Aku keluar dari ruangan dengan keramaian yang berada di sekitarku. Sudah seperti seorang ratu yang disambut hangat oleh rakyatnya. Alex datang menghampiriku dengan membawa kameranya. Ternyata Alex masih gigih ingin meliputku. Kalau begini Alex jadi menghalangi jalanku.
"Windy katakan sesuatu pada vlogku," suruh Alex cukup keras karena khawatir aku tidak bisa mendengarnya.
Kalau aku masih berada di vlog terbaru Alex, maka akan menjadi keuntungan juga bagiku. Sekarang saatnya untuk melebarkan sayap. Siapa tahu aku masuk koran berkat Alex. Aku mencoba tersenyum di hadapan kamera, meski sebenarnya kupingku sangat berisik karena suara orang-orang yang memanggilku.
"Hai viewers. Aku Windy, putri kecantikan di sekolah. Semoga viewers di rumah bisa lebih mengenalku ya," ucapku yang diakhiri dengan kedipan sebelah mata.
"Windy, tidak perlu menyebut viewers," bisik Alex.
"Aku harus bagaimana? Ini pertama kalinya wajahku akan muncul di youtube," bisikku.
"Tunjukkan pesonamu," ucap Alex yang membuat gerakan tangan ingin mencakarku.
Untung saja Alex tidak sampai mencakar wajahku. Sesuai dengan saran Alex, aku berdiri menyamping dengan mata yang melirik ke arah kamera. Kemudian aku membelakangi kamera untuk menunjukkan waffle yang ada di punggungku.
"Sorot rokku.," suruhku.
Alex mengarahkan kameranya memutari tubuhku. Sekarang hiasan es krim yang ada di rokku akan menambah daya tarik dari gaun ini. Alex kembali menyorot wajahku dan saat itu juga aku menjulurkan lidah seperti gerakan menjilat. Mengapa malah jadi seperti Sharla? Anggap saja aku terinspirasi darinya. Seorang fotografer melambaikan tangan ke arahku. Sekarang sudah saatnya bagiku untuk melakukan pemotretan sebagai putri kecantikan.
"Alex, aku harus pergi ke sana. Ada satu pemotretan lagi yang menantiku," ucapku.
"Tapi durasi videonya belum mencapai sepuluh menit. Kau akan rugi karena tidak membiarkan viewers melihat pesonamu lebih lama," ucap Alex cukup kecewa.
"Kau bisa meliputku lain kali. Kau bisa menggunakan waktu setahun untuk mencariku," ucapku lalu berjalan meninggalkan Alex.
Banyaknya orang yang berada di samping dan depanku membuatku kesulitan berjalan. Akhirnya aku berhasil masuk juga ke ruang pemotretan. Baru saja kau akan siap berpose, suara pintu yang dipukul-pukul membuatku spontan menoleh. Ternyata mereka masih mengikuti dan melihatku dari jendela. Ya ampun, baru sehari aku menjadi seorang bintang, cobaannya sudah melelahkan saja.
"Bisa kita mulai?" tanya fotografer.
"Tentu saja," jawabku.
Fotografer memberiku sendok es krim dan satu ember es krim. Aku diminta untuk duduk dengan ember es krim yang berada di depanku. Kuarahkan sendok es krimnya ke dalam ember dengan senyum smirk ke arah kamera. Apa kali ini fotografer ingin menggunakan konsep perpaduan imut dan berani?
"Sedikit mendongak," perintah fotografer.
Setelah pose pertama selesai. Fotografer memberiku sebuah contong es krim. Sekarang akan kuapakan es krim ini? Lagi-lagi terinspirasi dari gaya Sharla. Kujulurkan lidahku ke arah es krim dengan tatapan mata mengarah ke kamera. Jika fotografer tersenyum, itu artinya dia menyukai poseku. Sekarang tidak sekadar menjulurkan lidah, tetapi juga menjilat es krimnya. Entah mengapa ini membuatku terlihat seksi di kamera.
Hari sudah makin malam dan aku masih ada di sekolah. Kira-kira ibu menyadari kepergianku tidak ya? Baru saja aku memikirkannya, ponselku sudah ada panggilan masuk dari ibu. Aku tidak akan mengangkatnya supaya ibu mengira aku sudah tidur. Untung saja pintu kamarku sudah kukunci. Tiba-tiba hujan turun dengan cukup deras. Aku berlari menepi sebelum basah kuyup.
"Hai, Windy," sapa Joanna dan jesselyn bersamaan.
Aku menatapnya dengan senyum yang kupaksakan. Sial, mengapa hujan harus turun sekarang? Jika aku masih ada di sini, jam berapa aku bisa pulang? Membayangkan ibu yang nekad mendobrak pintu kamarku saja membuatku ngeri. Mulutku spontan terbuka lantaran Joanna yang menyipratkan air ke arahku.
"Kurang ajar," ucapku lalu membalas perbuatan Joanna.
Saat aku akan menyipratkan air untuk kedua kalinya, Sharla muncul di samping Joanna. Gerakan tanganku mendadak terhenti saat melihat Sharla yang melotot ke arahku. Tanpa mempedulikan tatapan Sharla, aku nekad melanjutkan aksi pembalasanku. Namun dengan cepat Sharla menahan sebelah tanganku ke atas.
"Aaa…"
Joanna menatapku dengan heran karena tangaku tidak bisa digerakkan, padahal sedang ditahan Sharla. Ya ampun, mereka pasti mengira kalau sikapku aneh.
"Dasar pelupa. Aku menyuruhmu untuk menjauhi air. Apa kau ingin gaunmu mencair?" Sharla menatapku kesal.
Aku sampai lupa dengan aturannya. Seharusnya aku tidak membalas Joanna, tetapi menjauhinya saja. Jangan sampai gara-gara hujan aku jadi terkena sial. Melihat reaksi mereka saja sudah membuatku bergidik ngeri jika tiba-tiba gaunku mencair. Kabar buruk pasti akan cepat menyebar. Akhirnya Sharla melepaskan tanganku juga. Aku memijat tanganku yang pegal karena kelamaan dinaikkan ke atas.
"Aneh," ejek Jesselyn yang kubalas dengan pelototan mata.
Tidak berhenti sampai di sini, dengan jahilnya Jesselyn menarik tanganku dan mencoba mendorongku. Jantungku akan lepas jika Jesselyn tidak menarik tanganku ke belakang. Entah apa yang terjadi padaku jika sampai terkena air hujan. Tanganku tidak sengaja menyenggol ujung rokku. Saat kubalik, lelehan es krim mengenai tanganku. Mataku langsung beralih untuk mengamati keadaan rokku. Benar saja, satu hiasan es krimnya mulai meleleh. Seketika aku membalik badan membelakangi mereka.
"Windy kau tidak apa-apa?" tanya Joanna yang melihatku mendadak diam.
"Tinggalkan aku."
"Kau mengusir kita?" tanya Jesselyn dan berusaha membalik tubuhku.
"Tinggalkan aku!" teriakku karena sudah tidak tahan lagi.
Joanna menarik tangan Jesselyn dan mengajaknya pergi. Kusandarkan punggungku ke tembok sambil mengatur napas. Hari ini aku masih selamat.
"Ayo kita pulang," ajakku.
Dengan memakai mantel, kami terbang pulang ke rumah. Mataku tidak bisa melihat dengan jelas karena tetesan air hujan. Sesampainya di rumah, kulepas mantelku dan membuangnya ke tempat sampah. Dengan hati-hati aku masuk lewat jendela. Jendelanya memang harus dicongkel dahulu baru bisa dibuka. Lampu yang mati menandakan kalau ibu sudah tidur. Dengan berjinjit aku mencoba meminimalisir suara yang ditimbulkan. Kemudian aku membuka kunci dengan cepat dan langsung masuk.
"Selamat," ucapku mengelus dada.
Lelehan es krim jatuh ke lantai. Ternyata makin lama lelehannya merambat ke mana-mana. Untung sudah sampai di rumah. Segera kulepaskan gaunnya dan berganti baju dengan piyama. Kutaruh gaunnya ke dalam bak. Setelah benar-benar mencair, akan kubuang di kamar mandi. Kuattap diriku di cermin. Rambut merahku masih ada di sana. Bagaimana caraku menghilangkan warnanya?
"Kau harus mengguyurnya dengan air. Verzatra bilang kalau di bumi ada semut. Semut menyukai sesuatu yang manis karena itu jangan tidur sebelum membersihkan rambutmu," saran Sharla.
TOK…TOK…TOK…
Pergerakan terhenti saat mendengar suara ketukan pintu. Aku spontan memegang rambutku yang masih berwarna merah. Tidak mungkin aku menyalakan keran, ibu pasti akan mengira aku belum tidur. Lagipula keramas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Cara cepat apa yang bisa kulakukan untuk merubahnya menjadi hitam?