Satu minggu telah berlalu, akhirnya aku mendapatkan kabar bahagia ... Dion mengirim pesan kepadaku.
[Mel, aku minta maaf karna tidak sempat membalas pesan darimu. Aku benar-benar sedang sibuk. Bahkan aku baru saja menemukan ponselku di dalam laci, kupikir ponselku hilang. Aku hampir tak menyadari keberadaan penselku hingga aku lupa mengabarimu dan membalas pesan darimu ... sekali lagi aku minta maaf ya, Mel,] tulisan dalam pesan itu.
Hatiku merasa lega, ternyata ini alasannya.
Aku segera menekan tombol 'calling' karna aku sudah tak bisa menahan rindu untuk mendengar suara Dion.
Pangilan pertama tak terjawab, panggilan kedua juga tak terjawab, aku mencoba menekan tombol 'calling' untuk yang ketiga kalinya tapi tetap saja, Dion tak mengangangkat teleponnya.
Aku pun akhirnya menyerah, tapi aku tetap berpikir positif saja, mungkin Dion sedang sibuk. Aku harus mengerti keadaannya.
Aku kembali menekan keyboard dan menulis beberapa kalimat.
[Dion, aku tahu kamu sedang sibuk. Gak apa-apa kamu gak angkat telepon dariku atau tidak membalas pesan dariku saat ini. Aku tetap akan menunggu sampai kamu tidak sibuk lagi dan membalas pesan dariku!] tulisanku dalam pesan yang kukirimkan untuk Dion.
Hari itu Dion juga tak membalas pesanku, bahkan dia juga tak membacanya sama sekali. Dua ceklis abu-abu masih menghiasi layar ponselku. Aku pun lagi-lagi mencoba bersabar dan belajar lebih mengenal Dion lagi.
Esok harinya barulah Dion membalas pesanku.
Dan lagi-lagi dia membalasnya dengan kalimat yang hampir sama dengan pesan yang ia kirim kemarin. Sebuah permintaan maaf darinya karna sudah mengabaikan aku dan tak bisa sesering dulu menghubungiku.
Dion berkata jika dia sedang bekerja, untuk melunasi hutang-hutang sang ibu semasa hidup. Entah dia sedang bekerja apa? Aku tak mau bertanya secara detail, takut kalau Dion malah tersinggung.
Aku hanya cukup mendoakannya. Walau jujur hatiku benar-benar sesak melihat Dion hidup sesulit ini. Sementara sang Ayah enak-enak hidup mewah dengan istri keduanya.
Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, tak mungkin aku menegur ayahnya Dion. Ini urusan rumah tangga beliau, aku tak boleh ikut campur.
***
Semenjak kepergian sang Ibu, Dion sudah mulai berbeda, entah ini perasaanku saja, atau memang dia benar-benar berbeda.
Jarang sekali dia membalas pesanku, dan kadang-kadang dia hanya membacanya saja.
Yah aku dapat memakluminya, mungkin dia masih sibuk bekerja, untuk melunasi hutang-hutang sang ibu semasa hidup, seperti yang ia katakan pada waktu itu. Walau jujur aku benar-benar jenuh. Menjalin hubungan jarak jauh saja sudah berat, apa lagi ditambah dengan waktu chating yang terbatas. Aku tak tahu akan seperti apa hubunganku kelak.
Yah... lagi-lagi aku tetap harus bersabar, sekarang jalani saja. Dan aku juga harus tetap fokus dengan sekolahku. Aku tidak mau Mama akan mengocehiku habis-habisan karna nilaku yang jelek.
Satu minggu telah berlalu, Dion bukan hanya jarang membalas pesanku, tapi memang nomornya sudah tidak bisa dihubungi lagi. Aku benar-benar hancur, sedih, dan kecewa. Entah masalah apa lagi yang Dion sembunyikan dariku?
Bahkan bukan hanya nomornya yang tak lagi bisa dihubungi, tapi juga seluruh media sosialnya.
Aku tidak tahu apa yang terjadi kepadanya?
Dan aku tidak tahu akan seperti apa akhir kisahku dengannya?
Aku masih berusaha untuk berpikir positif sekali lagi. 'Mungkin, Dion, sedang sibuk!' kalimat itu yang kujadikan penguat dalam jiwaku. Aku berharap secepatnya Dion akan mengabariku. Jika benar ponselnya dijual untuk membayar hutang, setidaknya dia bisa menghunungiku lewat ponsel orang atau bisa menggunakan komputer warnet untuk memberiku kabar. Yah walau aku tahu jika semua akun media sosialnya sudah dihapus! Tapi bisa saja 'kan dia menghubungiku dengan akun media sosial baru.
Tak terasa minggu telah berganti bulan. Tepat satu bulan sudah aku, dan Dion, tak saling mengabari. Dion hilang bak ditelan bumi. Aku menelpon Nenek untuk menanyakan kabar tentang Dion, tapi Nenek mengatakan jika Dion sedang bekerja di luar kota. Nenek sendiri juga tidak tahu pasti di mana letak kotanya. Masih di pulau Jawa tapi entah Jawa bagian mana?
Mulai saat itu hari-hariku terasa berat tanpa sosok Dion.
Aku berjuang untuk melupakanya.
Bahkan nilaiku di kelas sampai turun karna kebanyak galau.
"Udah dong, Mel! Jangan kebanyak ngelamun! Lupakan Dion! Masih banyak cowok ganteng di sekolah ini!" ujar Elis menyemangatiku.
Begitu pula dengan Jeni dia juga turut menyemangatiku. Mereka adalah dua gadis yang sangat berati bagiku saat ini, di saat aku benar-benar sedang terpuruk begini, mereka yang selalu ada.
***
"Mel, kita jalan-jalan yuk! Hari ini Tante, traktir deh! Tante abis gajihan nih!" ajak Tante Diani.
Tapi dengan pelan aku menolak ajakan Tante, bahkan wanita itu sampai syok mendengar ucapanku. Karna tak biasanya aku menolak ajakannya, terlebih dia akan mentraktirku!
Tante Diani memegang keningku.
"Kamu sakit?" Dia bertanya.
Aku pun menggelengkan kepalaku.
"Kamu kenapa sih, Mel?" Tante mulai kawatir.
Kedua sudut bibirku turun ke bawah dengan mata berkaca yang tak bisa membendung derai air mataku.
"Loh, kok malah mewek sih?" tanya Tante sekali lagi. Dan aku segera memeluk tubuh wanita yang ada di hadapanku itu.
"Tante, Dion ghosting-in aku!" ucapku dengan derai air mata.
Sementara Tante masih mencerna ucapanku, "Ghosting?" Dia bertopang dagu.
"Oh, maksudnya dia ngilang gitu aja?!" tanya Tante yang sudah mulai paham dengan ucapanku.
Aku mengangukkan kepala, dan dengan sudut bibir masih turun ke bawah mirip anak kecil.
"Aduh kasihan juga ya," Tante mengusap pundakku yang membenamkan wajahku dalam pelukannya.
"Sabar ya, Mel. Mungkin kamu dan Dion itu tidak berjodoh. Lagi pula masa depan kamu itu masih panjang. Lupakan Dion, jalani masa mudamu dengan bersenang-senang dan mengejar prestasi! Jangan malah mikirin cinta monyet yang pada akhirnya akan berakhir juga," ujar Tante.
Mungkin niat Tante baik, tapi aku tak terima saat beliau mengatakan hubunganku dan Dion itu hanya sekedar 'cinta monyet' karna aku mencintai Dion itu bukan hanya main-main. Aku benar-benar sangat mencintainya. Ada banyak impian yang ingin kuraih bersama Dion. Yaitu menikah dengannya.
Walau ini terdengar agak mustahil, dan terlalu jauh untuk kupikirkan. Aku dan dia ini baru berusia belasan, tapi memang itulah yang aku impikan!
"Tante, jangan bilang hubungan kami ini, 'cinta monyet!' karna kami ini manusia!"
"Iya, siapa juga yang bilang kamu monyet!"
"La itu tadi ngatain, Mel!"
Bersambung....
Kalau aku memang berarti untukmu, setidaknya beri aku kabar!
Hadirkan aku disela kesibukanmu.
Hubungan jarak jauh memang sulit. Tapi cobalah untuk mengerti aku ... di sini aku masih menunggu kepastianmu....
Melisa Aurelie