Tak terasa kami sudah sampai di Jakarta. Mobil travel yang kami tumpang berhenti tepat di depan rumahku.
"Papa, dan Mama, sudah berdiri di depan gerbang menyambut kedatangan kami.
"Mel, akhirnya sampai juga, Mama kangen banget," Wanita setengah tua itu memelukku.
Papa membantu Pak Sopir mengeluarkan barang-barang kami dari dalam mobil.
"Diani, udah cuman ini aja barang-barangnya? Gak ada yang ketinggalan, kan?" tanya Papa kepada Tante.
"Kayaknya udah sih, Mas, tapi ...." Tante Diani tampak sedang memikirkan sesuatu. Tak lama dia mengingatnya.
"Ah, kardus kecil, Mas! Yang isinya kue bikinan Ibu!" ujar Tante Diani antusias.
"Oh, yang ini bukan, Mbak?" tanya Pak Sopir Travel.
"Nah iya tuh!" Tante mengangguk penuh semangat.
"Yasudah, ayo sekarang masuk ke rumah, kayaknya kalian udah kelaparanan banget," ujar Mama.
"Ih, Mbak Yuli, nih tahu aja deh!" ujar Tante Diani tersenyum agak malu-malu.
"Habisnya kelihatan banget! Tu muka ampek jelek begitu!" sahut Mama dengan ketus.
Tante Diani mendengus kesal.
"Apa hubungannya muka jelek sama perut lapar?" sengut Tante Diani.
Mama pun malah tertawa, Mama memang orangnya sangat iseng. Dia sering meledek Tante Diani, karena tahu kalau Tante itu gampang marah. Dan hal itu seperti menjadi hiburan tersendiri bagi Mama. Mereka memang kelihatan sering bertengkar, tapi sebenarnya mereka itu saling menyangi, yah ... hampir mirip hubunganku dengan Tante.
"Mbak Yuli, jangan iseng mulu! Mbak Yuli, udah pernah dengar azab seorang Kakak Ipar durhaka belum?"
"Ih, emangnya ada?!"
"Ya ada lah, makanya sering nonton TV dong!"
"Ah, kamu ini kebanyakan nonton sinetron! Jadi ngacok kalau ngomong!" cerca Mama.
"Ih, Mbak Yuli mah gak percayaan banget orangnya!"
"La iya lah, kalau percaya sama kamu mah musrik!"
"Ih, emangnya aku jin?"
***
Melihat istri dan adiknya berdebat membuat Papa mulai geram.
"Woy, bisa engga sih, kalian itu diam! Jangan berisik dong! Suara kalian itu cempreng semua!" ujar Papa.
"Ih, suara Mama, itu, 'kan indah banget! Masa dibilang cempreng sih, Pa!" protes Mama yang tak terima dengan ucapan Papa.
"Mas Haris, ini kalau ngomong ngasal banget, masa suara adik sendiri di bilang cempreng! Mas, lupa ya kalau dulu aku ini pernah juara satu lomba nyanyi agustusan?!" oceh Tante.
"Hadeuh, iya deh! Iya! Suara kalian memang bagus tapi lebih baik lagi kalau diam!" Papa memegang keningnya, "aduh migrainku kambuh lagi da ah!" keluh Papa.
Akhirnya dua wanita itu masuk ke dalam rumah, Tante Diani masih menenteng barang-barangnya, sementara barang-barangku dibawakan oleh Papa dan Mama.
Aku juga turut masuk ke dalam rumah, tak sabar rasanya untuk berjumpa dengan kasurku.
'Hoam...!' aku sudah mengantuk berat. Sekarang aku akan tidur dengan tenang, tak peduli jika hari ini masih pagi, masih ada sisa satu hari untuk istirahat, dan besok aktivitas sebagai Pelajaran akan kembali kujalani.
***
Kokok ayam tetangga mulai membangunkanku. Tak lama ketukan pintu dan suara cempreng Mama juga mulai memekakkan telinga.
"Mel, buruan bangun, Mel! Udah pagi nih!" teriaknya sambil menggedor pintu.
"Ah iya, Ma! Mel, udah bangun dari tadi kali!" sahutku.
"Bangun dari tadi tapi belum mandi! Buruan!" bentaknya.
"Astaghfirullahalazim! Iya, Ma!" sahutku lagi. Aku segera bergegas ke kamar mandi.
Aku harus nurut kepada wanita itu, kalau tidak suara sopran Mama akan bertambah beberapa oktaf, hingga membuat telingaku panas. Dia adalah Maha Ratu di rumah ini, semua orang harus tunduk kepada Mama.
Beberapa menit kemudian aku keluar dari dalam kamar, dan makan bersama dengan yang lainnya.
"Papa, di mana, Ma?"
"Papa kamu, udah berangkat duluan, katanya lagi ada meeting penting sama klien,"
"Ow!" Aku manggut paham.
"Mel, kamu berangkat bareng Tante, ya!"
"Ok, Tante!"
***
Aku berangkat satu mobil taksi dengan Tante Diani, memang letak sekolahku dengan kantor Tante satu arah.
Dan sepanjang perjalanan menuju sekolah aku hanya diam saja. Entah mengapa hatiku mendadak galau. Dion belum memberiku kabar, padahal aku ini sangat merindukannya.
Berkali-kali kulihat ponsel, belum juga ada notifikasi pesan masuk. Aku putuskan untuk mengirim pesan duluan. Tapi tak ada balasan sama sekali, bahkan pesan kujuga belum di baca. Meski kecewa karna merasa terabaikan tapi aku mencoba untuk tetap sabar, mungkin Dion sedang sibuk mengurus Ibunya. Terlebih keadaan Bu Ningrum juga nampaknya semakin parah.
Aku jadi kasihan kepada beliau. Tapi di sisi lain aku merasa takut jika Dion mengabaikanku karna dia sedang asyik berduaan dengan Nadira, Si Cewek Gatel, yang sok akrab dengan Dion itu.
"Ah, bodo ah!" Aku mengusap keningmu dengan kasar, ucapan barusan itu reflek, aku sampai lupa kalau di sampingmu ada Tante Diani.
"Ada apa sih, Mel? Kenapa kamu teriak-teriak gak jelas? Kamu kesambet ya?" tanya Tante Diani secara beruntun.
"Ih, ya engak dong, Tante!" sangkalku.
"Kamu lagi mikirin, Dion ya?" tanya Tante.
Aku pun menganggukan kepalaku dengan pasrah.
"Haduh, Mel. Kamu itu jangan terlalu berlebihan kalau suka sama orang, belum tentu juga kita ini jodoh! Apa lagi kamu dan Dion itu masih terlalu muda, ada banyak hal yang lebih penting untuk kamu pikirkan ketimbang nge-bucin gak jelas begitu!" ujar Tante menceramahiku.
"Iya, habisnya gimana dong, Tante, Mel itu, 'kan cinta mati sama, Dion!" sahutku.
"What?! Cinta mati?!" Tante mencibirkan mulutnya, "pret!"
"Ih, Tante ... nyebelin banget sih!" Aku mengerucutkan mulutku karna kesal.
"Hem! Gitu aja ngambek, Tante, itu cuman mau ngingetin kamu, Mel! Masa depan kamu itu masih panjang, jadi jangan hanya menghabiskan hidupmu dengan hal-hal yang tidak penting!" tegas Tante Diani.
Walau aku ingin memberontak dan melawannya, tapi aku memilih untuk diam. Dari pada urusan bertambah panjang dan tidak akan terselesaikan.
Ckit!
Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah.
"Hati-hati, di sekolah, belajar yang bener! Jangan malah nge-bucin!" tegas Tante Diani.
"Hmm!" Aku menjawabnya dengan dengus kesal.
Tante Diani menyadari jika aku marah kepadanya, dan untuk menetralisir rasa kesalku dia menyodorkan 2 lembar uang pecahan 100 ribuan kepadaku.
"Nih, buat jajan, jangan cemberut mulu!" sengutnya.
Aku pun langsung melebarkan senyumanku.
"Terima kasih, Tante!" Kuraih uang itu secepat kilat.
"Hemm, kalau masalah duit aja langsung ijo," gumam Tante dengan hidung kembang-kempis.
Aku membalasnya dengan cengiran tak berdosa. "Hehe, makasi, Tante!"
Mobil taksi itu berlalu pergi, dan aku mulai memasuki gerbang sekolah.
Dua sahabatku Jeni dan Elis menghampiriku.
"Mel!" teriak mereka secara kompak.
Kami memasuki kelas bersama-sama.
Dan tak lama, aku mersakan getaran notifikasi ponsel.
Rasanya benar-benar bahagia, karna sejak tadi aku menunggu ada pesan masuk.
"Ah, pasti Dion, yang kirim pesan!" tukasku antusias, sambil kubuka kunci layarnya, tapi ternyata yang mengirim pesan malah ....
Bersambung ....