Tapi cerita itu adalah cerita Satu tahun yang lalu, sekarang di tahun sekarang ini. Di saat usiaku sudah menginjak 22 tahun dan Dia sudah 23 tahun, kita tidak semanis dulu. Banyak waktu yang kita lewatkan dengan sendiri. Dia sibuk dengan pekerjaanya dan Aku yang sibuk dengan pekerjaanku dan memikirkan Dia.
Kata Marry, orang satu-satunya yang Aku perkanalkan dengannya, berucap katanya begitulah pacaran awalnya manis lama-lama asam sampai bikin hatiku menciut.
"LIV!OLIV!!" teriak Pak Ivan yang membuatku terlonjak kaget.
"Ya ampun Pak, maaf Pak maaf. Ada apa Bapak memanggil Saya?" tanyaku kepada Pak Vian.
"Kamu kalau kerjaanya ngalamun terus mending gak usah kerja aja Liv," sindir Pak Ivan yang membuatku semakin merasa bersalah. Karena Aku terlalu mengingat masa lalu Ku dengan Nando sampai melupakan bahwa Aku sedang bekerja saat ini. "Saya benar-benar minta maaf Pak, Saya janji tidak akan mengulanginya Pak," ungkapKu dengan berdiri menghadap Pak Ivan dan menundukkan kepalaku.
Pak Ivan terdiam cukup lama, ia menatap layar monitor dan itu membuatku semakin takut. Oh Ya Tuhan Aku baru saja bekerja sebagai asisten satu tahun, Aku tidak mau cita-citaku sebagai CEO akan gagal begitu saja. "Saya maafkan Kamu, kembali bekerja dan periksa email," ujar Pak Ivan.
"Ha?" tanyaku tanpa Aku sadari dan langsung mendapatkan tatapan tajam Pak Ivan. "Melamun lagi Olivia?" Aku langsung menggelengkan kepalaku cepat-cepat.
"Baik Pak, terimakasih Pak Ivan," ujar Ku sambil membungkukkan badanku.
Aku langsung menuju tempatku kembali dan langsung memeriksa email seperti biasanya. Bayangan Nando tiba-tiba mengusik diriku kembali namun kali ini Aku tidak akan terlena mengingat laki-laki itu. Ia tidak mau mengulang kejadian yang baru saja. Untuk berada di titik ini Aku sudah berjuang sangat keras, tidak rela rasanya jabatan ini lepas dengan sia-sia.
Ketika Aku terhanyut dalam pekerjaan dan sesekali memberikan beberapa hal yang harus di diskusikan dengan Pak Ivan. Suara wanita memanggilku dan suara anak kecil yang memanggil Pak Ivan.
"Ayah!"
"Olive."
Aku dan Pak Ivan menatap pintu yang baru saja dimasuki oleh dua orang. Seorang balita bertubuh gempal dengan baju coklat dan sepatu yang berbunyi berjalan cepat dengan tertatih-tatih. Ia bahkan seperti akan jatuh, wajar untuk si tampan yang akan segera menginjak satu tahun.
Pak Ivan yang tadinya sangat garang langsung berubah lembut. Aku terkejut melihat perubahan Pak Ivan itu. Bukan yang pertama memang, namun Aku belum terbiasa saja. Apalagi beliau baru saja menyindir Ku dan membuat Ku hampir gantung diri.
"Maaf ya ganggu Kalian, Aku datangnya kecepatan ya? Abis Iyan rengek terus," jelas Sonia, istri dari Pak Ivan yang selalu membuatku insecure padanya.
Cantik, baik dan memiliki tubuh yang sangat ideal bahkan setelah melahirkan si jagoan imut itu. Siapalah Aku ini jika dibandingkan dengan Kak Sania. Kak Sania mantan model dan seorang yang aktif di gerakan sosial dan kemanusiaan. Dan yang paling hebat adalah Kak Sania mampu menjinakkan sisi SINGA dari Pak Ivan. Sungguh hebat dan sangat sabar.
Asal kalian tahu, Pak Ivan itu sangat garang. Bukan lagi tegas. Satu tahun Aku bersama Pak Ivan membuat Aku menjadi sangat displin terutama waktu, bagaimana tidak, Pak Ivan akan memintaku untuk segera menyelesaikan pekerjaan h-2 sebelum deadline. Padahal rata-rata tugas itu diberikan h-2 pula. Ya, saat itu juga harus diselesaikan. Dan Pak Ivan tidak suka ada yang terlambat, mulutnya cukup pedas jika sudah di level marah. Bahkan mungkin mengalahkan para ibu-ibu yang suka nyinyir. Memang bersama Pak Ivan mentalku di uji.
"Diam aja di situ Liv, sini ikut gabung," ucap Kak Sania yang sedikit mengejutkanku. Karena mereka bertiga sudah berpindah di ruangan Pak Ivan dan sudah membuka bekal mereka.
"Dia udah bosen sama pekerjaannya, makanya ngelamun terus, biarin aja," kata Pak Ivan dengan masih menyindirku. See, mulut Pak Ivan sangat nyinyir bukan? bayangkan saja tiap hari Aku harus dihadapkan oleh si Bapak satu anak itu. Ini masih level satu, level 5 sudah ingin membuat kita mati dan jangan sampai level 10, kandas sudah pasti.
"Em maaf Kak Sania, Oliv ke kantin saja sudah janji dengan teman untuk makan di kantin. Selamat makan Kak Sania dan Pak Ivan," ucapku sekaligus pamit undur diri. Aku terlebih dahulu mematikan komputer dan mengambil ponsel serta dompet milikku.
"Manggil Kamu Kak manggil Aku Pak, emang udah gak betah Dia di sini," ucap Pak Ivan yang masih dapat Aku dengar.
"Gak boleh gitu Mas, kalau engga ada Oliv Kamu gak bisa nyelesain semuanya dengan cepat. Bersyukur Dia mau bantu Kamu sampai kerja lapangan bareng yang lain," bela Kak Sania. I love you Kak Sania.
Aku keluar dari ruangan dengan rasa kesal pada Pak Ivan. "Panggil Pak salah, ini salah, itu salah, bisa-bisa Aku nafas salah. Huh... Ngeselin banget jadi orang!" gerutu Ku pada Pak Ivan yang membuat moodku selalu hancur setiap hari.
"Lo butuh privat sama istrinya," ucap seseorang tepat di samping kanan Ku yang langsung membuatku terkejut. Aku memegang dadaku yang nyeri karena terkejut.
"Ih Marry! Untung Aku gak punya penyakit jantung! Harus banget ya ngagetin!" kesal diriku yang semakin memuncak karena Marry dan Pak Ivan.
"Olivia bisa gak sih kalau ada yang manggil itu noleh atau berhenti, dari tadi Gue panggil Lo ya! Kenapa pakai nada tinggi?!" jawab Marry yang ikut emosi.
"Is!! Udah ah capek Aku!" ucap Ku yang sudah lelah dengan semuanya!
Marry mengatur nafasnya berkali-kali sambil menaik turunkan kedua tangannya. Aku hanya menatap sekilas lalu terus berjalan menuju kantin. Marah membuatku sangat lapar.
Kami berdua akhirnya berjalan ke kantin dengan sama-sama terdiam. Tidak ada cerita-cerita dan tidak ada canda tawa. Bahkan senyum pun tidak. Sepertinya Marry kesal dengannya yang menggunakan nada tinggi.
Tapi ia juga sedang kesal! Pak Ivan membuatnya darah tinggi terus!
Sesampainya di kantin Aku dan Marry memesan makanan seperti biasanya. Semangkuk bakso dengan es jeruk sebagai minumnya. Seleraku dan selera Marry selalu hampir sama. Entah itu makanan ataupun hal-hal lainnya. Bahkan kadang secara tidak sadar barang kita banyak yang mirip.
"Maaf ya Ry, tadi Aku lagi kesal aja sama Pak Ivan. Abis Dia itu bikin Aku naik darah terus. Mana mulutnya ternyata pedas banget lagi. Hah.. Pantas aja Dia jarang ngomong, orang sekali ngomong langsung membekas di hati. Sakit," kataku sambil mengaduk-aduk makanan Ku.
Marry menganggukkan kepalanya lesu. "Aku juga minta maaf, tadi Aku juga lagi stres sama Pak Fatur dan Bu Ira. Bisa-bisanya mereka bikin kesalahan fatal banget, mana takut di marahin sama Pak Hendra," kata Marry yang ternyata juga sedang terkena masalah.
"Kita kenapa senasib mulu Ry, haduuh.. gini banget hidup," ucap Ku yang mengeluh pada takdir dan sang kehidupan.
"Udahlah, sekarang makan terus kita kumpulin lagi tuh tenaga buat mereka. Jangan kalah Liv, harus semangat! Kita bisa!" ucap Marry yang tiba-tiba menjadi sangat semangat. Aku menatap Marry lalu menganggukkan kepalaku dengan semangat pula.
"Oh iya, gimana kabar Nando? Yang Aku dengar dari temen di kantor pusat, mereka lagi sibuk banget. Mungkin Nando juga termasuk, apalagi proyek besar yang kita pegang udah dialihkan ke pusat," kata Marry kembali membuatku sedih.
"Gak tahu Ry. Lama-lama Aku jadi bingung deh sama hubungan ini. Masa Dia gak ada waktu buat cuma tanya kabar aja, satu pesan aja gak ada. Hana, sekretaris kantor pusat nyatanya masih sempat bikin video vlog. Dia? Is!" kesalku lagi.
"Jadi kayak gimana gitu hubungan kita Ry. Masa Aku di anggurin mulu, di ajak ketemuan aja enggak!" lanjutku.
Marry menepuk pundak ku, "Sorry jadi bikin sedih lagi. Udahlah pasti kalau udah gak sibuk hubungin Lo lagi Liv. Dah makan, buruan, abis nanti jamnya," kata Marry sambil mendekatkan mangkok berisi bakso Ku itu. Akhirnya Aku dan Marry mulai memakan makanan kita berdua. Mengisi perut dan tenaga.
Aku menundukkan kepalaku, berjalan lesu menuju ruangan Ku kembali dan membiarkan Marry berbicara terus menerus dan entah apa yang Dia bicarakan. Aku sudah ingin istirahat, capek sekali tubuhku, lelah sekali otakku, lelah dan lelah.
Tiba-tiba badanku terhuyung ke belakang. Tangan Marry menarik ku dan membuat langkah kakiku berhenti. Aku menatap Marry dengan malas, tapi Aku langsung mengerutkan dahiku ketika Marry terus mencolek bahuku dan menatap ke atas.
"Li-Lihat deh Liv," ucap gagu Marry sambil menunjuk ke arah atas.
Aku yang penasaran langsung melihatnya. Seketika mataku langsung membulat besar. Sebuah layar televisi yang selalu di pajang di atas resepsionis kantor ini menayangkan wajah laki-laki yang sedang di wawancarai.
Laki-laki itu, Nando. "Nando anaknya pemilik kantor ini?!" teriak Marry tepat di sampingku. Aku menatap terkejut pula, jadi... selama ini... Nando... Oh My God!
"Eh jangan natap Dia lama-lama, Dia itu pacar Gue!" ujar sirik wanita sambil mendorong Marry dan Aku. Dia adalah Mui, entah siapa nama aslinya tapi sering di panggil itu. Dia dia tahun di atasku, tapi gayanya selangit.
Marry berdengus, "Halu ya?" tanya Marry.
"Halu!? Enak aja, nih Gue ada buktinya," ujar Mui sambil mengeluarkan ponselnya.
Tiba-tiba Mui memberikan ponsel itu pada Ku dan Marry. Aku langsung menatap Marry setelah membaca pesan yang ada di ponsel Mui. Begitu pula Marry yang menatapku terkejut.
Ya, Aku terkejut bahwa nomor yang sama dengan milik Nando ada di ponsel Mui. Parahnya Nando baru saja membalas pesan Mui beberapa jam yang lalu. Aku tidak mungkin salah menghafalkan nomor seseorang apalagi itu kekasihku.
"Gak mungkin," lirih ku sambil kembali menatap ponsel Mui.