Chereads / Tiga Cinta Sama Sisi / Chapter 8 - Bab 8 - Ibu yang tidak punya hati

Chapter 8 - Bab 8 - Ibu yang tidak punya hati

Pagi Hari.

Waktu menunjukan pukul enam pagi, Beni sudah terbangun. Memang kebiasaannya selalu bangun lebih awal walaupun ia hanya sempat tidur hanya beberapa jam saja.

Dilihatnya Chacha masih tidur disampingnya. Kecantikannya nampak begitu natural tanpa riasan apapun, bibir yang kecil dengan bentuk indah itu membuat Beni selalu bergairah. Dengan lembut, Beni membelai puncak kepalanya lalu mengecup kening Chacha dengan penuh perasaan.

"Selamat pagi sayang." Ucap Beni setengah berbisik.

Perlahan Beni bangkit dari tempat tidurnya lalu melangkah ke kamar mandi. Hari ini dia harus menyelesaikan segala sesuatunya sebelum kepulangannya ke Bandung.

Dengan rambut yang masih sedikit basah, Beni sudah bersiap untuk pergi. Chacha ternyata sudah bangun. Wajahnya tersenyum segar sembari membereskan ruangan kamarnya, Chacha menyapa Beni.

"Heyy ganteng! sudah rapih mau kemana? tidak akan morning kiss dulu nih?" Ucap Chacha mulai berani menggombal.

"Aahh Siyaaaaapp! Kamu itu memang selalu membuatku sangat bergairah sayang! Cuuup! Cuuupp! Cuupp!"

Diciuminya bibir kecil dan sexy itu beberapa kali. Jika tidak ada urusan yang harus dia selesaikan, Ingin rasanya bergumul lagi seharian bersamanya.

"Aku pergi dulu ya, mau aku beliin sarapan dulu buat kamu? Tanya Beni.

"Gak usah, biar nanti saja aku ke depan sekalian beli detergen, cucianku banyak sekali." kata Chacha tersenyum menatap Beni dengan manja.

"Ya sudah kalo begitu aku pergi dulu ya sayang. Oh iya, ini pegang dulu buat beli beberapa keperluanmu ya." Beni mengeluarkan isi dompetnya lalu menyerahkan beberapa lembar uang berwarna merah. Sudah seperti pasangan suami istri saja.

"Eh jangan sayang, aku masih pegang uang kok. Kasian kamu baru kena musibah. Kamu lebih membutuhkannya." Kata Chacha berusaha menolak pemberian Beni

"Udah ambil aja," Kata Beni sembari menyelipkannya beberapa lembar uang ke dalam saku depan bajunya. lalu satu buah kecupan mendarat lagi kening Chacha dengan sangat lama.

"Mmmuuuuuaaaaachhhh" lengan Beni melingkar kearah belakang pinggul Chacha yang ramping itu. Nampak kaki Chacha berjingjit dengan kepala yang sedikit ia dongakan keatas mengimbangi tinggi badan Beni.

Rupanya, kecupan dikening tidak cukup untuk memenuhi hasrat mereka pagi ini, pandangan mata nampak saling mengunci sesaat sebelum mereka sama-sama mendesak maju merapatkan tubuh.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, lembut bibir mereka akhirnya saling berpagut disertai gigitan dan hisapan kecil yang memabukan bagai candu. Chacha mulai pintar mengimbangi permainan lidah Beni yang gencar menguras salivanya. Nafas mereka mulai terdengar terengah, menahan gejolak didada yang meledak-ledak.

"Hhufpphh Cha," Beni melepaskan kaitan bibir di bibir Chacha yang basah berwarna merah muda itu, dengan nafas yang mulai tersenggal, Beni berusaha menahan ledakan libidonya yang mulai memuncak.

Jika saja tidak ada urusan yang harus ia selesaikan, sepertinya pagi ini akan menjadi pagi yang panjang.

"Aku harus membereskan segala sesuatu, setelah itu kita bisa kembali menikmati hari-hari bersama, kamu tidak apa aku tinggal sebentar?" Ucap Beni sembari mengusap puncak kepala Chacha dipelukannya.

"Iya sayang, tidak apa. Aku mau nyuci baju hehe, cucianku sudah menumpuk." Kata Chacha, jemarinya membenarkan lipatan kerah Beni yang agak sorong kekiri itu. Pipinya memerah, merasakan gelora hebat didalam dirinya.

Layaknya seorang istri yang baik, Chacha mengantar Beni sampai depan kamar dan mencoum punggung tanggan lelaki yang telah menjadi kekasih hatinya itu.

"Hati-hati dijalannya ya sayang" Ucap Chacha sembari melayangkan senyumnya yang paling indah.

"Iya sayang"

Baru saja Beni mengeluarkan sepeda motornya, ia melihat seorang ibu-ibu yang tergesa-gesa melangkahkan kakinya memasuki ke pekarangan kostan, lalu dengan suara yang lantang memanggil Chacha.

"Chaaaa!" Teriak perempuan setengah baya itu.

Mendengar suara yang dikenalinya itu, buru-buru Chacha berjalan keluar menghampiri suara itu.

"Eehh ibu!"

Ekspresi wajah Chacha berubah saat melihat Ibunya tiba-tiba datang ke kostannya tanpa memberitahukannya terlebih dahulu. Biasanya kalau mau menjenguknya, Beliau selalu mengabarinya terlebih dahulu.

Sebenarnya rumah ibunya hanya berjarak 35km-an kurang lebih. Tepatnya di Kabupaten, Alasan Chacha ngekost, karena dia kuliah di kota. Jika harus pulang pergi ke rumahnya yang di kabupaten itu tentu akan menghabiskan waktu di perjalanan.

Tanpa basa-basi ibu itu langsung menghardik Chacha yang sudah dihadapannya.

"Ada yang laporan sama Ibu, kamu semalaman jalan sama cowok, dan berani-beraninya masuk ke kostan ini, benar? siapa dia hah? Ingat ya! kamu itu sudah ibu jodohkan sama Pak Burhan! Apa kamu mau menghancurkan keluarga kita? Dasar anak yang tak tahu diri! bikin malu saja!"

Ibunya Chacha melontarkan kata-kata kasar itu seolah tanpa filter, Chacha hanya bisa diam tertunduk seraya berusaha menahan tangis.

"Ta-tapii bu!"

Chacha berusaha menyanggah perkataan Ibunya. Walaupun semua yang dituduhkannya itu benar, hati kecilnya seringkali berbisik agar berani melakukan pemberontakan, ia ingin dapat memilih jalan hidupnya sendiri.

Ini adalah hidupnya, tubuhnya bukanlah property milik siapapun, termasuk kedua orang tuanya!

Tetapi, setiap kali ia hendak menolak semua keinginan orang tuanya, ia selalu teringat nasib kedua adiknya yang masih kecil-kecil. ia tidak mau melihat adik-adiknya itu mengalami penderitaaan. Jika kasus hutang-piutang orang tuanya sampai panjang dan berujung di meja hijau serta terali besi, maka hancurlah sudah keluarganya.

Beni mengurungkan niatnya untuk berangkat mengurus segala sesuatu akibat musibah kebakaran yang menimpa studionya itu, ia diam-diam menguping dari luar.

Sakit terasa didalam hatinya, semua perkataan Ibunya Chacha itu sungguh mengonyak perasaannya. Semua sikap Ibunya Chacha itu sama sekali tidak mencerminkan orang tua, tidak patut dicontoh.

"Dasar orang tua yang tidak punya hati!" Ucap Beni menggeram dalam hati.

"Aku harus berbicara sama ibunya"

Beni berbisik pelan dalam hati, lalu perlahan memberanikan diri menghampiri ibunya Chacha yang telah gelap mata hatinya itu.

"Assalamualaikum bu."

Beni menghampiri mereka lalu menyodorkan tangan nya agar bisa mencium tangan ibunya Chacha sebagai bentuk hormat kepada orang tua.

Ibunya Chacha menatap kearah Beni dengan tatapan yang dipenuhi rasa curiga

"Siapa lelaki ini?"

Gumannya dalam hati. Sejenak nampak Ibu itu tertegun, sedikit enggan. Setelah beberapa saat, Ibunya Chacha akhirnya mau menyalami Beni walau dengan ragu.

"Perkenalkan, nama saya Beni bu, Saya pacarnya Chacha." Kata Beni sembari menganggukan kepalanya sopan.

"Apaaa?"

Mendengar Beni yang berani terang-terangan seperti itu, Ibunya Chacha nampak kaget sekali. Raut wajahnya seketika berubah bengis. Sampai melupakan bahwa ia belum sempat menjawab salam dari Beni.

"Berani sekali kamu! Anak Ibu sudah Ibu jodohkan dengan Pak Burhan! Tidak boleh! Tidak bisa!"

Terdengar suara yang menggelegar dari Ibunya Chacha, raut wajahnya menegang. Teriakannya itu membuat Beni dan Chacha terlihat gemetar ketakutan mendengar umpatan kasar Ibunya itu.

Beni terdiam, mengumpulkan kembali keberaniannya.

"Ibu maaf, tolong dengar saya dulu sebentar."

Ucap Beni memohon kepada Ibu itu agar dia dapat menyampaikan beberapa kata.

"Saya benar-benar serius mencintai anak ibu, pun begitu dengan Chacha, kami saling mencintai, maka dari itu saya mohon izin kepada Ibu, saya akan membawa keluarga saya dari Bandung untuk segera melamar Chacha. Izinkan saya menikahinya." Kata Beni dengan nada memelas.

"Tidaak! Ibu tidak akan mengizinkan kalian menikah! Dengar ya! Chacha akan segera menikah dengan lelaki pilihan Ibu! Sudah pergi sana! jangan ganggu lagi anakku!" Jawab Ibu ketus.

Ibunya Chacha tetap pada pendiriannya, tidak mau mengizinkan anaknya menikah dengan Beni, sekeras apapun Beni dan Chacha membujuknya.

Kali ini Chacha tidak dapat lagi menahan tangis. Matanya nampak bengkak, airmata membanjiri sebagian wajahnya yang nampak pucat pasi itu.

"Mohon maaf bu, Chacha itu manusia bukan seperti barang yang Ibu miliki, lalu bisa melakukan apapun atas dirinya dengan sesuka hati, Chacha berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri."

Beni memberanikan diri memberi pengertian kepada Ibunya Chacha. Tampak sekali Ibu itu sudah gelap mata dan hatinya. Ibu sama sekali tidak memperdulikan bagaimana hati anaknya yang hancur berkeping-keping itu.

"Lancang sekali kamu! Ternyata benar apa yang ibu dengar, kamu sungguh memalukan! Ayo! sekarang kamu ikut ibu pulang!"

Ibunya Chacha kembali menghardik keras dan lalu dengan kasar menarik tangan Chacha masuk ke dalam kamar kostannya. Menyuruh Chacha segera ganti baju. Ibu itu sungguh-sungguh akan membawa Chacha pulang ke rumahnya.

Beni tertunduk lemas, hatinya hancur seperti hancurnya usaha fotografi yang sudah dia bangun dengan susah payah selama 7 tahun terakhir ini.

Beni kembali merasa sangat terpukul, studionya hancur tidak membuat dia selemah ini. Dia yakin nanti di Bandung pasti akan menemukan jalan usaha yang lain. Tetapi kehilangan Perempuan yang dicintainya adalah satu hal yang berbeda. Beni sangat mencintainya, dia ingin menghabiskan seluruh hidup dengan nya.

"aaaaaaargghhhhhh!"

Lagi-lagi Beni merasa dunia dan alam semesta sama sekali tidak berlaku adil kepada dirinya.

Beni melangkahkan kakinya dengan lunglai, dihampiri sepeda motornya, nyalakan mesin, lalu melaju dengan kencang.