Aku pulang dengan wajah masam, Ibu yang melihat sampai terheran-heran. Aku juga mengabaikan panggilan Ibu setelah itu. Sungguh Aku lega karena bisa memaki orang walau bukan Nando yang Aku maki tetapi lega saja rasanya.
"Akhh!! Jangan mikirin itu lagi! Playboy kadal! Playboy buaya!" kesalku sambil memukul bantal yang ada di atas kasurku.
"Siapa yang buaya Liv? Kamu itu kenapa sih Liv marah-marah?" teriak Ibu dari luar kamarku. Aku yang mendengar itu langsung menepuk jidat Ku lupa jika masih ada Ibu di rumah.
Tring...
Trinng....
Marry menelpon ku dan beruntut mengirimkan pesan memintaku untuk segera mengangkat teleponnya. "Apa Ry?" jawab Ku sambil sedikit marah.
Liv Lo dimana? Lo harus ke sini sekarang, gila nih Pak Ivan gak dateng dateng! Pak Juan udah nungguin Lo berdua buat hasil kerja kalian proyek baru! Gue takut sama Pak Juan sumpah, wajahnya serem banget bikin Gue mati muda!
"Ah! Pak Ivan bisa-bisanya gak ngabarin Aku apa-apa!" ujar ku sangat kesal karena baru saja duduk dan tiba-tiba harus di minta kembali ke kantor.
Udah buruan ke sini! Pak Juan udah marah-marah. Mana bikin Gue puyeng lagi!
"Iya iya, Aku ke sana sekarang. Tolong hubungi Pak Ivan ya Ry, Aku gak bisa Aku di jalan entar nabrak lagi Gue!" kata Ku meminta tolong pada Marry.
Aku langsung kembali mengambil tas kerja dan berkas-berkas yang berhubungan dengan proyek baru. Pak Juan kenapa meeting dadakan kayak gini sih! Benci banget Aku! Dasar Pak Ivan! Pak Juan! Laki-laki sama aja, bikin kesel semua!
"Ibu, Olivia balik ke kantor dulu," ucapku sambil mencari Ibu di dapur.
"Baru aja sayurnya siap Liv, gak makan dulu? Kenapa balik lagi?" tanya Ibu bertubi-tubi.
Aku mengambil tangan Ibu untuk salim, "Iya Bu ada meeting dadakan. Oliv makan nanti aja Bu, udah di tunggu bos. Bye Bu, Oliv pulang telat ya Bu."
Aku langsung keluar dari rumah, melewati adikku yang menanyakan Aku akan kemana. Namun, Aku tidak menjawabnya saat ini pekerjaannya sedang di taruhkan di sini. "Hati-hati Kak, jangan ngebut!" teriak Gino, adik laki-lakiku.
Aku hanya membalas dengan anggukan kepala, entah Gino melihatnya atau tidak namun yang pasti Aku sudah menjawabnya.
Aku menyalakan motorku kembali. Motor yang sudah menemani keluargaku semenjak Aku duduk di kelas satu SMA. Ketika Ayah masih hidup dan kita masih bersama-sama setiap harinya. Walau hanya sore dan malam hari karena pagi dan siangnya Kami di sibukkan dengan segala aktifitas namun jujur saja itu adalah momen yang paling begitu Aku ingat.
Oh Ayah, jika Ayah tahu putri Mu ini sedang patah hati, Ayah pasti akan menghajar laki-laki playboy kadal sok manis itu Ayah!
Aku menjalankan motorku dengan keadaan sedikit berantakan biar nanti saja ia rapikan di lobi kantor. Yang penting adalah ia segera sampai kantor. Astaga macet di depan kantor pasti masih sangat panjang, semoga saja terkejar waktunya.
Sungguh sangat menyebalkan. Aku juga tidak bisa protes kepada Pak Ivan apalagi Pak Juan bisa tamat riwayat pekerjaannya. Sudahlah pasrah saja.
Dan sesuai tebakan Aku. Aku sampai di kantor hampir setengah jam biasanya jika lancar Aku hanya menempuh waktu lima belas menit saja. Karena macet yang sangat panjang Aku menempuh dua kali lebih lama dan pastinya Marry dan Pak Ivan sudah berkali-kali menelpon Ku.
Ketika Aku sampai Aku langsung meminta bantuan salah satu satpam motor untuk memarkirkan motor Ku sedang Aku langsung berlari menuju ruang meeting yang berada di lantai sepuluh gedung ini. Sungguh ini sangat mendebarkan.
Di dalam lift Aku merapihkan penampilan Ku tidak lupa menyemprotkan pewangi agar tubuhku tidak begitu bau. Aku juga langsung mengikat rambutku rapi, tidak lupa menata poni rambutku dan terakhir memakai lipstik agar terlihat lebih fresh segar. Sehingga enak di pandang dan pastinya terlihat siap siaga.
Sampai di lantai sepuluh Aku bertemu dengan Marry yang duduk di kursi panjang depan ruangan meeting. "Ya ampun Liv akhirnya Lo datang juga, sepuluh menit lagi bakalan di mulai lebih baik bahan presentasi Lo siapin deh," kata Marry yang membuat Ku langsung menyiapkan semuanya.
Aku dan Marry duduk bersampingan. Di sini hanya ada Aku dan Marry saja. "Yang lain kemana Ry?" tanya Ku penasaran.
"Lagi di ruangan Pak Juan, kayaknya pembicaraan rahasia perusahaan deh, soalnya cuma Pak Ivan, Pak Hendra dan Pak Juan aja yang lain suruh tunggu di sini," jawab Marry.
"Untung aja pas Pak Juan tahu kalau karyawan gak ada yang lembur langsung mau mengundur rapatnya. Lo bayangin tadi Gue sama Pak Hendra langsung di samperin sama Pak Juan dong. Gila Gue mau mati rasanya!" cerita Marry membuatku menatap Marry.
"Bukannya tadi Pak Hendra udah pulang duluan sama Pak Ivan Mbak Sania ya? Kok Lo bisa bareng Pak Hendra? Hayo, ngejar duda ya Lo?" kata Ku menggoda sekaligus curiga kepada Marry.
Marry menatapku tajam, "Gue banting juga ya laptop Lo. Gue sama Pak Hendra ketemu itu karena tadi Gue sama Bu Ira revisi, lagian Gue kenapa suka sama Om-Om, kayak yang seumuran itu gak ada aja," ujar Marry yang kesal terhadap Ku.
Aku tertawa geli, lalu menatap laptop Ku kembali. "Pak Hendra gak jelek jelek amat kok Ry, gak buncit, pintar, pekerja keras, tanggung jawab, gak nyinyir juga. Ya cuma rada galak, ya tapi gak papa, beliau itu DUREN, Duda Keren, modis juga loh," ujar Ku yang langsung dibalas toyoran kepala oleh Marry.
Aku tertawa melihat Marry yang marah, sampai melupakan bahwa ia ingin bercerita pada Marry jika ia bertemu dengan Nando tadi. Bersama wanita yang berbeda.
"Udah buruan lima menit lagi tuh Bapak-Bapak semua balik lagi ke sini, jangan bikin makin panik deh, nasib pekerjaan ini, masa depan ini," kata Marry meminta Aku kembali fokus pada pekerjaan Kita.
Aku dan Marry bernafas lega ketika bahan yang akan dilaporkan sudah siap dan hanya menunggu kedatangan beberapa wakil devisi serta pemilik perusahaan. Jujur saja jika diingat Aku menjadi sangat grogi dan sangat takut. Bagaimana pun Pak Juan sang pemilik perusahaan akan langsung melihat kinerja Ku, tahu atau tidak tahunya Pak Juan terhadap hubungan Ku dan Nando tapi tetap saja ini membuatku sangat takut dan nervous.
Marry yang tahu langsung memegang tangan kanan Aku yang sudah dingin dan bergetar. "Kita pasti bisa Liv, Lo pasti bisa. Anggap aja cuma ada Gue sama Pak Ivan, jangan pandang Pak Juan. Lo pasti bisa, Gue tahu sahabat Gue itu keren dan pintar abis," ujar Marry yang menyemangati diriku.
.
.
.
Rapat selesai di tutup dengan harapan dari Pak Juan untuk proyek kali ini. Dan hasil diskusi dari sekretaris Pak Juan yaitu Hana, teman Marry di kantor pusat.
Dan yang paling membuatku tak menyangka adalah Pak Ivan yang memberikan Aku kata selamat. Sungguh ketika tahu itu Aku langsung terdiam dan hanya mematung menatap Pak Ivan.
Tapi, tidak ada komentar apapun dari Pak Juan. Ah, kenapa Aku ini, kenapa jadi berharap Pak Juan memuji ku. Aku ini siapa hanya bawahan yang tidak ia kenal. Huh... Tapi Aku menjadi berpikir, kira-kira setelah melihat Aku mempersentasikan hasil kerja tadi Pak Juan berpikir apa ya?
Huh... aku hanya bisa menghela nafasku saja. "Hai, boleh gabung makan di sini?" tanya seseorang yang baru saja datang dan menghampiri meja dimana ada Aku dan Marry yang sedang mengambil nafas karena rapat berjalan lancar.
"Oh Hai Hana, duduk aja kali Han kayak sama siapa aja," kata Marry. Aku memberikan senyuman Ku lalu menggeserkan dudukku agar Hana mendapatkan ruang untuk duduk.
Kami sudah menjadi bertiga, Hana juga sudah memesan makanannya. Sedangkan Aku dan Marry sedang menunggu makanan kita berdua.
"Kamu pasti Olivia Klara ya?" tanya Hana membuat Aku dan Marry mengerutkan dahi. Lalu Aku menganggukkan kepala Ku menjawab pertanyaan Hana.
"Kenapa Han? Gak biasanya Lo formal sama sebaya, biasanya juga pakai Lo Gue Han," kata Marry yang bercanda. Hana tertawa membalas candaan Marry. Ia lalu menatap Ku dengan senyuman.
"Keren aja pas Lo presentasi, kelihatan menguasai banget. Pantes aja Pak Ivan berani dan yakin ngajuin Lo sebagai tim utama proyek ini," Kata Hana yang membuatku langsung terkejut.
"Apa!? Tim utama? tapi Pak Ivan belum kasih tahu Aku kalau Aku bakal jadi tim utama," kataku terkejut. "Benarkah? Kalau gitu selamat ya, selamat bergabung di tim utama, kita bisa ketemu deh akhirnya punya temen juga yang sebaya," kata Hana yang justru tampak senang.
Marry tertawa dan juga bertepuk tangan karena senang. "Gue bilang juga apa Liv, harus serius nih Liv, cita-cita Lo sebagai CEO bisa tercapai segera nih," kata Marry yang turut bahagia.
Aku menghela nafas Ku lalu melemaskan badanku. Bukan berarti Aku tidak bahagia atau tidak senang. Senang jelas, seperti kata Marry ini bisa menjadi aji mumpung buat Aku untuk menggapai cita-cita Ku dan juga ini bisa menjadi bahan pertimbangan agar Aku bisa di promosikan.
Tapi, jika Aku masuk ke tim utama artinya Aku akan pisah dengan Marry dan juga artinya Aku memiliki kemungkinan besar bertemu dengan Nando. Sungguh rasanya tidak semangat. Hanya Hana yang aku kenal, itu pun karena hari ini. Hana juga pasti akan sibuk dengan pekerjaannya sebagai sekretaris.
"Aku ke kamar mandi dulu ya, perut Aku tiba-tiba sakit kayaknya Aku waktu datang bulan, mau cek sebentar ya," kata Marry sambil memegang perutnya dan meringis kesakitan.
"Aku temani ya Ry," kata Ku yang khawatir melihat Marry kesakitan.
"Gak usah, Lo di sini aja, lagian Gue bisa kali santai aja," ujar Marry.
Aku lalu menganggukkan kepalaku dan melihat Marry yang pergi menuju kamar mandi. Saat berduaan dengan Hana, ada perasaan yang mendorong Ku untuk bertanya hal sensitif.
"Em Hana boleh Aku tanya sesuatu gak?" tanya Ku yang akhirnya mengikuti dorongan itu.
Hana menghentikan acara minumnya lalu menatap Ku. "Ya? Mau tanya soal apa?" Jawab Hana.
Aku mengaduk minuman yang ada di depan Ku lalu menatap Hana dengan ragu. "Kamu kenal Nando?" tanya Ku kepada Hana.
"Nando anaknya Pak Juan?" tanya balik Hana. Aku menganggukkan kepalaku.
"Kenal dong Liv, ya tapi gak deket cuma tahu aja dan ya karena kerjanya deket jadi agak tahu kebiasaan di kantor," ujar Hana.
Aku menatap Hana lagi lalu menanyakan hal yang ingin sekali Aku tanyakan, "Dia orangnya gimana sih? Penilaian di pikiran Kamu aja," tanya Ku.
Hana meminum dahulu minumannya lau menatapku. "Dia itu orangnya, sebenarnya ya, cerdas banget karena semenjak Nando lulus dan ikut kerja Pak Juan, Pak Juan udah gak begitu dua puluh empat jam kerja. Terus juga orangnya supel bisa dikatakan begitu, banyak juga kemahirannya karena Aku pernah dengar kalau Dia punya banyak segudang prestasi," Kata Hana yang membuatku sedikit lega rasanya.
"Ya tapi em sifatnya bikin geleng-geleng. Playboy, benar-benar suka mainin hati perempuan Gue aja hampir pernah jadi korbannya. Buaya bangetlah pokoknya tiap hari hobinya bawa cewek beda beda. Kalau di tanya sama Pak Juan nih, ngelawan mulu dan parahnya semua itu cuma dianggap mainan gak ada yang pernah diseriusin," lanjut Hana yang membuat pisau yang sudah menancap di hatiku membelah hatiku langsung, sakit rasanya.
"Hari ini bawa A besok bawa B gitu terus dan itu bukan lagi rahasia, semua karyawan tahu bahkan Gue sering ketemu Dia di club malam, biasalah orang berduit," ucap Hana membuatku semakin sakit hati.
"Em Han, kayaknya Aku duluan pulang deh, Aku lupa kalau harus nganter Ibu Aku pergi, duluan ya," pamit Ku menahan sesak di dada dan juga tangisan diriku yang sudah sulit di tahan lagi.
"Loh, makanan Kamu?" tanya Hana.
"Gampang," jawab Ku ambigu. Karena yang ada dipikiran Ku adalah mencari tempat untuk menangis.
Aku langsung menyambar tas Ku dan pergi dari meja kantin. Aku juga menuju pos satpam untuk mengambil kunci motor Ku. Di jalan yang sudah lebih lancar ini Aku menutup kaca helm ku dan kembali menangis. "Jadi Aku juga mainan Dia? Astaga Oliv bodoh banget Kamu Liv!" Kesal Ku kepada diri Ku sendiri.
Hiks...
"Sakit banget ya Tuhan, kenapa Aku gak percaya kata Ibu, kalau cinta itu memang sangat sakit rasanya, buat apa pacaran jika cuma mainan," lirih ku yang masih kesal dengan diriku yang menerima Nando waktu itu tanpa pikir panjang atau menimbang itu semua.
Sakit rasanya tahu pacar, kekasih yang kita sayang kita puja kita nanti ternyata memiliki ribuan perempuan di luar sana. Dan ternyata kita hanyalah mainan yang sesuka hati dia mainin. Bahkan setelah kepergok bersama wanita lain Nando tidak sama sekali menghubunginya. Benar-benar sudah dibuang oleh Nando Aku ini.
Di lain sisi, Marry kembali dengan wajah yang menahan rasa sakit. "Udah mendingan Lo?" tanya Hana kepada Marry.
"Lumayan, kasih yang anget-anget pasti udah sembuh. Suka gini emang," jawab Marry.
"Loh Oliv kemana?" tanya Marry yang bingung kemana perginya sang sahabat.
"Pulang, cari ibunya," jawab Hana sambil menggulung mie ayam di garpunya. Marry menatap Hana, "Lah gak jadi ketemu Pak Ivan Dia? Ya sudahlah," kata Marry.
"Eh Mar, kenapa Lo kemarin tiba-tiba tanya tentang Pak Juan sama Nando? Jangan deket-deket Nando Lo, buaya Dia, kelas kakap udahan. Wajah, pintar, tajir itu Oke tapi kalau akhlak ilang ya stres kita," kata Hana berpesan pada Marry teman semasa SMA dan kuliah.
"Bukan Gue tapi Oliv." Mendengar itu Hana langsung terbatuk-batuk. "Dia udah pacaran setahun sama Nando dan tadi baru tahu ternyata Nando playboy mana yang dipacarin anak kantor ini lagi," lanjut Marry.
"Mampu Gue Ry, Gue baru cerita tanpa filter ke Oliv tentang Nando," kata Hana. Marry hampir saja tersedak minumannya ia lalu membulatkan kedua matanya.
"Sumpah?!" Hana menganggukkan kepalanya bahwa ia serius. "Habis sudah," ujar lemas Marry yang langsung kepikiran oleh Oliv.