"Ayo, Mel, keluar! Sebelum penghuni kamar itu datang!" ucapnya.
Sebenarnya aku merinding juga sih, terlebih kamar ini sangatlah gelap.
Tapi tidak apa-apa, aku pasti bisa melewati ini semua.
Lebih baik aku ketakutan dalam kegelapan dan bertemu setan, ketimbang aku keluar dan harus berurusan dengan Dino. Dia itu lebih menyeramkan dari pada hantu!
Aku berhasil meyakinkan diriku sendiri untuk tetap bertahan di dalam kamar ini, aku mengeluarkan ponsel dari saku. Lalu kugunakan senter dalam ponsel itu sebagai penerangan. Kutelusuri kamar itu dan mencari tombol saklar lampu.
"Nah, itu dia saklarnya!" Aku langsung menghampiri benda mungil itu lalu menekannya, dan... viola! Ruangan menjadi terang.
Tak sadar bibirku tersenyum sendri. Aku kembali menang, Dino tak berhasil menakut-nakutiku.
"Mel, elu pasti seneng banget ya karna udah menemukan tombol penerangan?" sindir Dino.
Nampaknya dia mendengar bunyi 'ctik' saat aku menekan tombol saklar.
"Jangan seneng dulu, Mel! Sebentar lagi elu akan
kembali dalam kegelapan haha!" ancamnya dengan tertawa sombong.
Tak lama terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga, entah apa yang akan di lakukan oleh Dino.
"Jangan-jangan dia mau matiin tombol saklar bagian luar lagi?" gumamku. Aku benar-benar panik, baru saja aku mendapatkan pencahayaan ....
Ah semoga saja, Dino tidak mematikkan saklar luarnya.
Tak lama ruangan kembali gelap, ternyata dugaanku benar, dia mematikan saklar luar.
Sialan! Dino benar-benar nyebelin!
"Awas aja gue sumpahin! Habis ini elu bakalan ketemu sama makluk astral beneran! Biar elu tahu rasa!" ucapku yang keluar secara tulus dari dalam hati.
Ucapan adalah doa! Dan konon katanya doa orang yang teraniaya itu gampang dihijabah.
Tuk! Tuk!
Kembali kudengar langkah kaki yang menaiki lantai atas, itu pasti Dino!
"Hai, Mel! Bagaimana? Kamarnya kembali gelap ya?" sindir Dino, "gue duduk di luar bawa lilin lo! Kalau Mel, udah gak kuat lambaikan tangan aja, Babang Dino, siap kok buat peluk, Melisa," bicara Dino sadikit genit.
"NAJIS!" sahutku dengan lantang.
"Eh, gak boleh gitu! Nanti benci jadi cinta lo!" ledek Dino.
Aku segera menyangkalnya.
"Sampai kapan pun gue gak bakalan mau jadi cewek elu!" cantasku.
"Terserah mau ngomong apa?! Pokoknya elu bakalan jadi cewek gue lagi! Dan bila perlu elu bakalan jadi istri gue!" ucap Dino dengan bangga.
"Ih, apaan coba! Jadi pacar aja gak mau gimana jadi istri! Jangan halu!" cercaku kepada Dino.
"Gue itu orangnya nekat, Mel! Makanya elu jangan main-main sama gue! Begitu keluar dari rumah ini, gue pastiin elu bakalan hamil! Jadi mau tidak mau gue harus tanggung jawab buat nikahin elu!" ucap Dino tanpa beban. Dia mengira pernikahan segampang itu, pria ini benar-benar gila.
Aku tak tahan lagi dan aku memakinya dengan emosiku yang tengah memuncak.
"DASAR, DINO! SI KAMPRET! BOROKOKOK! PEDUT! STRES! EDAN! ELU MAU GUE MUTILAS!?" ucapku dengan lantang, kukerahkan seluruh kekuatan hanya untuk mengumpat seheboh ini. Padahal kalau berhadapan langsung dengan Dino aku tak berani.
Aku bukan wanita super yang bisa mengalahkan Buaya Buduk, macam dia!
Aku hanya wanita lemah hik ....
***
1 jam kemudian.
Sejujurnya aku benar-benar tak kuat lagi berada di sini, kamar ini terlihat sangat horor. Bulu kuduku sudah berdiri jingkrak-jingkrak.
Kontang!
Terdengar sesuatu yang tepat di belakangku. Entah benda apa itu, aku tak berani melihatnya.
Tubuhku gemetar, padahal tadi aku sudah yakin kalau aku pasti bisa bertahan di kamar ini. Tapi begitu malam semakin larut, rasanya aku tak kuat lagi.
Ya Allah, kenapa aku kok gak pingsan aja sih?
Padahal kalau pingsan lumayan bisa meredakan rasa takutku. Karna aku tidak perlu lagi melihat hal-hal aneh.
Ya Gusti, sampai kapan hamba harus bertahan di sini ...?
"Apa gue keluar aja ya?"
Aku sudah berdiri dan hendak berteriak tapi aku mengurungkan niatku ini.
"Stop! Gak boleh, Mel! Ayo semangat kamu pasti bisa!" ucapku kembali menyemangati diriku sendiri.
Aku tak boleh menyerah, aku tidak akan menjatuhkan diriku untuk cowok mesum dan saiko macam, si Dino! NAJIS!
"Aku harus bertahan! Gak boleh takut sama Setan, aku harus banyak-banyak membaca doa supaya tidak ada setan yang mendekat," gumamku.
"Baca ayat kursi dulu kali ya?"
Aku mengadahkan tangan tepat di depan wajah, lalu mulutku mulai komat-kamit membaca doa.
"Bismillahirohmanirohim ... Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar—"
'Eh kayak ada yang salah!?'
Aku menggaruk keningku, "Astaghfirullahalazim! Itu, 'kan doa makan?!" Aku menepuk keningmu sendiri.
Ya Allah ampuni hamba, karena saking paniknya aku sampai salah membaca doa.
Aku harus fokus. Lalu kuulangi bacaan Ta'awudz dengan benar.
Aku tidak boleh takut, apa lagi hanya hantu.
Takut itu hanya kepada, Allah!
Glondang!
Kembali terdengar suara benda jatuh.
Aku sampai tersentak mendengarnya.
Aku kembali menangis histeris.
"Mama! Tolongin Mel, Ma!" teriakku dengan reflek.
Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat, karna kalau aku berteriak ketakutan yang ada Dino semakin senang, dan dia pasti akan meledekku dan berharap agar aku cepat keluar.
Tapi aneh ... padahal aku tadi berteriak cukup kencang, tapi mengapa tak ada respon dari Dino?
Ku tempelkan daun telingaku ke sisi pintu.
Hur... hur....
Terdengar suara mendengkur, rupanya Dino sudah bermimpi indah, mungkin saatnya aku keluar dari tempat ini.
Aku memutar kunci yang tergantung di lupang pintu. Tapi naas, kunci itu malah patah.
Aku sudah kehilangan harapan untuk pergi, aku pun menangis lagi.
Aku tak menyangka akan mendapatkan pengalaman seburuk ini.
"Mama tolongin, Mel, Ma ...." rengekku, dan berharap ada kejaiban, Mama datang menghampiriku.
Drrt....
Ponselku bergetar.
Aku beru ingat kalau aku, 'kan membawa ponsel, harusnya aku tadi menggunakan ponsel ini untuk menghubungi Mama, Jeni, Elis, atau siapa pun. Ah! Aku benar-benar bodoh!
Aku pun langsung mengangkat panggilan itu yang ternyata dari Bagas.
[Halo, Mbak Mel!]
"Halo, Gas! Tolongin gue! Gue lagi diculik sama psikopat, Gas!" ucapku agak lebai.
[Serius?! Yaudah Mbak Mel, share lokasi!] pinta Bagas, dan aku pun menurutinya.
Setelah itu ponselku malah mati karna kehabisan batrai, ini benar-benar situasi yang sangat menyebalkan. Dan aku juga baru ingat, jika usahaku tadi sia-sia.
"Bagas itu, 'kan tinggal di Semarang, dan aku di Jakarta? Terus ngapain aku share lokasi ke dia? Memangnya dari Samarang ke Jakarta itu cuman butuh waktu satu jam aja?" Aku kembali menepuk keningku.
"Mel! Oon banget deh ah ...,"
Tubuhku kian melemas, ditambah lagi suasana kamar ini semakin seram. Mulai tercium bau kemenyan.
"Ya Allah, buat hamba pingsan saja, Ya Allah, hamba tidak kuat ...."
Bersambung....