Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 24 - Belum Bisa Melupakan

Chapter 24 - Belum Bisa Melupakan

Esok harinya aku berangkat sekolah seperti biasa, Jeni dan Elis berdiri menghampiriku dengan teriakan hebohnya.

"Mel! Melisa!" teriak Elis.

"Mel, kamu pulang akhirnya! Jeni pikir, Mel, diculik Kolong Wewe," ujar Jeni.

Aku langsung menggelengkan kepalaku dan bergidik ngeri.

Si Jeni kalau bicara itu memang sering Mengelantur.

"Jeni!" bentak Elis, "kalau ngomong suka ngacok deh!"

"Tahu tuh, si Jeni!" imbuhku dengan bibir mengerucut.

"Yah, Jeni salah lagi ya?"

"Hadeuh!" Aku dan Elis pun gubrah berjamaah.

Ah sudahlah dari pada urusan bertambah panjang aku menarik tangan kedua sahabatku itu, kuajak mereka duduk di dalam kelas dan pelan-pelan aku menceritakan kejadian yang telah aku alami kemarin malam.

Tentu saja kedua sahabatku ini langsung syok. Mereka tidak menyangka jika Dino orang yang sangat menyeramkan.

Jeni sampai takut mendengarnya, lain halnya dengan Elis, dia langsung emosi jiwa dan ingin menghajar Dino.

Bahkan dia langsung berdiri dan hendak menghampiri Dino ke kelasnya.

"Elis! Tungguin dong!" teriakku.

"Ini gak bisa dibicarain! Dino harus dapat pelajaran!" ujar Elis sambil meremat-remat tangannya sendiri.

"Mel, gimana dong! Si Elis, 'kan suka nekat! Kemarin aja anak 11 A di tonjok sama dia!" tutur Jeni sambil berlari.

"Yaelah, Jen, gak usah diceritain lagi kali! Gue juga udah paham! Anak itu, 'kan tetangga gue!" sahutku.

Akhirnya kami semua sampai di kelas Dino yaitu kelas 11 B, Elis mulai berteriak-teriak mencari keberadaan Dino.

Sampai membuat keadaan kelas menjadi gaduh.

"Dino! Di mana lu, Dino!" teriak Elis.

"Eh, siapa sih, kamu!? Ngapain bikin keributan di kelas saya?!" tanya seorang gadis yang bernama Neta. Dia adalah ketua kelas di sini.

"Gue Elis! Anak kelas 10 A, dan gue kesini mau cari Dino!" jawab Elis.

"Dino, dari kemarin gak masuk dan kata teman dekatnya sekarang pun dia juga gak masuk lagi," jelas Neta.

"Hah?! Dia gak masuk?"

"Iya, katanya sih, Dino itu lagi demam tinggi sampai di bawa ke rumah sakit!" tutur Neta.

Mendengarnya aku syok sekaligus senang. Karna aku yakin jika dia sakit itu gara-gara saking ketakutannya melihat penampakan makluk astral, kemarin malam.

'Tapi masa iya sih sampai masuk rumah sakit?' batinku.

"Ngomong-ngomong, kalian ada perlu apa sih sampai nyariin Dino kemari?" tanya Neta.

"Dino, itu udah—"

Aku segera membekap mulut Elis agar tidak menceritakan semuanya kepada Kak Neta.

Karna ini bisa berbahaya, dan kabar ini akan menjadi berita heboh di sekolah.

"Kak Neta, kita minta maaf ya, teman saya ini lagi salah minum obat, makanya jadi marah-marah gak jelas," ujarku dengan sopan, dan tentunya aku memasang wajah imut, seimut-imutnya.

Sementara itu Elis masih meronta-ronta, dan kini giliran Jeni yang mengurus Elis. Dia menutup mulut Elis dengan tangan lalu mengajaknya pergi dari kelas itu.

"Kak Neta, sekali lagi saya mewakili teman saya minta maaf ya," ucapku dengan sanyuman terpaksa karna menahan malu. Meski masih merasa heran, tapi Kak Neta mencoba memahami kami. Dia menganggukan kepalanya, dan membiarkan kami pergi tanpa mengintrogasi lagi. Untung Kak Neta orangnya sangat baik.

Aku juga segera keluar dari dalam kelas itu dengan prasaan tak nyaman, karna seisi kelas memandang kepergianku dengan nanar.

"Elis! Lagi-lagi bikin malu!" gumamku.

Dan setelah sampainya di kelas aku dan Jeni bekerja sama untuk menenangkan Elis.

Pelan-pelan aku berbicara kepada Elis, agar dia tidak gegabah, dan aku ingin agar kejadian yang kualami tidak tersebar kemana-mana.

Karna aku tak mau ketenanganku jadi terusik oleh berita heboh atas perlakuan Dino.

Akhirnya Elis mengerti juga dan kini dia terlihat lebih tenang.

"Ih Mel, berhubung elu gak mau gue nyerang Dino di sekolah, jadi kemungkinan besar gue bakal nyerang Dino di rumahnya!" ujar Elis. Rupanya dibalik ketenangannya saat ini, dia masih menyimpan dendam terhadap Dino.

"Haduh ...." Yaudah terserah elu aja deh, El!" ujarku pasrah.

***

Minggu yang cerah tanpa mendung. Aku sudah bersiap untuk berolahraga pagi.

Pelan-pelan kuberlari kecil mengitari komplek perumahan.

Sambil memandangi mentari pagi aku mulai berhayal.

"Wah, cuacanya cerah banget, cocok nih buat kencan sama pacar," gumamku, dalam otak membayangkan pergi ke pantai bersama Dion pasti menyenangkan.

"Tapi sayang aku, 'kan gak punya—"

"Mbak Mel!" Bagas tiba-tiba memanggilku.

Aku pun tersentak dan langsung menoleh kebelakang.

Kuhentikan langkah kaki, lalu memandang Bagas.

"Bagas! Kok kamu tiba-tiba nongol aja sih, udah kayak jalangkung, datang tak dijemput, pulang tak di antar," ujarku.

"Ih, Mbak Mel! Ada-ada aja deh!" ujar Bagas sambil tersenyum dengan ciri khasnya.

Lalu aku pun duduk di bangku taman bersamanya.

"Gas, kamu kok ada di Jakarta sih? Emangnya kamu gak sekolah?" tanyaku.

"Enggak, Mbak! Aku lagi ambil cuti," jawabnya.

"Waelah kayak Pegawai Kantoran, aja segala ambil cuti!" cercaku.

"Haha! Aku ke Jakarta, karna Bunda lagi sakit, Mbak!" jelasnya.

"Hah! Bunda kamu sakit? Kenapa gak bilang? Terus pas aku ke rumah kamu orangnya gak ada tuh?" ujarku dengan heboh.

"Iya, ternyata Bunda cuman bohong! Dia cuman pura-pura sakit biar aku ke Jakarta, Mbak!" jawab Bagas.

"Oh, begitu? Lagian kamu kenapa sih gak sekolah di Jakarta aja? Orang tua kamu, 'kan ada di sini?"

"Iya sih, Mbak, tapi aku itu gak suka tinggal di sini, aku lebih nyaman tinggal di kampung," jawab Bagas.

"Oh, begitu ya?" Aku manggut paham.

Berbicara dengan Bagas aku jadi ingat Dion.

Mereka itu, 'kan tinggal satu kampung.

Eh! Bukan satu kampung sih, beda kampung tapi masih satu kelurahan.

Mumpung masih ada Bagas, aku pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Bagas, aku boleh tanya sesuatu enggak?"

"Mbak Mel, mau tanya apa?"

"Bagas, bagaimana kabar Dion?" tanyaku.

"Mbak Mel, kok tanya ke saya, memangnya Dion gak pernah hubungin, Mbak Mel?" Bagas bertanya balik dengan raut wajah yang bingung.

Akhirnya aku menjelaskan semuanya kepada Bagas, jika aku dan Dion memang sudah tidak pernah saling mengabari lagi.

Dan Bagas juga berkata jika Dion sudah tidak ada di kampungnya, rumahnya juga dibiarkan kosong.

Bagas pernah dengar jika Dion kerja di luar kota. Entah di kota mana dia tidak tahu.

Apa yang di ucapkan oleh Bagas hampir sama dengan apa yang diucapkan oleh Nenek pada waktu itu.

Aku hanya bisa menunduk dengan raut kecewa.

Bagas memegang pundakku sambil berkata, "Sabar ya Mbak,"

Aku menganggukkan kepalaku sambil menangis. Bagas juga merangkulku.

"Mbak, udah lupakan Dion ... memangnya di dunia ini gak ada laki-laki yang lebih ganteng dari Dion ya?" Bagas berbicara dengan wajah serius, "saya misalnya!" ucapnya lagi, kali ini dia berbicara dengan penuh percaya diri.

Aku yang awalnya sedih berubah menjadi emosi.

"Errrgh bisa-bisanya!"

Kutarik rambut Bagas bagian dapan, sampai kepalanya hampir menyentuh tanah.

"Aduh, Mbak Mel! Ampun!" teriak Bagas yang kesakitan.

Bersambung....