Pak Ivan menatapku dan Aku sadar itu. Bukan hanya Pak Ivan tapi Kak Sania juga. Mungkin mereka bingung kenapa diriku berbeda setelah istirahat tadi.
Ya, kejadian di bawah membuatku marah, kecewa, sedih, benci dan hancur. Bagaimana tidak? Hati mana yang tidak hancur melihat kekasihnya ternyata memiliki perempuan lain di belakangnya. Apalagi menggunakan kata-kata manis.
Tapi Aku tidak mungkin menangis di sini, cukup tangisanku di kamar mandi tadi. Walau rasanya Aku ingin sekali menangis dengan kencang. Menangis dengan sangat keras. Berteriak dengan sangat keras. Melemparkan barang. Tapi, tapi Aku tidak bisa. Aku bukan orang yang seperti itu.
"Kamu kenapa Liv?" tanya Kak Sania yang ternyata sudah duduk di depan meja Ku dan menghadap ke arah diriku.
"Oh maaf Kak, Saya terlalu fokus jadi tidak sadar Kak Sania di depan Ku," ujar Ku.
"Kita perempuan Liv, Aku tahu Kamu tidak baik-baik saja, mata Kamu juga sembab waktu datang ke sini. Apa ini karena suamiku?" tanya Kak Sania yang menebak bahwa jika Aku bersedih karena Pak Ivan.
Awalnya iya, tapi sekarang tidak. Ada hal yang menyesakkan yang membuatku seperti ini. Bekerja namun pikiranku melayang-layang. Perasaan campur aduk. Dan raga yang ingin jatuh rasanya.
"Enggak kok Kak Sania. Aku lagi mikirin yang lainnya," jawab Ku jujur. Kak Sania lalu merubah posisi duduknya menjadi di samping Ku. "Mau cerita? mumpung Iyan lagi tidur dan kayaknya Mas Ivan gak keberatan Aku di sini sama Kamu," ujar Kak Sania sambil melihat ke arah suaminya yang hanya terhalang oleh dinding kaca tembus pandang.
Pak Ivan menganggukkan kepalanya seakan tahu apa yang dikatakan oleh Kak Sania. Aku menatap Pak Ivan dengan sedikit terkejut. Pak Ivan termasuk orang yang sedikit protektif dan sensitif sehingga masalah yang menyangkut Kak Sania ia akan menjadi singa juga.
Bahkan hal sepele, seperti Kak Sania jatuh atau terlalu memperhatikan orang lain. "Dia ngerasa bersalah tahu sama Kamu Liv," ujar Kak Sania membuat Aku terkejut.
"Pak Ivan Kak?" tanyaku memastikan kepada Kak Sania.
Kak Sania menganggukkan kepalanya, "Laki-laki itu kadang terlalu gengsi beda sama kita perempuan. Maafin suami Aku ya Liv. Dia emang suka gitu kalau ngomong, tapi niat Dia gak mau nyakitin apalagi sampai buat Kamu nangis. Dia itu dari kecil terdidik keras sehingga ia kadang memperlakukan kasar orang-orang di sekitarnya."
"Kak Sania pernah?" tanya Ku tiba-tiba. Aku langsung menutup mulut Ku dengan kedua tangan Ku, lancang sekali Aku bertanya itu. "Kisah Ku lebih rumit dari yang Kamu pikirkan Liv. Tapi bersyukur sekarang sudah lebih baik lagi. Ya, yang Kamu lihat sekarang ini, cinta memang rumit," ujar Kak Sania membuat Aku teringat masalah Ku lagi.
"Iya, rumit banget," ujar Ku dengan sangat pelan. "Oh jadi ini ceritanya galau," ucap Kak Sania membuatku sedikit gelagapan.
Kak Sania lalu memegang kedua tanganku. "Mau cerita?" tanya Kak Sania padaku. Aku menatap Kak Sania dengan ragu. Walau sudah satu tahun aku kenal Kak Sania dan bisa dikatakan dekat namun masih ada rasa sungkan.
"Kak Sania tahu P-Pak Nando?" tanya Ku dengan ragu dan hati-hati. Kak Sania terlihat diam dan berpikir. Aku menatap Pak Ivan yang fokus dengan pekerjaan dan Iyan yang tidur.
Sebenarnya yang paling tepat adalah bertanya langsung kepada Pak Ivan, mengingat beberapa kali Pak Ivan melihat Aku dengan Nando berduaan. Dan pasti beliau tahu itu. Termasuk tahu apa benar Nando anak pemilik perusahaan ini.
"Nando siapa?" tanya Kak Sania yang sepertinya tidak tahu akan hal itu. Aku menghela nafasku, rasanya percuma juga bercerita, ia justru merasa terlalu aneh.
"Udah Kak, gak papa. Kak Sania, Aku baru ingat kalau waktu itu Kak Sania bilang kalau Kakak mau cari baju yang sama kayak keponakan Ku ya. Belinya di deket sini ternyata Kak," ujar mengalihkan pembicaraan.
"Kalau mau nangis, nangis aja Liv," ujar Kak Sania yang langsung membuatku hampir kehilangan pertahanan Ku.
"Kayaknya Kamu butuh waktu sendiri ya, bentar Kamu di sini aja," ujar Kak Sania yang setelah itu langsung berdiri dan menepuk bahuku setelah itu pergi dari meja ku.
"Mas, Kamu bilang mau antar Aku sama Iyan pulang kan?" teriak Kak Sania. Aku yang paham merasa tidak enak, Aku takut memberikan kesan mengusir.
"Sekarang?" tanya Pak Ivan yang mendekati Kak Sania. "Sekalian Kamu antar sesuatu ke klien Kamukan. Lagian Iyan juga gak baik tidur di sofa. Dah yuk," kata Kak Sania mengemasi barang-barang yang tadi ia bawa.
Pak Ivan menggendong si kecil lalu segera keluar dari ruangan ini. Sedangkan Kak Sania berjalan mendekati Ku. "Lebih baik menangis Liv, tapi ingat setelah itu jangan bersedih lagi. Kalau butuh tempat cerita Kakak siap dengerin cerita Oliv. Aku pamit pulang dulu ya Liv," ujar Kak Sania yang mengelus lembut kepalaku, bagaikan seorang Kakak kepada seorang adiknya.
Ketika Kak Sania keluar dari ruangan seketika pertahanan yang Aku buat untuk membendung air mataku langsung roboh. Tak mampu lagi menahan air mata itu. Tak mampu lagi menahan tekanan hatiku. Tak mampu menahannya.
Aku memukul dadaku, terlalu sakit rasanya. Untuk pertama kalinya Aku sakit hati sedalam ini. Pertama kalinya Aku sakit hati tanpa ada ucapan ataupun tindakan secara langsung di depanku. Baru kali ini Aku menangis, menangisi seorang laki-laki.
"Kenapa Dia jahat? Kenapa Dia jahat sama Aku? Kenapa harus Aku? Kenapa harus Mui? Kenapa?" ujarku marah. Kesal. Kecewa.
Tangisanku semakin kencang dan semakin sesak. Semua yang ku rasakan ku keluarkan saat itu. Sama seperti ketika di toilet, Aku menangis sangat keras.
Aku memegang meja dan mencengkramnya kuat.
(Flashback)
"Kamu halunya ketinggian deh Mui, bercandakan?" tanya Marry yang masih tidak percaya. sedangkan Aku diam membantu pemikiran ku berhenti dan jiwa raga ku berhenti juga.
"Gak percaya banget ya kalian?" tanya Mui dengan sifat congkaknya. "Nih ya," kata Mui sambil merebut ponselnya dari tangan ku.
Mui mencoba menghubungi seseorang. Sepertinya Nando. Karena masalah ini tentang laki-laki itu. Panggilan pertama tidak berhasil, Marry menatap Mui sinis, Aku yang melihat itu sedikit bernafas lega, harapanku tentang hal itu salah semakin tinggi.
Ya Aku berharap Mui salah orang...
Tarikan nafas Ku langsung mencekat kerongkongan Ku. Ketika suara bass laki-laki yang begitu familiar dan sangat membekas di telinga dan otakku.
Iya Sayang?
Aku menatap ponsel Mui lalu menatap Mui yang semakin sombong. "Enggak papa Sayang, cuma Aku kangen aja sama Kamu. Kamu lagi ngapain Sayang? Kita jalan yuk," ucap Mui yang sengaja memanasi diriku dan Marry.
Aku yang biasanya langsung membalas kata-kata atau ejekan Mui sekarang hanya bisa mematung dan terpaku melihat ponsel Mui.
Marry menarik tanganku, menjauh dari Mui segera. Marry membawaku ke kamar mandi dan saat itu pula Aku menangis dan memeluk Marry.
"Kenapa Dia tega Ry?"
(Flashback off)