Deru mesin mobil terdengar berhenti di parkiran rumah besar itu, seorang pria paruh baya dengan jubah putih lengkap dengan sorban yang melilit kepalanya tampak baru saja turun dari dalam mobil fortuner itu. Di susul oleh seorang wanita paruh baya yang juga masih mengenakan pakaian serba putih dari atas hingga bawah.
Begitupun Raihan yang duduk di kursi kemudi lekas turun menyusul kedua orang tuanya itu, Ratih hanya mengekori sembari mengangkat beberapa tas yang cukup besar dari dalam bagasi dibantu Adiknya, Raihan.
Para santri seketika berkumpul di depan rumah besar itu dengan antusias, ingin segera menyalami guru yang sudah seperti orang tua mereka sendiri, berharap mengalap barokah dari keduanya lebih-lebih mereka baru saja pulang dari tanah suci Makkah Al-Mukarramah.
Enam ratus santri bukanlah sedikit, membuat pelataran yang cukup luas itu terasa sesak seketika. Adam yang tak ikut menjemput kepulangan kedua orang tuanya karena merasa tak enak badan langsung turun begitu mendengar kegaduhan dibawah.
Benar saja, ratusan santri sudah berbaris menunggu giliran untuk menyalami Abah dan Uminya. Dengan bersemangat ia berjalan menghampiri kedua orangtuanya dengan tersenyum sumringah, ia begitu merindukan sosok mereka setelah cukup lama mereka di tanah suci.
"Bah," ucapnya seraya menyalami tangan Abahnya takdzim yang di sambut pelukan hangat oleh sang empunya. Kemudian beralih menyalami tangan Uminya dengan takdzim.
Setelah Adam menyalami kedua orangtuanya, kini giliran para santri yang tampak berebut tangan Abah dan Uminya satu persatu. Ia hanya menatap Pihu sebentar yang kini tengah berada di tengah kerumunan itu dengan Aisyah.
Mata mereka beradu, seakan sesuatu yang Adam pikirkan juga sedang berkecamuk di benak Pihu. Pihu hanya tersenyum hangat menatap Adam yang masih menatapnya dalam, kemudian menyalami kedua gurunya itu setelah kerumunan santri tampak mulai berkurang.
Adam terkesiap ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang, Raihan tengah tersenyum hangat di belakangnya sembari mengarahkan ujung matanya kedalam seolah memberi isyarat pada Adam untuk segera masuk, karena sebentar lagi para tamu dan kerabat mereka pasti akan segera berkumpul.
Sudah menjadi tradisi jika seseorang baru pulang dari tanah suci para sanak saudara pasti akan datang dan bersilaturahmi, disamping menanyai kabar juga sembari berburu cerita dari mereka yang baru saja berziarah ke makom Baginda.
Adam hanya menurut, mengekori Masnya itu kedalam rumah, sebelum benar-benar masuk ia membalikkan tubuhnya. Matanya menatap Pihu sekali lagi rasanya tak cukup jika hanya melihat gadis cantik itu sebentar, kemudian mengekori Raihan yang sudah terlihat menyiapkan beberapa makanan didalam bersama para santri.
"Kita akan segera bersama," gumamnya pelan sembari tersenyum penuh semangat membenarkan pecinya yang terasa sedikit kurang nyaman.
____
Malam semakin kelam, namun riuh masih terdengar ramai di telinga. Memang malam ini Al-Hikmah sedang mengadakan acara syukuran atas kedatangan Abah dan Umi, hanya acara kecil-kecilan memang. Yakni makan bersama antar para santri dan para sanak saudara dari keluarga ndalem sendiri.
Setelah acara selesai, para keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga yang cukup besar sembari berbincang hangat ditemani beberapa kue yang memang sudah Ratih siapkan jauh-jauh hari. Sedangkan disana, para santri tampak Asyik menikmati api unggun yang sengaja mereka nyalakan untuk menerangi pelataran Al-Hikmah yang sedang penuh dengan manusia.
Tak heran jika hanya acara kecil saja begitu banyak tamu yang meluangkan waktunya untuk menghadiri acara ini, mengingat Abah yang cukup tersohor baik di kalangan Kyai maupun kalangan pemerintah karena jasa-jasanya.
Mobil-mobil terparkir berjejer di halaman, beberapa santri tampak sedang beronda di sebelahnya guna menjaga keamanan dan kenyamanan para tamu. Disana terselip juga Adam yang sedang asyik berbincang dengan beberapa santri yang terbilang dekat dengannya.
Yang seharusnya dia menemani para tamu didalam, dia lebih memilih menikmati suasana malam diluar sembari memperhatikan gadis pujaannya yang kini tengah menghafal disana.
Jarak yang yerpaut cukup jauh tak menyurutkan semangatnya untuk mengusir rindu yang selalu mendera, di tatapnya wajah cantik berbalut jilbab coklat kesukaan Pihu, semakin menambah anggun pesona gadis itu ketika cahaya api unggun menyinari wajahnya.
Adam semakin dibuat takjub ketika Pihu kembali menatapnya dengan tatapan penuh arti, dia tersenyum! Oh gadis itu membuat seluruh tubuh adam terasa lemas hanya dengan senyum kecilnya. Pihu tampak terkekeh di sebrang sana melihat reaksi Adam yang seperti itu, dia kembali sibuk dengan Al-Qur'an yang selalu setia menemaninya.
Adam benar-benar frustasi melihat Pihu yang seolah mempermainkan perasaannya itu, dia merasa gila oleh Pihu yang terlalu menawan dibawah sinar bulan dan api unggun? Akhh!!!
"Ffh!"
Adam mendengus kesal melihat Pihu yang masih tersenyum jahil menatapnya, jika saja mereka sudah menikah saat ini pasti Adam sudah menghukumnya atas senyuman itu.
"Dam!"
Seseorang tiba-tiba menyerukan namanya dari dalam sana, membuat dia menolehkan wajahnya dengan malas.
"Iya Mbak?"
"Sini masuk, kamu di cariin Ustad Fadil! Diluar mulu, pasti lagi liatin Pihu!?"
"Ssttt! Mbak berisik, iya Adam kesana!" Gertaknya kesal karena Mbaknya itu malah dengan entengnya menyebut Pihu didepan para santri itu. Tentu saja mereka pasti diam-diam tengah menertawainya kini.
Pihu hanya menggeleng kemudian mengode agar Adam segera masuk kedalam sebelum Ustadzah Ratih mengomelinya. Dia sudah tahu jika Ustadzah Ratih yang selama ini membantu Adam agar bisa mendekatinya, Adam juga memberi tahunya jika foto yang pernah ia temukan di halaman adalah miliknya atas pemberian Mbak Ratih semasa ia di Kairo dulu.
Adam hanya menyengir, kemudian melambaikan tangannya kecil yang hanya di perhatikan oleh Pihu tanpa orang lain menyadarinya. Pihu tersenyum geli melihat Adam yang seperti anak kecil itu, kemudian memelototinya agar lekas masuk.
Adam kemudian masuk setelah Pihu membulatkan matanya, ternyata Adam takut juga jika Pihu berpura-pura galak seperti itu. Ia hanya terkekeh pelan melihat wajah Adam yang meringis takut.
"Rasanya begitu aneh, kemarin kita masih asing. Tapi entah mengapa sekarang Aku seakan telah mengenalmu begitu lama," gumamnya dalam hati, matanya menatap langit hitam yang dipenuhi ribuan kerlip bintang diatas sana.
Percikan dari api unggun yang mereka buat tampak mengepul keudara, sukses membuat langit malam dipenuhi benda-benda kecil merah berterbangan yang sekilas seperti kembang api. Indah sekali jika dipadukan dengan perasaannya saat ini.
Pihu tersenyum kecil, menatap cincin yang sudah beberapa hari menghiasi jari manisnya.
"Semoga langkah mu untuk menujuku di permudah Mas, Aku akan dengan senang hati membersamaimu" ungkapnya bermonolog dalam hati, bibirnya tersungging keatas menikmati semilir angin yang mulai terasa dingin menerpa wajahnya.
____
"Bah, Adam ingin membicarakan sesuatu," ungkapnya sopan ketika Abahnya baru saja memasuki ruang tamu dengan segelas kopi yang Ratih bawa di tangannya.
"Abah sudah tahu semuanya dari Masmu Dam," ungkap Abah sembari terkekeh pelan melihat wajah Adam yang menatapnya serius.
Adam dan Ratih hanya saling bertukar pandang heran ketika Abah mengucapkan hal itu, tentu saja mereka terkejut bukan main. Bagaimana bisa Abah tahu? dan Raihan mengetahui rencana mereka? sedang mereka berdua tak pernah memberi tahunya?
Aneh. Itu fikir mereka saat ini, namun saat Adam hendak membuka mulutnya untuk bertanya seorang santri tiba-tiba masuk sembari mengucapkan salam. Adam terpaksa menyimpan kembali kata-katanya dengan penuh tanda tanya.
Sedangkan Ratih hanya melempar tatapan ragu, hatinya berkata ada sesuatu yang salah. Namun ia hanya bisa diam karena akan tidak sopan jika ia memotong perbincangan Abah dengan tamu yang baru saja duduk di sofa merah itu.
"Dam, Mbak rasa ada sesuatu yang salah. Gimana mungkin Ihan tau kalo kamu mau ... ? Ucapnya setelah menyeret lengan Adam ke dapur.
"Sudahlah Mbak, mungkin Mas Ihan denger percakapan kita dan langsung bilang ke Abah," balasnya seraya tersenyum penuh arti, Adam terlalu naif hingga harapan membuat dirinya begitu percaya diri.
"Tapi Dam, Mbak ngerasa ada sesuatu yang salah."
"Udah mending Mbak masak sekarang, nanti Adam panggil Pihu buat bantu Mbak didapur. Kan siang Mas Jamil mau pulang dari yaman?" ucapnya seraya mendorong Mbaknya itu masuk kedalam dapur yang cukup luas itu.
"Iya," jawabnya singkat. Memang betul suaminya itu siang ini akan segera pulang setelah menyelesaikan tugasnya berdakwah dan mengajar disana.
"Yasudah Adam Panggil Pihu sebentar ya." Sembari melenggang pergi dengan senyuman penuh semangat di wajahnya. Ia sangat tak sabar menanti dimana Abah akan meminang Pihu untuk segera ia peristri.
____