"Apa katanya?" tanya Alfa sewaktu masuk ke kamar Bianca dan melihat sahabatnya itu tengah memilih-milih pakaian dari lemari.
"Dia mau ketemu hari ini."
"Good then." Alfa menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Rebahan dengan ujung kaki menapaki lantai. "Ketemu di mana? Mall? Cafe?"
"Di halte sekolah."
"What?! Seriously?" Alfa sampai bangun lagi dari tidurannya. Memandangi Bianca tidak percaya dari cermin lemari yang berhadapan dengannya. "Nggak modal banget sih."
"Fa," Bianca berbalik. "kita udah sepakat soal ini. Lo akan biarin gue milih dan kasih dia penjelasan yang layak. Terlepas di mana kami bakal ketemu."
"Okay. Terserah lo."
Alfa baru menjatuhkan punggungnya lagi di atas ranjang; Bianca juga baru kembali sibuk menimbang-nimbang baju mana yang bakal dia kenakan untuk menemui Neil saat pintu kamar dibuka tanpa diketuk. Serempak, Alfa dan Bianca menoleh. Tapi Bianca yang lebih dulu berpaling sambil berdecak.
"Lo ikut gue, Fa," katanya.
"Oh, nggak bisa. Gue bakal pinjam dia hari ini." Elion membuka pintunya lebih lebar. Bersandar di bingkai pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Gue duluan yang ngajak Alfa!"
"Lo kan mau ngapel. Ngapain juga bawa-bawa Alfa?"
"Kenapa nggak bisa?"
"Lo nggak ingat, orang ketiga itu namanya setan. Lo mau jadiin teman lo sendiri setan?"
"Iya! Ngapa? Masalah buat lo?!"
Alfa tidak kelihatan mau beranjak dari tempatnya. Sepenuhnya menikmati percekcokan pertamam Elion dan Bianca hari ini.
"Sangat masalah. Lo nggak begitu butuh Alfa. Gue butuh dia."
Dan itu terdengar sangat salah buat Alfa. Soalnya dia jadi kegeeran dan mulai punya dorongan untuk berjingkrak.
Gue butuh dia.
Walau diutarakan dengan nada paling nggak serius pun tetap berdamage kalau Elion yang bilang. Atau gampangannya, Alfa baper dengan kalimat seremeh itu.
"Gimana, Fa? Lo ikut gue atau Bianca?"
Sejenak, Alfa melirik Bianca dan Elion secara bergantian, kelihatan menimbang-nimbang. Lalu, bersamaan dengan tubuhnya yang terduduk di atas ranjang, gadis itu berkata, "Well, lo nggak mau jadi obat nyamuk atau gangguin acara apelnya lo sama Kak Neil. Jadi, sebagai sahabat yang baik dan super pengertian, gue bakal pergi sama Kak Elion aja."
"Bacot!"
"Ya pikir aja deh, lo sama Kak Neil mau ngobrol untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Lo kira bakal nyaman kalau gue ikut?"
"Lo kira gue bakal bisa ngomong kalau nggak ada lo? Ini kan idenya lo."
"No way! Don't get me wrong, Babe. Gue sama sekali nggak ide. Yang inisiatif telepon duluan adalah Kak Neil. Dan lo jelas punya mulut dan otak yang sangat berfungsi untuk menunjang kebutuhan perbacotan kalian. So ... here we go." Alfa menoleh pada Elion yang tersenyum penuh kemenangan. "Ke mana kita?"
"Ke neraka mau?"
Senyum di wajah Alfa surut. "Nggak lucu."
"Ikut aja. Siap-siap, habis ini berangkat. Biar nggak balik kesorean. Daripada gue anter lo balik cuma buat ganti baju, mending pinjem punyanya Bianca atau Riani. Kalau nggak ada yang muat, lo bisa pakai kemeja gue, nggak usah pakai bawahan."
"Oalah, dasar bajingan."
"Eits! Nggak boleh ngatain abang sendiri kayak gitu." Elion mengerling pada Alfa. "Setengah jam lagi gue tunggu di depan."
"Okay."
Bianca melirik Alfa dari cermin setelah pintu kamarnya ditutup oleh Elion. Sahabatnya itu masih mengulum senyum sambil memandangi pintu.
"Ngapain senyum-senyum ke pintu?"
"Pintunya cakep."
"Pintunya atau abang gue yang cakep."
"Itu juga nggak salah sih."
Rasanya Bianca kepingin menggampar wajah Alfa pakai setangkup baju berhanger di tangannya, tapi kemudian dia ingat kalau Alfa masih dalam misi menggodanya biar nggak diam kayak kemarin-kemarin lagi. Makanya kali ini Bianca lepaskan.
"Lo kalau mau aman mending pakai jeans deh, Bi. Lo nggak tau entar bakal diajak ke mana sama Kak Neil."
"Maksud lo apa ngomong gitu?!"
"Idih, gitu aja sensi. Maksud gue tuh, semisal tiba-tiba Kak Neil bawa motor gitu kan enak. Kalau lo ribet-ribet pakai rok ternyata dia bawa motor kan bingung sendiri. Dia kayaknya bukan tipe yang bakal bawa mobil buat mengambil hati seorang Bianca lagi." Alfa beranjak, berdiri di sebelah Bianca untuk mencari baju yang mungkin bisa dia pakai. "Gue mau dipinjami yang mana nih?"
"Lo kan bisa minta orang buat ngantar baju ke sini. Atau beli di market place."
"Lo nggak denger Kak Elion bilang setengah jam lagi?"
Untuk beberapa saat Bianca diam. Memperhatikan Alfa yang bersenandung pelan sambil sibak-sibak hanger di gantungan baju lemari.
"Jangan-jangan lo ada apa-apa ya sama Bang El di belakang gue?"
Alfa cuma melirik Bianca dari ujung mata, nggak kelihatan ambil pusing dan kembali memilah. "Nggak usah cemburu gitu. Gue cinta matinya cuma sama lo doang. Bisa dibilang, modelan Kak Elion tuh cuma selingan aja."
"Bacot!"
Alfa tergelak. Meraih celana jeans navy milik Bianca dan kaos over sized putih lengan 3/4.
"Yakin lo mau pakai itu?"
"Gue nggak tau mau diajakin ke mana. Lagian ini bukan dating. Nggak usah necis-necis."
"Kayak yang udah pernah dating aja."
Alfa nyengir tipis. "Lo aja yang nggak tau." Kemudian menghilang ditelan pintu kamar bersama selembar handuk. Pergi ke kamar mandi untuk ganti baju.
Kalau ditanya, kenapa nggak ganti baju di kamar Bianca? Soalnya Alfa belum mandi sehabis jogging tadi. Terus, dia juga malas kalau diledek 'kutilang darat' sama Bianca, gara-gara badannya macam papan penggilas.
Saat Alfa akhirnya selesai mandi dan ganti baju, Riani lewat di depannya. Membawa nampan berisi empat cangkir teh.
"Ada tamu?"
"Menurut ngana? Ya jelas ada tamu. Buat apa gue bikin teh kalau nggak ada tamu. Buat lo? Ngimpi."
Alfa nggak tau harus bereaksi bagaimana. Soalnya satu-satunya yang dia pengen sekarang cuma menumpahkan isi nampan itu ke muka super songong Riani yang lanjut pergi dari hadapannya.
"Morning, anaknya Mbak Rena," sapa Alfa begitu Rena muncul bersama balitanya dari pintu halaman belakang.
"Namanya Reno, Fa. Capek banget bilangin lo."
Alfa cuma cengengesan. Lihat Alfa yang cengengesan, si Reno anaknya Rena ketawa. Tawanya merambat ke Rena.
"Mau ikut Tante Alfa? Iya?" tanya Rena ke anaknya.
Alfa mengernyit nggak suka. "Enak aja main panggil tante. Aku masih SMA. Yang elite dikit dong. Kakak gitu, misalnya. Kali aja entar anaknya Mbak Rena naksir aku."
"Ya semoga aja lo belum mati pas anak gue ngerayain sweet seventeen."
"Astaga! Ucapan adalah doa loh, Mbak Ren."
"Canda elah." Rena tertawa. Agak puas lihat Alfa merengut. "Udah mau balik? Tumben banget. Biasanya nunggu tengah malam baru balik."
"Nggak." Alfa nyengir lebar. "Mau pergi sama Kak Elion."
"Idih .... Seneng banget mau diajakin jalan."
Alfa cuma senyam-senyum. Terus ingat sesuatu. "Ada siapa di depan, Mbak Ren?"
"Oh itu ... temannya bunda. Teman SMA. Punya anak cewek mau dikenalin sama Elion."
Saat itu, Alfa merasa dia ... betulan bukan siapa-siapa.
______________________