Beni benar-benar terkejut, wajahnya nampak menegang. Mendengarnya saja hati Beni sudah terasa sakit. Jantungnya seolah ada yang menghancurkannya dengan benda tajam dan berkarat, lalu mengobrak-abriknya dari dalam.
Pedih rasanya membayangkan gadis yang dicintainya itu harus menikah dengan lelaki tua yang sudah beristri. Ah, kenapa situasinya serumit ini?
Beni tertundak dalam diam, berusaha untuk memahami semuanya.
Sungguh kenyataan ini terasa sulit diterima akal sehatnya, jiwanya terpuruk dalam keputusasaan. Tidak menyangka akan menemukan kenyataan yang sepahit ini. Semua harus dicernanya justu pada saat dia dan Chacha sudah berhasil menyatukan hati.
Padahal Beni sudah membulatkan tekad, walaupun ia akan segera kembali pulang ke Bandung, Beni yakin dia akan sanggup mempertahankan hubungannya dengan Chacha. Jarak Bandung ke kota kecil ini hanyalah 2 jam perjalanan. Dan jarak bukanlah masalah yang besar baginya.
Pelukan Chacha semakin kencang. Tangisannya terdengar cukup kencang, air matanya membanjiri tubuh yang ia peluknya itu.
"Cha."
Tangan Beni meraih wajah Chacha yang mendadak sendu. Mengangkat dagunya pelan sembari sesekali mengusap air mata di pipinya. Mata Chacha tampak sedikit membengkak akibat terlalu banyak air mata yang mengalir deras dari pelupuk matanya.
Fikiran Beni benar-benar tidak menentu. Masalah studionya yang kebakaran saja belum tuntas, sekarang tiba-tiba dihadapkan pada situasi yang sangat tidak terduga sekaligus menyeramkan!
Selagi Beni mencoba memikirkan dan mencari solusi yang terbaik untuk semua permasalahannya, tiba-tiba Chacha dengan cepat menempelkan bibirnya ke bibir Beni, seolah tidak ada lagi kata-kata yang bisa dia ucapkan.
Dalam dirinya bergejolak hasrat yang tak terbendung. Dia hanya ingin melampiaskan semua bebannya itu bersama Beni. Mencurahkan seluruh rasa cinta yang sudah tumbuh subur dan membesar sedari dulu.
Beni lelaki normal, mendapatkan serangan semacam itu, Beni membalasnya dengan penuh rasa cinta yang menggelora didalam dada. Pertahanannya pun mulai goyah.
Dari dulu, setiap Beni melihat Chaha, selalu saja terlintas fikiran-fikiran lelaki normal. Apalagi saat melihat icha berpose dengan pakaian seksi, melihat belahan dadanya yang bulat, putih dan menonjol, membuat Beni seringkali menahan nafas dan menelan air liurnya sendiri.
Tetapi saat itu adalah saat dimana Beni harus menunjukan ke profesionalitasan kerjanya, Beni tak pernah macam-macam.
Kini, gayung bersambut, Beni akhirnya mengetahui bahwa Chacha menaruh hati dan mencintainya juga.
Perasaan mereka semakin dalam, bahkan disaat mengetahui kenyataan tentang perjodohan Chacha dan lelaki tua itu, tidak membuat Beni menyurutkan langkah, apalagi berniat pergi meningalkannya.
Kenyataan pahit itu membuat Beni semakin mencintai gadis ini. ya! gadis yang sekarang menciumnya itu, yang saat ini sudah menjadi kekasih hatinya. Beni akan berusaha untuk memperjuangkannya.
Kini, Chacha benar-benar sudah memasrahkan dirinya kepada beni, lelaki yang dia cintai dari dulu.
"Aku mencintaimu aa Beni sayang..."
Bisikan lirih Chacha membuat Beni semakin tidak bisa menahan diri, nafas Beni tersenggal seperti orang yang sedang berlari.
Keduanya berlomba saling mencurahkan perasaan masing-masing. Seolah ingin menyingkirkan beban dunia yang sedang menghantam pundak mereka. Hentakan demi hentakan mengiringi desahan mereka.
Saat puncak itu tiba, Chacha memeluk Beni dengan sangat kuat. Matanya terpejam untuk sesaat, lalu tersenyum. Matanya sayu menatap beni yang sudah lemas di sampingnya.
"Terima kasih sayang, andaikan kita bisa bersatu seperti ini selamanya.. akan aku berikan hati, jiwa dan ragaku untukmu selalu."
Ucap Chacha lirih sembari memeluk Beni yang disampingnya, berulang kali dia kecup dada bidang didepannya itu.
"Aku juga mencintaimu Chacha Sayang, Cup!" Kata Beni sembari mendaratkan kecupan hangat ke keningnya.
Sore itu, dua insan yang sedang di mabuk asmara mencoba untuk saling menguatkan agar tetap bertahan menghadapi dunia yang sedang tidak berpihak kepada mereka, rasa cinta yang mereka pancarkan seolah mengobati segala luka yang menyiksa.
"Kuatkan hatimu sayang, mari kita lawan dunia dengan senyuman, dan biarkan do'a yang bertarung diatas langit."
Bisik Beni ke telinga kekasihnya itu sambil mengecup keningnya lembut.
"Ingin rasanya aku bisa memilikimu seutuhnya sayang, aku tidak tahu bagaimana caranya menghindari perjodohan itu" Isak tangis Chacha mulai terdengar pilu, terasa sangat menyayat hatinya.
"Jika nanti saatnya tiba dan lelaki tua itu mengetahui aku sudah tidak suci lagi, aku berharap dia langsung menceraikan aku! Walaupun itu berarti aku akan disentuh olehnya terlebih dahulu, huhuhuhhuuuhu"
Ucap Chacha, tangisannya semakin menjadi, kedua lengannya melingkar erat ditubuh Beni.
Saat itu mereka masih dalam keadaan polos, hanya ditutupi sebuah selimut, sepertinya mereka masih larut dalam gelora asmara yang menggebu.
Beni mengelus mesra rambut Chacha yang tebal itu, mengusap mata dan pipinya yang sudah mulai basah lagi dibanjiri oleh air matanya.
"Sudah sayang, jangan tumpahkan lagi air matamu, ah, andaikan saja aku sanggup mengeluarkanmu dari masalah ini," Beni terdiam sejenak sembari menarik nafasnya kuat.
"Beritahu aku, apa yang bisa aku lakukan untukmu sayang, aku sungguh menginginkanmu, agar selalu disampingku seperti ini"
Beni berusaha menenangkan hati Chacha yang remuk redam. Beni merasa hatinya teriris, merasakan bagaimana pedihnya hati Chacha jika mengingat tentang perjodohannya itu.
"Tidak ada yang dapat kita lakukan sayang, kita hanya bisa memanfaatkan sisa-sisa waktu yang kita miliki, peluk aku sayang" bisiknya pelan.
"Cupp, cupp!"
Beni mengecup lagi kening Icha dengan sangat lembut. Tak henti-henti nya Bejo membelai rambut dan mengusap air mata icha yang terus saja menetes.
"Sayang, miliki aku untuk hari ini dan besok lusa sampai tiba hari perjodohan itu, aku ingin menghabiskan nya denganmu."
Setelah Icha mengatakan hal itu, dia mulai mencium Beni dengan rakus. Perlahan tapi pasti, dia mulai berani menaikinya, memintanya lagi dan lagi.
Tidak terasa hari sudah menjelang malam, Beni dan Chacha akhirnya selesai juga menyalurkan hasrat mereka, wajah kedua nya tampak kelelahan, diselimuti sinar kepuasan dan aura kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Untuk hari ini, dunia adalah milik mereka. Mereka tidak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi besok ataupun lusa.
"Sayang, aku lapar, cari makan keluar yuk!" Kata Chacha sambil mengenakan pakaiannya lagi satu persatu. Sungguh masih terasa seakan ada sesuatu yang mengganjal di sela-sela pahanya. Sedikit perih, mungkin karena barusan adalah pengalaman pertama baginya. Walau begitu, sama sekali tidak nampak ada penyesalan sedikitpun dalam dirinya.
"Kuyy ah, kita keluar cari makan. Sambil cari angin keliling kota ya sayang, kita belum pernah naik motor boncengan bedua keliling kota kan yaa? hehe." Jawab Beni sembari mengecup kening Chacha dengan gemas. Sekarang, rasanya segala tentang Chacha sudah menjadi candu yang memabukan baginya.
"lets gooooww boss!"
Jawab Chacha dengan senyum yang sumringah.
Suasana malam di kota kecil itu begitu tenang, angin malam menyapu jalanan yang mulai terlihat sepi itu, mereka berputar mengelilingi kota dengan sepeda motor Beni. Sudah seperti Dillan dan Milea saja mereka.
Tanpa ada rasa sungkan lagi, sepanjang perjalanan Chacha memeluk Beni dengan erat, dia berharap malam ini jangan pernah berakhir, dia ingin menikmati waktu-waktu yang indah ini selamanya, bersama Beni, lelaki yang dia cintainya sedari dulu.
Sesekali Beni memegang jemari tangan Chacha yang erat memeluknya dari belakang, meraih punggung tangannya lalu menciuminya dengan penuh perasaan.
"Sayang, semoga ada keajaiban yang bisa menyatukan kita untuk selamanya ya, sungguh aku berharap semesta meridhoi dan mengizinkan kita bersatu dalam satu ikatan yang suci."
Walau bercampur dengan desiran angin, suara Beni tetap terdengar sangat jelas oleh Chcaha. Mendengar hal itu, ia semakin mengencangkan pelukannya.
"Aaamiiiiiiiin Yaaaaa Looooord!!!"
Tanpa dikomando, mereka kompak berteriak dengan kencang. Tidak perduli dengan orang-orang dijalanan yang dari tadi merasa geli melihat tingkah mereka berdua.