Ia terkejut begitu mendapati seseorang yang tidak ia ketahui mengiriminya sekotak nasi goreng spesial yang dijual Bu Nati di kantin Pondok, pasalnya ini adalah makanan kesukaan Pihu jika sedang berada dalam pondok tapi siapa yang mau repot-repot mengiriminya makanan tengah malam seperti ini.
Ia sedang khusyuk melantunkan bait-bait hafalannya dengan cermat ketika seorang santriwati kecil menghampirinya dengan sebuah kotak dalam kresek hitam, anak itu hanya menyerahkannya tanpa sepatah katapun tanpa sempat Pihu bertanya.
Ia mengamati kresek itu lamat-lamat, kemudian membukanya hingga tampak sekotak sterofom putih dengan harum yang sangat familiar. Ia tahu betul apa isi di dalamnya, indra penciumannya tidak pernah salah mengenali nasi goreng spesial dengan bumbu rahasia dan dua butir telur itu.
Dan satu lagi, sebungkus sambal terasi sudah tersusun rapi didalam sana? Siapa sebenarnya orang ini hingga tahu kebiasaan Pihu jika sangat suka dengan nasi goreng spesial dan sambal terasi ini?
Pihu celingukan, matanya jeli mengamati kantin Bu Nati yang tampak masih ramai di koridor ujung sana. Berharap menemukan seseorang yang telah dengan baik hati padanya, namun yang keluar dari kantin hanya beberapa santriwati dengan bungkusan seblak yang mereka bawa.
"Wahhh Kamu udah beli nasi goreng duluan aja, baru Aku mau ngajakin kamu ke kantin," celetuk Aisyah kecewa dengan beberapa lembar uang lima ribuan di tangannya.
"Nggak Syah, Aku gak beli ini ... Tadi ada anak kecil yang tiba-tiba nganter makanan ini kesini," jawab Pihu spontan.
"Lho dari siapa? Baik banget mau ngasih cuma-cuma." Sembari membuka bungkusan hitam itu tanpa permisi.
"Tar deh, ko Dia tahu kebiasaan Kamu kalo makan nasi goreng harus satu paket sama sambel terasi trus pake dua telor?" Tanya Aisyah heran ketika melihat isi sterofom itu.
"Aku juga gak tahu Syah."
"Pasti pengagum rahasia kamu ini," ucap Aisyah sedikit bergurau.
"Ihh masa ada yang berani-beraninya sampe ngirim makanan gini Syah, selama ini gak ada yang berani lho paling mereka cuma ngasih-ngasih surat gajelas."
"Ya siapa lagi kalo bukan pengagum Mu, hahaha."
"Wes tunggu bentar ya, aku ke kantin dulu mau beli mie ayam nanti kita makan bareng." Sembari melambaikan tangannya dengan terus berjalan kearah kantin yang mulai sepi itu.
"Iya jangan lama-lama."
Aisyah hanya mengacungkan jempolnya keatas, masuk ke dalam kantin yang penuh dengan berbagai makanan.
Pihu kembali membuka Al-Qur'annya, sembari menunggu Aisyah memesan makanan dia kembali mentadarrus Al-Qur'an yang masih dia pegang. Suara indahnya kembali terdengar merdu, terdengar seperti bertautan dengan beberapa santri yang juga sedang menghafal di kamar sebelah.
Ia menutup Al-Qur'annya perlahan ketika Aisyah tampak setengah berlari dengan mangkok mie ayam dan segelas teajus di tangannya.
"Yuk, makan."
"Iya sini duduk, makan disini aja Syah di dalem males nyapu takut banyak semut."
"Yaudah sini aja, sambil ngadem." Sembari meletakkan mangkuk dan gelas yang di tentengnya sedari tadi.
Mereka makan sembari menikmati pemandangan dibawah sana, tampak malam semakin larut namun masih banyak santriwati yang masih berkeliaran dan menghafal di kursi halaman. Memang masih pukul sembilan, masih ada satu jam sampai jam tidur malam.
"Aku minta teajusnya Syah," ucap Pihu ketika ia tersedak sesuatu didalam nasi gorengnya.
"Iya nih sok minum aja." Menyerahkan gelasnya ke mulut Pihu.
Namun betapa terkejutnya mereka ketika Pihu memuntahkan sesuatu yang sedari tadi mengganjal di mulutnya, sebuah cincin yang indah tampak jatuh dari mulutnya. Aisyah hanya melongo menatap Pihu memuntahkan Cincin emas dengan hiasan berlian kecil yang tampak serasi dengan bentuknya.
Pihu memungutnya ragu, di bersihkannya cincin itu dari sisa-sisa nasi yang masih menempel di sisinya. Diamatinya perlahan, cincin itu begitu indah, berkilau dibawah sinar bulan yang telah bulat sepenuhnya.
Pihu hanya tersenyum senang, meski dia terlihat bingung dengan raut wajah cantiknya namun tak dipungkiri jika ia tengah bahagia saat ini. Entah mengapa rasanya seperti dia mendapatkan cincin itu dari seseorang yang sudah ia idamkan sejak beberapa bulan ini.
Pipinya bersemu merah, tanpa ia sadari cincin itu sudah melingkar di jari manis tangan kanannya dengan indah. Sangat cocok. Aisyah masih belum selesai dengan keterkejutannya sampai mie ayam yang baru di sendoknya barusan belum sempat ia telan.
"UHUK UHUK!!"
Buru-buru Pihu mengambil gelas yang tadi ia gunakan, memberikannya pada Aisyah ketika mie itu terasa menyangkut di tenggorokannya.
"Makanya jangan mangap aja Syah, keselek kan." Memukul pelan pundak Aisyah agar rasa tersedaknya berkurang.
" Aku syok Pi! Gila ini orang sweet banget pake kasih cincin terus di sembunyiin didalem ya Allah," teriaknya histeris setelah tersadar dari rasa terkejutnya.
"Sstttt. Jangan berisiki Syah, takut kedengaran Ustadzah." Menyumpal mulut Aisyah dengan bakwan yang masih tersisa diatas mangkok mie nya.
"Kamu serius gak tahu ini dari siapa?" Tatapan Aisyah mengintimidasi.
Pihu hanya menggeleng jujur sembari matanya lekat menatap cincin dengan manik berlian itu, sungguh mempesona.
"Aku boleh jujur gak Syah," ucap Pihu serius dengan menatap mata sahabatnya lekat.
"Iya? Kamu mau cerita?"
"Sebenernya Aku jatuh cinta sama Mas Adam Syah," ucap Pihu sedikit menundukkan kepalanya dalam.
"Kamu gak becanda kan Pi?"
"Entah Syah, semenjak Aku liat Mas Adam waktu pelulusan aku gak pernah tenang Syah. Aku kefikiran Mas Adam terus, aku tau ini dosa tapi Aku gak bisa kontrol diri aku sendiri." Dengan terisak kecil.
"Dengerin Aku Pi, cinta itu fitrahnya manusia. Kamu gak salah, kamu gak berdosa dengan mencintai seseorang. Justru dengan itu Allah mengembankan perasaan itu sebagai karunia, cuma sekarang belum saatnya Pi."
"Aku tau Syah, ini bukan saat yang tepat. Kita masih kuliah, dan lagipula Aku cukup tau diri. Mas Adam bukan sandinganku, Dia orang berilmu dan juga seorang Gus," ucap Pihu sedih dengan airmata yang mulai menetes lagi dari mata cantiknya.
"Jika sudah berjodoh, kalian pasti akan Allah persatukan dengan cara yang mengagumkan. Kamu gausah sedih Pi." Merangkul pundak sahabatnya hangat.
"Ttt tttaapiii Syah-" kalimatnya terpotong, suaranya mulai meredup.
"Kenapa? Cerita sama Aku."
"Ustadzah Ratih kemarin nyuruh Aku buat beresin kamar Mas Adam, dan aku liat ..." Ucapnya menggantung, seperti tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Matanya semakin deras menitikkan bulir-bulir bening.
"Pi kenapa?"
"Mas Adam udah punya calon istri Syah," ucapnya pelan.
"Tahu darimana?"
"Dikamarnya Syah, Aku lihat dengan jelas waktu Aku masuk kesana. Laptopnya masih nyala, disana Aku lihat foto Mas Adam sama wanita berhijab yang cantik," ucapnya berat dengan airmata yang terus menetes.
"Pihu," wajah Aisyah tampak menyendu melihat sahabatnya tengah menangis menahan gejolak rasa sakit di hatinya.
"Gapapa Syah, Aku tahu Mas Adam gak pantes buat Aku." Sembari tersenyum menyeka air matanya.
"Udah ni simpen mangkoknya ke kantin, nanti Bu Nati keburu tutup lho," lanjutnya seraya membereskan bekas makanannya yang belum sempat dia habiskan, di tatapnya cincin yang tadi ia sematkan di jarinya. Dilepasnya cincin itu kembali kemudian di masukkannya kedalam saku kirinya.
____