Suara ketukan pintunya makin mengeras. Aku merasa hidupku tidak aman lagi. Aku menatap Sharla dengan penuh permohonan supaya dia mau membantuku. Sharla memegang hidungnya dan membuat gerakan seakan mau bersin. Untuk beberapa detik aku mencoba mencerna apa yang sedang dilakukan Sharla, tetapi akhirnya aku mengerti. Aku mengambil bolpoin buluku dan mendekatkan ke hidungku supaya bersin.
HACIM…HACIM…
"Ibu aku sedang tidak enak badan! Hidungku bersin-bersin sejak tadi! Karena itulah aku pergi tidur!" ucapku berbohong.
"Kalau kau tidak enak badan, biarkan Ibu mengeceknya! Ibu akan mengambil termometer dulu!" ucap Ibu yang membuatku panik.
"Tidak usah, Bu! Aku akan tidur saja! Aku tidak demam!" ucapku berusaha meyakinkan ibu.
"Buka pintunya sebentar, Windy! Ibu ingin melihat keadaanmu!"
Aku kembali mendekatkan bulunya ke hidungku. Kali ini aku bersin selama lima kali untuk membuat ibu percaya padaku. Dengan begitu ibu akan mengerti kalau aku butuh istirahat.
"Aku sangat mengantuk, Bu! Ibu tidak ingin aku begadang, kan?! Biarkan aku tidur, Bu. Hacim…"
"Baiklah! Kalau kau tidak tahan lagi, ketuk saja kamar Ibu!" ucap Ibu kemudian tidak ada suara lagi yang terdengar.
Kubuka pintunya sedikit untuk mengecek bahwa ibu sudah tidak ada di luar kamarku. Kututup pintunya dengan perasaan lega. Sebelum tidur aku akan keramas dahulu. Aku tidak ingin jadi botak karena rambutku dimakan semut. Namun, tidak mungkin juga semut akan berbuat jahat seperti itu. Saat aku akan menutup pintu kamar mandi, ternyata Sharla masih ada di sini.
"Sharla, kau tidak menghilang juga?" tanyaku heran.
"Aku hanya ingin mengingatkan bahwa misimu sudah menanti di depan," ucap Sharla yang membuatku memutar bola mata.
"Aku ingat, Sharla. Pergilah, aku ingin mandi dengan tenang," usirku.
"Mandi sana, bau," ejek Sharla yang membuatku melotot.
Keesokannya, setelah mandi aku turun untuk memakan sarapanku. Hari ini ibu memasak nasi goreng sosis kesukaanku. Rasa nasi gorengnya sangat enak, bahkan aku sampai menambah nasinya. Kalau pedas sedikit, pasti akan lebih enak.
"Kau sudah sembuh?" tanya Ibu ragu.
"Sembuh apa?" Aku balik bertanya.
Belum sampai aku menelan makanannya, kegiatan mengunyahku terhenti seketika. Astaga, bagaimana aku bisa lupa? Semalam kan aku berpura-pura sakit. Kalau ibu melihat cara makanku yang rakus, ibu akan mengetahui kebohonganku. Kukunyah makanannku dengan cepat dan menelannya. Sebelum bicara aku minum dahulu.
"Fluku sudah membaik, Bu. Tidur nyenyak membantu menyembuhkannya," ucapku sambil tersenyum.
"Syukurlah. Tadinya Ibu mau membelikanmu obat. Tapi untung saja sudah sembuh, jadi kau bisa masuk sekolah," ucap Ibu dengan tersenyum tulus.
Setelah membuatkan susu untukku, Ibu pergi ke kamarku. Ibuku itu orangnya sangat teliti. Ibu akan mengecek semua keperluanku supaya tidak ada yang tertinggal. Terkadang aku merasa tidak enak karena berperilaku sedikit bar-bar di sekolah. Karena ibuku sendiri tidak bersikap seperti itu. Maka dari itu sikapku sedikit berbeda antara di rumah dengan di sekolah. Aku tidak ingin ibu merasa gagal mendidikku. Apalagi dengan semua perhatian dan usaha yang sudah dilakukannya untukku.
Aku hampir saja tersedak saat melihat toby naik ke atas meja dan menjilati susu yang ada di dalam gelas. Aku ingin memarahi toby tadinya, tetapi toby begitu manis bagiku. Akhirnya aku merelakan segelas susuku diminum oleh toby. Ibu turun dari tangga dengan membawa ember. Untuk apa ember itu?
"Es krim," ucapku tanpa bersuara.
"Cairan apa ini? Ibu menemukannya di kamar mandimu. Baunya begitu manis," ucap Ibu mengendus-endus baunya.
Ya ampun, aku lupa tidak membuangnya. Semalam aku sangat lelah sampai lupa dengan nasib lelehan gaunnya. Kebohongan apa lagi yang harus kukatakan pada ibu? Aku pernah mendengar seseorang berkata, sekali saja kau berbohong, maka kebohongan lain akan mengikutinya. Masalah ini sedang terjadi padaku. Aku berusaha menutupi kebohonganku yang sebelumnya dengan kebohongan baru.
"Itu es krim. Aku membawa sepuluh es krim dari dalam kulkas ke kamarku. Aku baru makan setengah dan langsung bersin. Karena itulah aku tidak memakannya lagi. Lalu aku tertidur dan melupakan es krimnya. Saat aku terbangun, es krimnya sudah mencair. Jadi kutaruh saja di dalam ember karena aku malas keluar," ucapku sedikit gagap.
"Di mana bungkusnya?" tanya Ibu.
"Sudah kubuang," jawabku cepat.
Aku merasa jika ibu masih meragukan ucapanku. Karena itulah aku terus mengucapkan alasan-alasan lainnya untuk mendukung pernyataanku. Namun ibu mulai percaya karena ketiduran membuatku melupakan es krimnya.
"Tempat sampahnya akan lengket jika sampai terkena cairan es krim. Karena itulah aku menaruhnya di ember dan akan membuangnya di saluran pembuangan kamar mandiku," ucapku.
"Ibu percaya padamu. Tapi seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati Ibu," ucap Ibu.
Ibu kemudian kembali ke kamarku untuk membuang cairan es krimnya di saluran pembuangan kamar mandi. Aku mengikuti ibu dari belakang karena ingin mengambil tas di kamar. Semenjak bertemu dengan Sharla, aku memang mendapatkan bantuan yang tidak terduga. Namun, hal itu membuatku melakukan kebohongan pada ibu. Hanya ibu satu-satunya yang kumiliki dan aku tidak ingin mengecewakannya.
"Windy minumlah susunya dan segera berangkat," perintah Ibu yang melihatku masih berdiri di kamar.
"Iya, Bu. Susunya diminum toby," ucapku.
"Ibu akan membuatkannya lagi," ucap Ibu sedikit kecewa.
Aku ikut turun bersama ibu. Dengan sabar aku duduk dan menunggu ibu selesai membuatkan susu untukku. Aku melihat Sharla yang melambai ke arahku dari balik jendela. Aku hanya menatapnya tanpa berniat membalas lambaian tangannya.
"Habiskan susunya," perintah Ibu setelah memberikan segelas susu padaku.
Kuteguk susunya hingga habis tak tersisa. Sekarang perutku terasa kenyang sekali. Kutaruh gelasnya di wastafel supaya tidak menyusahkan ibu lagi. Sebelum aku berpamitan pada ibu. Kupeluk ibu dengan erat. Mataku mulai berair karena tak kuasa mengingat kebohongan yang sudah kulakukan padanya. Namun aku bisa apa? Aku tidak mungkin menceritakan tentang Sharla dan kejadian yang sudah kulalui pada ibu. Ibu sudah lelah bekerja dan aku tidak ingin membuatnya makin berpikir keras dengan kejadian ini.
Kukeluarkan sepedaku dari garasi. Sebelum mengayuhnya, aku menoleh ke belakang untuk melihat ibu sekali lagi. Wajah tulusnya itu adalah tempat pulangku selama ini. Di saat Joanna dan Jesselyn sering mengejekku, ibu tidak pernah melakukan hal yang sama. Ibu hanya percaya kalau aku akan menjadi anak yang baik dengan didikannya. Di saat Alex sering menjahiliku dan terkadang menempatkanku dalam kesulitan, ibu selalu menjadi orang pertama yang mengkhawatirkanku dan mengulurkan tangannya padaku. Ibu berjalan mendekatiku dan kemudian memelukku.
"Kau akan terlambat nanti," ucap Ibu.
"Terima kasih, Bu. Doakan aku supaya bisa menjadi anak yang baik," ucapku yang membuat ibu melonggarkan pelukannya.
Ibu mengelus pipiku dan berjalan pergi ke arah mobilnya. Setelah ibu masuk ke dalam mobil, kukayuh sepedaku menuju sekolah.