"Udah siap aja Gus, mau kemana?" Tanya Adam yang tiba-tiba sudah muncul di belakang Gus Rafli yang baru saja selesai mengemas semua barangnya.
"Eh Dam udah dateng," ucapnya singkat dengan tangan yang masih sibuk membenahi sarungnya tanpa menjawab pertanyaan Adam.
"Kayanya udah rindu berat sama Ning Nikma ini makanya buru-buru pengen pulang," celetuk Adam dengan seukir senyum yang tersungging di wajah tampan miliknya.
"Ya pasti lah Dam, Saya ini masih penganten baru lho. Kasihan istri saya kalo kelamaan di tinggal hahaha."
"Iya kasihan Ning Nikma Gus, apalagi sekarang sudah masuk musim penghujan. Gus ngertikan maksud saya." Menepuk pundak Gus Rafli dengan senyum jahil.
"Sampean belum nikah saja mau sok-sokan ngecengin saya, itu Mbak Pihu nya di urus dulu makanya Dam biar cepet zuad hahaha," balas Gus Rafli tak kalah berolok-olok.
"Iya Gus,Doakan biar saya sama Pihu cepet zuad (nikah)." Menepuk-nepuk telapak tangan Gus Rafli seolah meminta semangat.
Mereka berdua tertawa keras pagi ini hingga dua orang yang kala itu tengah melintas di bawah kamar Adam tampak terkejut, pasalnya tak pernah mereka mendengar Adam tertawa selepas itu. Malah Adam terkesan lebih galak dan misterius.
Pihu hendak pergi ke kampus bersama Aisyah, namun ketika mereka melewati rumah Abah secara tak sengaja mereka mendengar obrolan kedua karib yang tengah asyik mengobrol pagi itu, Pihu hanya menatap keatas dengan heran, ketika gendang telinganya tak sengaja menangkap namanya seperti di sebut.
Seperti suara Adam, namun ia tak ingin terlalu berharap. Ia hanya menganggap itu sebagai angin lalu kemudian segera beranjak menjauhi kamar itu, dia tau semakin hatinya berharap maka sesuatu yang menyakitkan akan terus menerus menghujam hati rapuhnya.
Ia menundukkan kepalanya dalam ketika melewati halaman rumah besar dengan cat putih itu, takut-takut jika ada keluarga Abah yang melihatnya karena akan tampak sangat tidak sopan jika ia lewat begitu saja. Dengan tergesa mereka melewati halaman kemudian berlalu menuju jalanan kecil yang tampak sejuk, dari atas sana Adam dan Rafli menatap mereka dengan serius.
"Mbak Pihu itu wanita yang sangan anggun dan santun Dam, beruntung sekali kalo sampean dapat segera memperistrinya." Menatap lurus kumpulan awan yang tengah beriringan, pemandangan pagi hari di balkon kamar Adam memang sangat menyejukkan mata. Tak heran jika Adam begitu betah berduduk santai disana.
Seulas senyum terukir di bibir indah Adam, matanya dengan lamat menatap punggung Pihu hingga tak nampak lagi. Hilang di belokan.
"Saya tak sabar untuk segera mengkhitbahnya Gus, tapi apa Pihu akan menyukai saya?" Ucapnya tidak percaya diri.
"Dam, Dam ... Lucu sampean ini. Perempuan mana yang bakal nolak, kalo modelan begini yang melamar mereka," balasnya sembari menunjuk ujung kaki hingga kepala Adam yang tampak bak model dengan wajah tampan dan badan yang atletis itu.
Jika saja Adam terlahir bukan sebagai keturunan Kyai mungkin dirinya sekarang akan menjadi tentara atau pramugara dengan kelebihannya itu. Rafli hanya menggeleng heran sembari tersenyum kecil, bisa juga ternyata Adam yang tampak angkuh itu merasa tidak percaya diri ketika ingin melamar gadis pujaannya. Cinta memang ajaib, bisa merubah apa saja, contohnya melelehkan hati es milik Adam dengan mudah.
"Udah jam segini, saya harus ke bandara sekarang Dam. Takut telat soalnya, jadwal pesawat saya jam sembilan," ucap Gus Rafli ketika menatap arloji yang terpasang di tangan kirinya.
"Yaudah saya anter saja Gus biar gak telat."
"Gausah Dam saya takut ngerepotin sampean, wes pake Grab saja."
"Nggak la Gus repotin apanya, wes saya anter biar cepet," ucap Adam cepat sembari bergegas mengambil kunci, mobilnya tampak baru saja selesai di cuci oleh beberapa santri di halaman sana.
____
Mobil itu melaju kencang, membelah keramaian lalu lintas yang masih begitu ramai. Alunan sholawat terdengar merdu di telinga ketika radio itu baru saja Adam nyalakan, tepat setelah mengantar kepulangan Gus Rafli ke bandara Adam langsung pamit karena jadwal mengaji di pondok satu jam lagi akan dimulai.
Ia mengemudi sedikit terburu, baru pukul dua siang. Perjalanan menuju bandara memang terbilang cukup lumayan jauh dari rumahnya. Panas terik begitu terasa ketika Adam tengah mengemudi hingga ia harus membuka jendela mobil itu lebar-lebar.
Mata Adam membulat ketika manik hitamnya menangkap sesosok perempuan yang begitu ia kenali, Pihu. Ia tengah menunggu di pinggir jalan berdua dengan sahabatnya Aisyah, tampaknya mereka baru pulang kuliah.
Adam memperlambat laju mobilnya sedari jauh, jantungnya mendadak berdetak kencang lagi kali ini. Untuk kesekian kalinya dia akan berpapasan dengan Pihu dalam radius sedekat ini, ah rasanya ia tak sanggup, lebih baik berpura-pura tak melihat saja. Namun hati kecilnya tak setuju, fikirannya menerawang pada apa yang barusan Gus Rafli sampaikan.
Ucapan itu terngiang-ngiang di kepala hingga Adam meminggirkan mobilnya sejenak, dia ingin berfikir jernih.
Haruskah ia tetap menjadi pengecut atau mengikuti ucapan Gus Rafli dengan langsung menyampaikan perasaannya dan mengikuti segala keinginan hatinya?
Ia menatap kosong pada setir mobilnya, memutar kunci kemudian menginjak pelan pedal gas hingga mobil itu kini berhenti tepat di hadapan Pihu dan Aisyah yang tampak sedang terkejut dalam posisi duduknya di sebuah kursi panjang. Mereka berdua refleks berdiri ketika menyadari Adam lah yang berada dalam mobil itu.
"Assalamualaikum Mas," ucap mereka sopan dengan menundukan kepalanya dalam-dalam.
"Waalaikumussalam, dari mana Mbak kok belum pulang ke asrama??" Tanyanya datar dengan tatapan yang sulit diartikan. Antara gugup dan entahlah, karena untuk pertama kalinya, Adam berbincang langsung dengan Pihu seperti ini.
"Anu Mas, kita baru saja pulang dari kampus. Ini lagi nunggu bis Mas," ucap Aisyah kemudian karena melihat Pihu yang hanya diam menunduk, lengannya menyikut lengan Pihu sengaja.
"Iii iyaa Mas, ini mau pulang sebentar lagi. Tinggal nunggu bisnya saja," ucap Pihu gugup, suaranya sedikit bergetar. Serasa mimpi dia bisa berbincang seperti ini dengan Adam, perasaan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam malah semakin menjadi begitu sosok malaikat itu berada di hadapannya langsung. Sungguh kaki Pihu terasa lemas kini.
"Saya juga mau pulang, kalo Mbak-mbak berkenan lebih baik pulang bersama saja. Takut hari keburu sore, bukannya sebentar lagi jadwal ngaji?"
"Anu Mas, kita nggak enak. Rasanya nggak sopan kalo satu mobil sama Mas," ucap Pihu sembari mengangguk sopan.
Adam hanya tersenyum, kemudian diluar dugaan dirinya berinisiatif untuk membuka pintu mobil itu agar mereka tidak merasa canggung. Ia keluar, membuka pintu lalu mempersilakan mereka berdua untuk duduk. Aisyah sudah masuk dan langsung duduk dengan nyaman karena memang dirinya sudah lelah menunggu bis yang tak kunjung datang.
Sedang Pihu masih mematung, netranya tak lepas mengamati Adam yang kini sedang membukakan pintu seraya tersenyum, tampak lain. Pertama kali ia melihat Adam yang tersenyum, sungguh begitu tampan! Mata yang sedari tadi ia tundukkan itu tidak mampu menahan rasa penasarannya, dan ia tidak salah. Senyuman itu membunuh kepercayaan dirinya, lagi. Bagaimana bisa ia berpaling dari makhluk Allah satu ini? Allah maafkan.
"Mbak?" Suara Adam menyadarkan Pihu, ia segera tertunduk malu kemudian mengikuti Aisyah duduk.
Mobil itu segera meluncur, suasananya terasa hening nan canggung. Hanya alunan lembut sholawat yang menjadi satu-satunya memecah kecanggungan mereka, hingga Adam akhirnya membuka suara.
"Mbak Pihu?"
"Iya Mas, saya?"
"Nasi gorengnya enak semalem?"
DEG!
"Eh anu... Maaf Mas?" Ucap Pihu mengulang kalimatnya gugup, takut ia salah dengar.
Adam hanya tersenyum kecil ketika wajah polos itu tampak bingung, ia menatap gemas wajah Pihu dari spion depan yang secara tak sengaja mata mereka beradu pandang disana. Hening. Hanya Aisyah yang tampak memelotot kaget, wajahnya begitu histeris. Namun tak seperti biasanya ia akan berteriak, kali ini dia hanya diam terpaku,menatap Pihu yang masih tampak lugu.
____