak bibir dan wajah Dion, yang sedang berbicara dengan Pak Sopir.

Saat itu tiba-tiba Bagas berlari kearahku, dia mengehentikanku. Mungkin Bagas takut jika aku berbuat nekat, dan akan berdiri tepat di depan mobil truk itu.

"Udah, Mbak! Jangan dikejar, percuma!" ucapnya.

"Tapi yang tadi itu Dion, Gas!" sahutku sambil menangis.

"Iya, aku tahu, tapi percuma juga Mbak Mel, ngejar dia! Dia itu naik truk! Udah jauh, Mbak!" Bagas mencoba menenangkanku.

Sememtara aku masih terisak-isak menangisi Dion.

Bagas merangkul pundakku, dan mengajakku kembali ke tempat duduk yang semula, yaitu di teras mushola area pom bensin.

"Mbak, tenangin hati dulu ya," Bagas memberikanku satu botol air mineral.

Tapi ini saja tidak cukup, hatiku masih terasa sakit, karna Dion mengabaikanku.

Padahal jelas-jelas tadi dia melihatku. Harusnya dia menghampiriku untuk sekedar bertegur sapa. Atau bila memang dia ingin mengakhiri hubungan kami, harusnya dia bicara secara baik-baik. Aku tak masalah jika mamang akhirnya harus putus, yang penting dia berkata jujur tentang semua alasannya. Walau aku tahu, hatiku akan terasa sesak.

Tapi setidaknya itu jauh lebih baik, dari pada aku harus menunggu sesuatu yang tak pasti seperti ini.

Timbul berbagai pertanyaan di benakku.

Apa mungkin, Dion mengabaikanku karna dia memang benar-benar sudah tak mencintaiku?

Atau dia meninggalkanku karna merasa malu, atas hidupnya yang sekarang?

Seperti yang kuketahui, Dion, sudah putus sekolah, dan sekarang Dion malah bekerja sebagai Kenek Truk, mungkin hal itulah yang membuatnya minder, dan seolah menghindari aku.

Aku bisa paham jika dia memiliki perasaan seperti itu. Tapi harusnya dia tahu jika aku bukanlah gadis matrealistis. Aku tidak mencari pria yang jauh lebih baik dariku, atau pria yang memiliki banyak harta sehingga bisa kubanggakan ... aku hanya wanita yang mencintai satu pria dalam hidupku, yaitu, Dion ....

Aku tidak peduli Dion lulus SMA, Kuliah, atau tidak sekolah sama sekali! Dan aku juga tidak peduli dia itu hanya bekerja sebagai seorang Kenek Truk! Yang aku peduli ... persaannya ... apa saat ini dia masih mencintaiku?

Dan aku hanya ingin merasa nyaman bersamanya. Dia adalah prai yang baik, dia adalah sesuatu yang indah yang pernah kumiliki. Aku tidak tahu sampai kapan akan tetap memikirkannya? Walau sebisa mungkin aku terus menyangkal!

"Mbak, udah jangan nangis lagi," Bagas menyeka air mataku.

"Gas, apa sih kurangnya aku? Kenapa Dion, malah ninggalin aku?" tanyaku pada Bagas.

"Mbak, mungkin dia memiliki alasan tersendiri sampai pergi dari, Mbak Mel. Tapi hal yang dapat aku simpulkan dari sikap Dion tadi, bahwa Dion, itu bukan 'Pria Sejati!' Karna Pria Sejati tidak akan membuat gadis yang ia cintai menangis. Atau paling tidak dia harus menyelesaikan masalah secara jantan. Tidak seperti ini, main ilang-ilangan, mirip 'Pengecut!'" ucap Bagas dengan raut yang kesal. "Dasar, Chiken!" cercanya.

Aku menatap Bagas dengan sorot mata yang tajam.

Aku tidak terima Dion dibilang 'Pengecut' oleh Bagas.

Dia bukan 'Pengecut' bagiku dia itu segalanya.

Dan aku juga tidak peduli jika semua orang akan menganggapku, Bodoh!

Aku tidak peduli ... sama sekali TIDAK PEDULI!

"Udah, Mbak! Ayo pulang! Sebentar lagi magrib, aku gak mau kalau Nenek Sugiyem, marahin kita gara-gara pulang telat," ucap Bagas.

Dia menarik tanganku dengan paksa, akhirnya aku pun mau mengikuti ajakannya.

Dalam perjalanan pulang, sesekali aku masih meneteskan air mata, terlebih saat aku mengingat kejadian tadi.

Aku merasa jika aku adalah gadis yang menyedihkan.

Bersambung ....