Dulu, waktu mereka masih pacaran, Neil pernah bilang pada Bianca bahwa dia tidak sedekat itu dengan Arega.
Arega brengsek. Itu sudah jadi rahasia publik. Dan katakan saja bahwa Bianca manusia bebal yang memilih untuk tutup mata-tutup telinga perihal itu. Sebab, menurutnya, Arega adalah orang yang ... tidak layak dihakimi demikian. Sebab, Arega adalah orang yang dulu selalu datang setiap kali Bianca merasa butuh seseorang.
Neil menyangkal pertemanannya dengan Arega. Seolah laki-laki itu ingin mengatakan bahwa dia berada di circle yang sama sekali berbeda dengan Arega, meyakinkan Bianca bahwa dia tidak seperti Arega.
.... Dan Bianca percaya.
Bianca percaya kalau Neil bukan laki-laki yang bakal jalan dengan teman perempuan tanpa bilang-bilang padanya. Bianca percaya kalau Neil bukan laki-laki yang tak bisa merasa cukup dengan memiliki satu.
Tapi Neil kadang sulit dimengerti.
Neil kadang melakukan sesuatu tanpa menjelaskan maksudnya pada Bianca. Mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan perasaanya, yang membuat Bianca merasa dia tidak sepenting itu untuk diperhatikan.
Sepanjang perjalanan, di bus, Bianca mencoba mereka-reka kalimat seperti apa yang bisa dia katakan pada Neil saat mereka bertemu nanti. Namun, setelahnya, Bianca merasa konyol. Dia tidak pernah melakukan itu dengan siapa pun. Dia tidak pernah mencoba menyusun kalimat hanya untuk dibicarakan dengan orang yang bakal dia temui.
Saat kernet memberitahukan halte selanjutnya adalah SMA-nya, Bianca buru-buru berdiri, membayar, dan tak lama kemudian bus berhenti.
Sesaat setelah turun, Bianca menghela napas panjang. Dia belum pernah se-berdebar ini hanya karena melihat Neil.
Mungkin karena sekarang Neil yang duduk di bangku halte itu mengembalikan warna asli rambutnya jadi hitam legam. Mungkin karena hari ini dia tidak memakai tindik di kedua telinganya. Mungkin juga karena Neil tidak pakai pakaian yang aneh-aneh, hanya jeans, kaos dan jaket serba hitam yang membuatnya terlihat ... berkali-kali lipat lebih menawan.
"Sayang banget warnanya nggak matching," komentarnya sambil menghampiri Bianca yang mengenakan celana pendek daan cardigan berwarna cream, sedangkan sepatu dan kaosnya berwarna putih. "Dulu kayaknya lo seneng banget pakai serba hitam-putih."
"Bukan berarti sekarang gue harus kayak gitu, kan?"
Neil memandangi Bianca sebentar. Tatapannya jatuh di sekitar wajah gadis itu sebelum kekehan pelannya terdengar. "Santai aja. Nggak usah tegang gitu. Gue nggak bakal macem-macem."
Canggung.
Bianca sudah menduga mereka bakal terjebak dalam kecanggungan—atau setidaknya cuma dia yang merasa canggung—tapi Bianca sama sekali tidak menyangka kalau suasananya bakal setidaknyaman ini. Rasanya Bianca kepingin pulang saja, atau memutar ulang waktu dan memutuskan buat nggak datang menemui Neil. Tidak peduli seganteng apa penampilan laki-laki itu.
Neil yang melihat Bianca cuma diam sambil membuang muka membuat tangannya terangkat, terlipat di depan dada.
"Gue tungguin di sini sampai lo ngomong."
Hening di antara mereka. Suara kernet bus dan kendaraan yang berlalu-lalang di sekitar mereka tidak cukup mengusik.
Setelah jeda yang cukup memuakkan, Neil meraih pergelangan tangan Bianca. Menariknya pelan. "Ayo, jalan."
"Gue bisa jalan sendiri. Nggak perlu diseret."
Neil mengangkat kedua tangannya. "Oke. Nggak gue seret," katanya, lalu memimpin langkah.
Sementara mereka jalan beriringan di trotoar, tidak ada yang bersuara. Neil kelihatan menikmati suasana, sedangkan Bianca bergelut dengan pikirannya.
Kalau boleh jujur, sebetulnya Bianca lebih suka bicara seenaknya. Tapi situasi tidak mengijinkannya demikian. Bianca juga tidak dalam mood seperti itu. Sejak dia mendiamkan Elion dan Alfa tanpa alasan jelas, Bianca jadi merasa ... buruk. Bingung dengan perasaannya sendiri.
"Kenapa ngajak ketemu?" tanya Bianca pada akhirnya, membuat Neil menoleh dengan salah satu sudut bibir terangkat. "Gue serius nanya."
"Kenapa lo mau dateng?"
Bianca sempat diam sebentar untuk menimbang. Kemudian menjawab, "Alfa bener, soal gue yang harus ngomong baik-baik sama lo."
"Itu jawabannya." Neil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Memandang lurus ke depan. "Bentar lagi gue lulus. Mungkin ke luar kota, mungkin juga ke luar negeri. Nggak tau deh. Yang pasti, kalau ujian kelar, gue bakal lebih susah ketemu sama lo. Nggak bakal ada waktu buat ngomong sama lo." Bahu Neil terangkat tanpa arti.
Sekali lagi Bianca terdiam. Memperhatikan kaki Neil yang mencoba menyeimbangi langkah pendeknya.
"Alfa cerita semalam."
"Dia ketemu gue."
"Hm." Bianca sedikit terkejut saat tiba-tiba Neil menariknya saat dia asik melihat langkah seirama mereka. Lalu mengulum senyum waktu menyadari kalau laki-laki itu mencegah kaki Bianca masuk ke lubang gorong-gorong, sekaligus memindahkan Bianca agar berjalan di sisi kiri. "Gue nggak peduli orang tua lo siapa. Entah Maddy, Madeleine atau siapa pun itu yang kata Alfa luar biasa. Gue nggak bisa ngerayain ulang tahun orang lain saat orang rumah nggak pernah ngadain acara kayak gitu. Mungkin kelihatannya gue nggak respek ke lo, ke rutinitas keluarga lo, tapi gue nggak bermaksud begitu. Gue cuma malu kalau ngerayain hari lahir orang lain sedangkan hari lahir bunda nggak pernah dirayain."
"Lo bisa rayain."
"Nggak bisa." Bianca mengangkat wajahnya, memandangi Neil dari samping. "Kami sepakat nggak ngerayain."
"Jadi, lo nggak dateng ke acara ulang tahun temen-temen lo?"
"Ya. Lagipula Alfa nggak pernah rayain."
"Itu keterlaluan."
"Nggak ada pesta, nggak ada kue, nggak ada dekor dan nggak ada acara tiup lilin. Karena itu gue nggak terbiasa dateng ke acara ulang tahun. Gue dateng ke pesta, kecuali ulang tahun."
"Itu konyol."
"Nggak konyol saat lo kehilangan seseorang setiap kali adain atau pergi ke pesta ulang tahun."
"Maksud lo?"
"Gue nggak mau cerita." Bianca mengangkat bahunya tanpa arti. "Gue cuma mau bilang itu aja. Udah, kan? Gue boleh balik?"
Mereka berhenti di bawah pohon dekat mall. Wajah Bianca memerah karena terik matahari dan efek mengatakan segalanya tanpa ditanya oleh Neil. Seolah dia butuh sekali Neil untuk tahu semuanya. Seolah dia ingin Neil tidak lagi salah paham dengannya.
"Lo mau denger apa dari gue?" tanya Neil. Sebelah tangannya terulur melewati pundak Bianca, bertumpu pada batang pohon di belakang punggung gadis itu. Posisi yang cukup menantang untuk ukuran mereka yang tidak pernah bertegur sapa lagi setelah beberapa lama.
"Nggak ada."
"Yakin?" Melihat Bianca diam saja, dan seperti serius dengan jawabannya, Neil mendengkus geli. Tatapannya bertahan di wajah Bianca. "Gue liat muka sembab lo sehabis gue putusin."
Dengan mengeratkan rahangnya, Bianca membalas tatapan Neil. "Gue pernah sesuka itu sama lo."
"Sekarang?"
"Nggak sebanyak itu."
"Artinya masih suka, kan?"
Bianca tidak menjawab. Sepenuhnya mengabaikan wajahnya yang entah sudah semerah apa saat itu.
"Kalau lo liat gue pagi itu sama cewek dan salah paham, ngira dia gebetan baru gue, lo salah. Dia anak segengnya Arega, dan dia bisa kayak gitu ke semua cowok." Saat melihat tatapan Bianca sedikit menegang, laki-laki itu meneruskan, "Dan dia lesbian—nggak wajar buat lo denger, tapi itu faktanya."
Bianca cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Sedikit kecewa, marah, kesal ... lebih banyak lega karena akhirnya mereka bicara seperti ini.
"Mau jalan bentar lagi? Gue betulan mau traktir lo di mekdi, kayak yang kemarin gue bilang pas lo hampir lompat dari loteng."
"Gue nggak niat lompat dari loteng."
"Tampang lo kelihatan kayak tampang-tampang orang mau bunuh diri."
"Ngaco lo!"
Neil nyengir. Senang akhirnya Bianca bisa ngegas begitu dan agak rileks.
______________________