Tak di pungkiri Bagas itu memang aneh, menyebalkan, dan kadang membuat emosiku melonjak karna tingkahnya.
Tapi di balik semua itu, Bagas, adalah pria yang baik hati, dia itu sangat peka kepadaku.
Selain wajahnya yang tampan, Bagas juga memiliki sisi dewasa.
Setelah kuperhatikan, dia itu hanya bertingkah manja di hadapanku saja. Tapi ketika berhadapan dengan nenekku, dan orang lain, dia sangat sopan, bahkan menonjolkan sisi dewasanya.
Aku mulai curiga jika dia itu bukan hanya menganggapku sebagai sahabat, melainkan sebagai ... ah sudahlah ....
Kecurigaanku ini bukan tanpa dasar, mengingat dia yang beberapa kali mengatakan ingin menjadi pacarku.
Walau awalnya aku mengira jika itu hanya bercandaan saja.
Dan kalau pun itu bukan bercanda, aku tetap tidak mau menjalin hubungan serius dengan Bagas, selain dia masih SMP. Aku juga tidak mau merusak kualitas persahabatan kami.
Bagiku sahabat itu, ya sahabat! Tidak bisa diganggu-gugat, termasuk berubah menjadi pacar.
***
"Mbak Mel, tipe cowok yang Mbak Mel, suka itu kayak apa sih?" Bagas bertanya dengan raut yang serius.
"Ngapain kamu tanya begitu? Kepo deh!" sengutku.
"Ih, Mbak Mel, galak banget,"
"Ya habisnya pertanyaan kamu itu gak penting, Gas!"
"Ya penting dong, Mbak! Siapa tahu aku bisa menemukan cowok yang pas buat, Mbak Mel,"
"Hadeuh! Gak perlu cariin aku cowok, Gas! Kamu aja masih jomblo!"
"Yeh, saya jomblo juga masih usaha, Mbak! Sekarang saya juga lagi PDKT sama gebetan saya!" ujar Bagas dengan percaya dirinya.
Aku mulai penasaran dengan ucapan Bagas tadi, katanya sedang PDKT? Apa gadis yang dimaksud itu aku ya?
Tapi aku tidak boleh terlalu percaya diri, jangan mentang-mentang Bagas sudah berkali-kali mengatakan ingin menjadi pacarku, lalu aku langsung percaya diri jika gadis yang dia maksud itu adalah aku! Aku yakin jika Bagas memang sudah memiliki gadis lain yang sedang diincar.
Baguslah yang artinya aku tidak perlu risih lagi saat mengobrol bersama Bagas.
"Gas, cewek yang kamu maksud anak mana? Pasti anak SMP juga ya?" tanyaku dengan raut yang penasaran.
"Ih, kepo deh!" sengut Bagas, aku langsung mengerucutkan bibirku.
Bisa-bisanya Bagas sok jutek kepadaku, biasanya juga ngintil terus mirip ekor.
"Oh, gitu ya, sekarang main rahasia-rahasiaan sama aku, mentang-mentang udah punya pacar," sindirku dengan wajah yang kesal, dengan begini aku berharap Bagas akan segera mengatakan tentang gadis yang ia dekati. Tapi ternyata tidak sesuai ekspektasi, dan dia malah meninggalkanku begitu saja.
Padahal aku sudah menunggu tapi dia memberi jawab yang tak terduga.
"Dasar, Gak Peka!" ucapnya.
"Eh, Gas! Mau kemana?!" teriakku.
Tapi Bagas tak mmenghiraukan sama sekali.
"Waduh, kok jadi marah sih?" Aku menggaruk kepalaku karna bingung.
"Ah! Dasar, Bocah!" Dan akhirnya aku masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.
Sejak datang dari Jakarta aku belum sempat tidur sama sekali. Dari pada aku pusing memikirkan Bagas, lebih baik aku tidur dan bermimpi bertemu Dion.
Sangat sederhana dalam otakku ini, hanya ada Dion, Dion, dan Dion.
Yah, aku mengakuinya, aku memang belum bisa melupakan Dion.
Di depan Elis dan Jeni saja aku pura-pura sudah lupa, supaya mereka tidak mengataiku sebagai 'Mel Bucin' pada kenyataannya aku memang Bucin.
Huft... dasar, Aku!
*****
Tok! Tok! Tok!
"Mel, bangun, Ndok!"
Tok! Tok!
Nenek mengetuk pintu kamar seraya memanggil namaku.
Aku bangkit dan mengusap kedua mata.
Ceklek!
"Ada apa, Nek?" Aku bertanya dengan raut wajah yang masih malas.
"Sudah magrib, gak boleh tidur pamali, lagian kamu kok gak sholat?" tanya Nenek.
"Ah enggak, Nek, Mel lagi dapet," jawabku.
"Yasudah, sekarang mandi, terus makan malam dulu, nanti baru tidur lagi kalau udah selesai magrib," ucap Nenek.
Selasai mandi aku duduk di ruang makan bersama, Nenek dan Kekek.
Setelah makan malam selesai aku duduk di teras sambil menyeruput teh hangat.
Tak sengaja aku melihat sekumpulan para pemuda lewat di depanku.
Mereka semua mengendari motor dan berhenti tepat di depan rumah Bagas.
Salah satu di antara pemuda itu melirik kearahku.
"Selamat malam, Mbak, sendirian aja nih?" sapanya.
Aku pun membalas sapaan itu dengan tersenyum sambil menganggukkan kepalaku.
Mereka berpakaian agak nyentrik, serba hitam, mirip anak Band metal, dan sebagian dari mereka juga membawa alat musik.
Yah ... keren juga sih ...,
Setelah kuingat-ingat lagi, mereka itu memang teman-teman Bagas, aku masih hafal wajah mereka saat pertama kali aku datang kemari.
Waktu itu aku hendak ke rumah Dion, lalu melihat penampilan mereka aku menjadi ketakutan.
Dulu kupikir mereka para anak brandal, sampai aku ditolong oleh Bagas, barulah aku tahu jika mereka teman-teman Bagas dan mereka bukan orang jahat.
Terkadang penampilan bisa mengecoh kita, mereka yang berpenampilan seperti preman, teranyata orang baik-baik dan sebaliknya mereka yang berpenampilan religius ternyata penipu, eh....
Tapi tidak semuanya seperti itu sih ...,
Banyak juga orang baik berpenampilan baik, dan orang jahat berpenampilan buruk.
Pada intinya kita tidak boleh menilai sesuatu hanya berdasarkan penampilan luar, paling tidak kita harus mengenalnya lebih dalam, seperti memberikan ulasan pada sebuah buku, apa bila kita sudah membacanya.
*****
Dan tak lama Bagas keluar dari dalam rumah, dia juga berpenampilan menggunakan pakaian yang serupa dengan para kawan-kawannya.
"Udah siap, Gas!" tanya salah satu pemuda itu.
"Udah," jawab Bagas kaku. Dia terlihat sok dingin.
Eh... bukan sok dingin mungkin dia memang seperti itu jika di hadapan teman-temannya.
Dan hanya di hadapanku saja dia bertingkah kekanak-kanakan. Bagas melirik kearahku sesaat lalu dia membuang muka.
Tak lama datang seorang gadis, mengendari motor metik.
Gadis itu sangat cantik, berpenampilan serba hitam, mengenakan sepatu boots senada, tapi masih ada sisi feminimnya.
Selain terlihat keren, dia juga terlihat akrab dengan Bagas dan yang lainnya, berkali-kali dia mengobrol sambil memukul pundak Bagas lalu tersenyum dengan ceria.
Aku mulai curiga jika gadis yang sedang di dekati oleh Bagas itu dia.
Mendadak hatiku terasa sesak, bukan karna aku cemburu, hanya saja aku kasal dengan Bagas, dia pergi bersama teman-temannya tapi tidak mengajakku. Padahal aku di sini jenuh, aku juga ingin pergi jalan-jalan mengusir penat.
Tapi yasudahlah mungkin Bagas tidak mengajakku karna takut aku mengganggu acaranya dengan para temannya, dan dia juga tidak ingin kalau sampai aku menganggunya dengan gadis itu.
'Sib-nasib, Jomblo,' aku memilih pergi.
Sebelum memasuki rumah aku melirik Bagas sesaat. Dia juga melirikku, dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu.
Tapi aku tak peduli, aku langsung mesuk ke kamar lagi. Ini sebagai balasan karna tadi siang dia juga meninggalkanku begitu saja.
'Aku ini bukan martabak, gak perlu dikacangin kali!'
Lebih baik aku melanjutkan tidurku tadi siang, semoga kali ini aku benar-benar bertemu Dion lewat mimpi.
Bersambung....