Chereads / Kinara: Love Me Please, Jayden. / Chapter 2 - Kinara Mariska Winandar

Chapter 2 - Kinara Mariska Winandar

Selamat membaca

¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶¶

Kinara pov on

Kinara Mariska Winandar adalah Aku, usiaku terpaut enam bulan dari kakak satu papa atau dengan kata lain kami adalah saudara titi.

Dan usia saat ini yaitu 23 tahun.

Aku baru saja lulus dari Universitas ternama, hasil kerja kerasku tanpa embel-embel. Aku memang terlahir dengan nama keluarga Winandar di belakang namaku, tapi sesungguhnya aku bukan benar-benar anak yang di harapkan dari keluarga Winandar.

Aku adalah anak yang terlahir dari wanita, yang tidak inginkan dari keluarga papa. Lalu, ibuku hanya gadis desa, beliau juga bukanlah wanita berkelas seperti mama tiriku.

Di usiaku yang ke-tujuh, aku harus kehilangan ibuku karena suatu penyakit dan itu juga yang membuatku bertemu dengan kenyataan ini.

Bertemu istri pertama dari papaku, serta kakak tiri yang menatapku dengan pandangan tidak suka.

Singkat cerita aku pun tinggal dengan mereka. Aku berusaha untuk sabar dengan segala yang mereka perbuat kepadaku.

Memang papa menyayangiku, tapi entah mengapa rasa sayangnya tidak sama seperti dulu, tepatnya saat ibu ada di sampingku. Aku merasa bahwa papa sedikit menjauhiku, sejak aku menginjakkan kakiku di rumah mewah ini.

Namun aku tidak boleh berburuk sangka, karena ibu berpesan untuk selalu menghormati dan menuruti perintah papa, jadi aku akan berusaha menjadi anak yang berbakti.

Saat ini aku sedang mencari pekerjaan, sebenarnya papa menawariku sebuah pekerjaan dengan posisi yang lumayan untukku. Tapi aku cukup tahu diri, saat merasa jika kakakku tidak menyukainya, maka dari itu aku hanya bisa tersenyum dan menggeleng kepala saat menolaknya.

Di depanku saat ini ada sebuah perusahaan besar yang akan aku coba masuki berkas lamaranku. Aku berharap semoga perusahaan pertama yang Aku datangi ini mau menerimaku.

Aku pun masuk kedalam lobby dan berjalan ke arah dimana meja informasi berada.

"Selamat pagi..., ada yang bisa di bantu?" sapa petugas di hadapanku ramah.

"Selamat pagi, kemarin saya melihat lowongan untuk bagian pembukuan, apakah masih di buka?" tanyaku kepada orang di depanku saat ini.

"Ah... Silahkan Nona kebagian personalia, mereka yang akan menerima berkas anda," balasnya masih ramah.

Aku pun mengangguk mendapat jawaban ramah darinya, lalu mengucapkan terima kasih dan meninggalkan meja informasi, menuju ke arah dimana bagian personalia berada sesuai petunjuk.

Di perjalanan menuju ruang personalia, aku tidak sengaja menabrak seorang pria memakai pakaian kantor yang sangat rapih, sehingga aku pun jatuh tapi tidak dengannya.

Brugh!

"Ouch!"

Aku jatuh dengan bokong menghantam lantai, tapi dia sama sekali tidak menolongku. Dia hanya menatap dingin ke arahku dan itu membuatku merinding.

"Lain kali jalan pakai mata!" ujarnya ketus.

Aku pun balas melotot ke arahnya, dia juga salah tapi kenapa dia marah seperti itu.

"Kalau jalan pakai mata, apa gunanya kaki Tuan?" Jawabku tidak kalah ketus.

Aku bisa mendengar decakan sebal darinya, lalu aku pun bangkit dari lantai yang mencium bokongku dan berdiri di hadapannya, menatap dengan delikan sengit.

"Tidak bisa menjawab? Dasar.... Huh!" dengusku lalu meninggalkannya yang aku rasa saat ini sedang menahan marah.

Suruh siapa dia tidak sopan dengan wanita, aku pun mengendikan bahuku acuh dan melanjutkan perjalananku.

"Tampan, sayang sekali kelakuannya tidak setampan wajahnya," gumamku lirih.

Setelahnya aku pun sampai di bagian personalia, memberikan surat lamaran yang diterima dengan terbuka oleh bapak yang menerima.

"Tunggu saja informasinya, Nona Kinara," ujarnya ramah dan aku pun mengangguk mengiyakan.

"Baik, terima kasih Pak!" balasku semangat.

Dia tersenyum dan mengangguk membalas ucapan terima kasihku, lalu aku pun keluar dari ruangan, meninggalkan kantor dengan nama Gwentama Tbk.

Sesampainya aku di halte dekat perusahaan yang tadi kulamar. Aku berdiri menunggu bus untuk pulang ke rumahku, emm..., maksudku rumah papaku.

Butuh satu jam lamanya untuk aku melakukan perjalanan pulang, di tengah perjalanan aku merenung dan berfikir tentang kehidupanku kedepannya. Aku memiliki niat untuk tinggal sendiri, menyingkir dari kehidupan keluarga papa secara perlahan, hingga aku tidak ada lagi di tengah-tengah mereka.

"Apa aku menyewa rumah saat sudah bekerja nanti," gumamku pelan.

Aku melihat pemandangan kota di sepanjang jalan, hiruk pikuk keramaian kota tapi itu malah membuatku semakin kesepian. Di dunia ini aku hanya memiliki segelintir orang yang kusayang, dia adalah bibi yang bekerja di rumah papa.

Aku keseringan main dengan mereka, maksudku para pembantu sehingga aku menganggap mereka adalah keluargaku alih-alih pembantu.

Aku juga sering bekerja dengan mereka, karena mama sering memerintahkan aku memasak atau pun bersih-bersih rumah jika papa di kantor.

Tapi sejahat-jahatnya mama, beliau tidak mempermasalahkan tentang pendidikanku, sehingga aku bisa sekolah dan memilih mengambil beasiswa yang disambut antusias olehnya.

"Mengurangi pengeluaran," ujarnya saat itu.

Aku menggelengkan kepalaku saat bayangan masa lalu hampir menguasaiku, meskipun isinya hampir tidak ada kebahagian, tapi setidaknya tujuh tahun aku masih merasakan hangatnya pelukan ibu.

Tidak lama aku sampai di depan kawasan perumahan elit, bus yang aku tumpangi tidak bisa mengantarku hingga depan pagar rumah, jadi aku harus berjalan lagi untuk sampai di depan rumah.

Perumahan di sini rata-rata memiliki pagar menjulang tinggi, tapi walaupun begitu ada satu taman yang besar dan taman ini adalah taman yang dulu sering aku kunjungi.

Sekelebat bayangan masa lalu mampir lagi di otak cantikku, saat itu kalau aku tidak salah ingat aku pernah menolong anak kecil dan kami pun berteman.

Hampir setiap akhir pekan kami bertemu di sini, tapi tiba-tiba dia menghilang dan kami pun tidak pernah bertemu lagi.

"Kira-kira dimana dia?" gumamku sambil melangkahkan ke arah ayunan.

Aku menduduki ayunan dan mendorong kebelakang kecil, ayunan pun maju seiring dengan doronganku.

Untuk sesaat aku mengenang masa Kecilku, masa dimana aku tidak perlu pusing memikirkan kehidupan, kehidupan yang sangat penuh dengan lika-liku.

"Andai Ibu masih di sampingku, apakah kehidupanku akan seperti ini?" gumamku bertanya entah pada siapa.

Cukup lama aku berdiam diri di taman, berayun pelan dengan ayunan yang bergerak sesuai keinginanku.

Kesunyian taman ini membuatku lagi-lagi bernostalgia, mengingat saat aku dan kakakku yang terpaut enam bulan, hampir tidak ada yang namanya bertegur sapa selain untuk memperbudakku.

Tapi untunglah saat kuliah aku mendapat beasiswa di universitas ternama, sehingga kakakku yang cantik tapi tidak pintar itu, tidak bisa ikut denganku kuliah di universitas tersebut dan artinya kehidupan kampusku indah tanpa kendala.

"Aku kangen sekali dengan Ibu," gumamku lirih.

Aku melirik arloji pemberian papa saat ulang tahunku yang ke-sembilan belas, arloji lumayan mahal yang satu merek dengan punya kakakku.

"Jangan bilang dari Papa," ujarnya saat itu di dalam kamarku.

Sepertinya papa tidak ingin kakak marah kepadaku, sehingga apapun yang di berikannya kepadaku pasti harus rahasia.

Tapi aku cukup bersyukur setidaknya aku tahu, papa sedikit menyayangiku meskipun beliau tidak terang-terangan memberiku benda hanya berbicara seadanya denganku.

"Baiklah saatnya pulang," gumamku bangkit berdiri dan meninggalkan taman bermain, taman.

Kinara pov end

Normal pov on

Kinara pun meninggalkan taman menuju ke arah rumahnya, rumah mewah yang sesungguhnya menjadi sangkar emas baginya.

Ia memasuki rumah melalui pintu belakang, karena di ruang tamu sedang ada pertemuan dua keluarga, pertemuan yang sama sekali tidak di mengertinya.

Ia mengintip dan mencuri dengar pembicaraan di ruang tamu sana, meskipun samar tapi Ia bisa sedikit menangkap apa maksudnya.

Di belakang Kinara ada bi Yati, bibi yang sudah menganggap sang nona seperti anaknya sendiri. Ia pun menepuk bahu anak majikanya, membuat yang di tepuk memekik kaget dan berbalik dengan tangan memegang dada.

Puk!

"Akh... Ibu ini, membuatku kaget saja!" seru Kinara menatap Bi Yati dengan wajah lucu, sehingga membuat si bibi terkekeh kecil.

Lihat, anak majikannya bukan hanya cantik, tapi lucu kalau sedang melotot seperti ini.

"Lagian kamu sedang apa sih, seperti pencuri saja di rumah sendiri?" tanya Yati geli sendiri.

Kinara menggaruk lehernya yang tidak gatal, kebiasaan saat malu lalu terkekeh kecil.

"Tidak ada, aku hanya penasaran dengan pembicaraan di ruang tamu, Bu," balas Kinara menjelaskan.

"Oo!" seru Yati mengerti dengan kepala mengangguk.

"Emang Ibu tahu?" tanya Kinara penasaran, lalu memekik sakit saat kepalanya di ketuk dengan centong sayur.

Tuk!

"Ouch... Sakit Bu!"

"Sejak kapan kamu penasaran dengan hal yang tidak berhubungan denganmu, huem?" tanya Yati setelah mengetuk pelan kepala anak majikan yang dekat dengannya.

"Tidak penasaran, hanya ingin tahu loh Buu…," gumam Kinara dengan tangan masih mengusap kepalanya.

"Sama saja, Nara Sayang…," tandas Yati dengan dengusan geli.

"Iya deh sama saja, jadi bisa kasih tahu Nara Bu?" tanya Kinara masih penasaran.

Sebelum menjawab pertanyaan dari Kinara, Yati menoleh lagi ke arah ruang tamu lalu kembali melihat sang nona yang memandangnya dengan binar penasaran.

"Perjodohan untuk Non Aliana," jelas Yati singkat dan Kinara pun hanya mengangguk, mengerti.

"Ohh…," gumam Kinara tidak penasaran lagi.

"Kamu istirahat, hari ini pasti kamu lelah. Cerita tentang pekerjaan dan hari ini nanti saja, yang penting kamu istirahat," tukas Yati yang di balas anggukan kepala semangat oleh Kinara.

"Baik Bu, Nara istirahat dulu!" serunya semangat dan berjalan menuju kamarnya berada.

Untunglah tangga menuju kamarnya tidak jauh dari pintu dapur, sehingga ia dapat menyembunyikan diri dari penglihatan orang-orang yang sedang melakukan pertemuan keluarga.

"Tapi di mana Kak Liana?" gumamnya bingung, tapi setelahnya ia mengangkat bahu acuh dan melanjutkan perjalanannya menuju kamarnya berada.

Bersambung