**Flashback Chacha Part 2**
Pagi itu adalah pagi yang ke-245. Berarti sudah 8 bulan lebih Chacha tinggal di pesantren milik Abah Ucup, Kiai Mahsyur di Pangalengan itu.
Cuaca sejuk yang dikelilingi berbagai macam jenis tanaman di perkebunan itu membuat kondisi psikis Chacha mulai terlihat sangat tenang, Fikirannya menjadi jauh lebih jernih.
Metode pengobatan Abah Ucup sebenarnya sederhana, Lebih ke pengobatan hati. Hari-hari Chacha selama berada di pesantren itu dipenuhi dengan kegiatan mengaji, puasa rutin dan kajian-kajian keagamaan. Setiap hari Chacha selalu mengikuti semua kegiatan di Pesantrennya itu.
Seiring waktu berjalan, jiwanya mulai menemukan lagi rasa nyaman dan aman dalam hatinya. Tidak ada lagi ketakutan yang menghantuinya. Walaupun sekarang Chacha menjadi pribadi yang lebih pendiam, tetapi setidaknya jiwanya sudah kembali. Tatapan matanya tak lagi kosong, ada secercah harapan di sorot matanya yang indah itu.
Hari ini adalah hari terakhir dia di pesantren, kondisinya sudah membaik, saatnya kembali menghadapi dunia. Pamannya sudah membicarakan semuanya, Chacha akan tinggal dengan paman dan bibinya di Bandung. Melanjutkan lagi kuliahnya disana.
"Neng, sebentar lagi pamanmu akan menjemput, ingat ya! Jangan lupakan shalat lima waktu dan puasa rutin ya neng. Serahkan semuanya kepada Allah SWT. Kita hidup di dunia ini hanyalah untuk mencari ridho Illahi. Ingat Allah, Ingat Allah, Ingat Allah."
Abah Ucup menghampiri dan memberi wejangannya yang terakhir. Mata Abah yang sejuk dan lembut itu selalu membuat Jiwa Chacha menemui lagi ketenangan.
"Muhun Abah, hatur nuhun. Hapunten neng tos ngarepotkeun Abah sareng santri-santri nu sanesna salami neng di dieu, neng nyungkeun pido'na nya Abah."
*Translet*
"Iya Abah, terima kasih. Maafkan neng sudah merepotkan Abah dan Santri-santri yang lainnya selama neng disini. Neng minta do'anya ya Abah."
Chacha Mencium tangan Abah Ucup berkali-kali dengan khidmat. Matanya tidak terasa sudah meleleh, tetapi kali ini bukan air mata kesedihan dan nestapa, tetapi rasa haru yang menyelimuti hatinya. Mungkin karena perasaan harunya itu Chacha bisa bicara sebanyak itu. Biasanya, dari pertama dia tinggal di Pesantren itu, dia hampir tak banyak bicara.
Tak lama kemudian, darinkejauhan nampak lelaki separuh baya menghampiri mereka. Langkahnya tegap dengan kemeja kotak-kotak dan celana panjang warna abu-abu.
"Kamu udah siap Cha? Tanya lelaki itu menyapa Icha dan lalu mencium tangan Abah Ucup.
"Sudah paman."
Chacha tersenyum dan mencium tangan pamannya itu seraya engangguk pelan.
"Abah, hatur nuhun tos kersa Katitipan neng Chacha, mugia Abah sakulawargi sararehat, ditangtayungan ku Gusti Allah SWT. Insya Allah Abdi sapertos biasa rutin dongkap kadieu ningal Abah nyak Bah."
*Translet*
Abah, Terima kasih sudah mau ketitipan neng Chacha. Mudah-mudahan Abah sekeluarga sehat terus, selalu dalam lindungan Allah SWT. Insya Allah saya seperti biasa akan rutin datang kesini menengok Abah ya."
Lalu paman Chacha izin pamit ke Abah Ucup untuk membawa pulang keponakannya itu. Paman dari dulu memang sering berkunjung ke pesantrennya Abah Ucup, dan menjadi donatur tetap untuk pesantrennya itu.
Di perjalanan pulang ke rumah pamannya di Buah Batu Bandung, Chacha berterima kasih kepada pamannya. Selama di pesantren, Chacha belum mengucapkan terima kasihnya.
"Paman, terima kasih sudah membawa Chacha ke pesantren Abah Ucup ya, kalau paman tidak membawaku kesana, entah bagaimana nasib Chacha sekarang."
Kata Chacha sambil berlinangan air mata. Terbayang lagi pernikahannya dengan lelaki tua itu, bagaimana rasanya kehilangan hak atas tubuhnya sendiri. Bagaimana hancurnya hati dan jiwanya saat itu.
Chacha nampak menangis sesegukan seperti anak kecil yang di tinggal mati ibu bapaknya.
Paman membelai lembut kepala Chacha, lalu berkata.
"Kamu harus sabar ya nak, banyak-banyaklah berdo'a, selalu ingat Allah. Lalu biarkan do'a yang bertarung di atas langit."
Mendengar perkataan pamannya itu, seketika Chacha teringat perkataan Beni, dulu Beni pernah mengatakan hal seperti itu kepadanya.
Chacha nampak membuang nafasnya yang tiba-tiba sesak. Rasa sesal, rindu yang mendalam dan perasaan bersalah menjadi satu.
"Maafkan aku Aa Beni sayang, bagaimana kabarmu sekarang?" Ucap Chacha dalam hatinya pilu.
"Oh iya, mengenai kukiahmu, Besok pagi paman antar kamu ke UNIKOM untuk mengurus segala sesuatunya. Kamu harus siap memulai lagi hidupmu Cha, perjalanan masih panjang, kuliah yang rajin. Biar nanti segera dapat kerja, dan kalau nanti sudah kerja, ingat kerja yang jujur! Angkat lagi derajat keluargamu." Ucap paman.
Panjang lebar Pamannya menasehati dirinya, Chacha nampak menggangguk pelan. Meresapi semua perkataan pamannya itu.
"Baiklah, Bismillah. Semangat cha!" Ucap Chacha dalam hati, menyemangati dirinya sendiri.
___________________________________
Keesokan harinya, Chacha dan pamannya sudah berada di kampus untuk mengurus segala sesuatunya. Chacha mengambil jurusan Teknik Informatika, karena Jurusannya berbeda dengan jurusan di kampus lamanya, ia tidak bisa meminta mutasi nilai mata kuliah dari kampus lamanya itu.
"Tidak apalah, aku hanya harus mengulanginya lagi, seperti halnya hidupku sekarang, aku akan memulainya lagi dari nol".
Chacha membukatkan tekadnya untuk semangat menyelesaikan kuliah dengan cepat dan segera mencari pekerjaan yang layak agar bisa mengangkat derajat orang tuanya.
Dan yang oaling penting adalah, ia akan memastikan, tidak akan pernah ada lagi orang yang bisa seenaknya membeli hak atas tubuh dan hidupnya.
Dari awal masa penyembuhannya di pesantren Abah Ucup sampai kondisi kejiwaannya berangsur-angsur pulih, lalu pindah ke rumah pamannya di Buah Batu, tidak terasa sudah hampir satu tahun Chacha meninggalkan kampung halamannya.
Pamannya sengaja membawa Chacha meninggalkan kampung halamannya. Pamannya khawatir, jika Chacha masih tinggal disana, kondisi kejiwaan Chacha akan kembali kambuh dan semakin memburuk.
Hari-hari selanjutnya, Chacha menjalani kehidupannya biasa saja. Tidak Seperti teman-temannya yang lain, Chacha tidak pernah ikut hangout, nongkrong di cafe, apalagi ke tempat hiburan malam. Ia hanya fokus kuliah, kuliah dan kuliah.
Kecuali jika ada penawaran job pemotretan untuk menjadi model suatu produk, Chacha bersedia pergi keluar. selain itu ia hanya kuliah dan menjadi anak rumahan.
Fee yang didapatnya dari job pemotretan itu dapat membantu meringankan pengeluaran pamannya.
Kebetulan di kampusnya ada satu orang temannya yang mengenal Chacha dari dulu, dia pindahan dari kampusnya yang lama juga. Dialah yang gencar mempromosikan dirinya dengan memperlihatkan portfolio photo-photo Chacha yang dulu, hamoir semuanya adalah karya fotografi hasil karya Beni.
Bagaimana dengan cowok?
Hmm, yang mendekatinya banyak, lelaki mana yang tidak tertarik sama Chacha? Perempuan cantik dengan bibir yang tipis dan hidung mancung itu mempunyai postur tubuh yang cukup tinggi, padat berisi serta berkulit putih mulus menggoda. Memang sangat cocok untuk jadi model Fashion.
Tapi tidak ada sedikitpun dalam fikiran Chacha untuk memulai hubungan percintaan dengan lelaki manapun, yang masih tersimpan di dalam hatinya hanyalah satu nama, Beni Euharjo.
"Aa Beni, aku sangat rindu, maafkanlah aku a Ben."
Chacha berbisik lirih dalam hatinya, dia hanya bisa mendoakan semoga Beni bahagia, dan menemukan perempuan yang lebih baik darinya.
**Flashback Off**