Dipertemukan di tempat dan waktu tak terduga ternyata bisa membuatku terjaga semalaman. Aku tak percaya kebetulan. Pertemuan itu ... kupikir kita memang ditakdirkan. — Alfa
______________
Alfa sadar. Setelah malam itu, dia mengharapkan kejadian serupa.
Berharap berpapasan dengan Elion di depan rumah, disambut oleh keriuhan tiga orang penghuni rumah, lalu ... melihat Elion tertawa lagi.
Tapi, kebetulan seperti itu jarang terjadi untuk yang kedua kalinya. Bahkan keinginan sesederhana melihat Elion sedikit lebih lama pun sepertinya sangat sulit. Sebab, berkali-kali Alfa datang ke rumah Bianca. Sekadar main atau bahkan menginap, tapi tak sekali pun dia bertemu dengan Elion. Alfa tak melihat motor laki-laki itu terparkir di teras depan. Dia tidak melihat sosok itu bahkan untuk seujung jari pun.
Lalu, Alfa putus asa. Menyerah pada perasaannya.
Tapi sepertinya semesta tak sependapat. Saat Alfa hampir lupa, harapan baru dipercikkan begitu saja hanya dalam hitungan detik.
Satu bulan kemudian Alfa pergi ke luar provinsi untuk sebuah kompetisi sains. Bersama dua teman tim dan satu guru pembimbing. Mereka sempat mampir untuk makan malam begitu turun dari kereta. Duduk di meja depan restoran kecil yang ada di stasiun sambil menikmati acara live musik.
Dan saat pesanan mereka datang,
"Soto Lamongan, lemon tea."
Alfa mengalihkan pandangannya dari seorang perempuan yang memangku gitarnya, menjadi pusat tontonan saat itu. Lalu, begitu melihat siapa yang meletakkan semangkuk Soto Lamongan dan teh lemon pesanannya, mulut gadis itu ternganga. Tak menyangka.
"Loh?" Akhirnya hanya satu kata itu yang keluar dari mulutnya.
Elion. Laki-laki itu berdecak sebelum mengulas senyum geli mendapati respons Alfa. "Baru nyadar? Padahal gue udah lihat lo dari tadi kalian dateng."
"Ha?"
Kali ini Elion terkekeh kecil. Dia juga tak menyangka bakal ketemu Alfa di sini.
"Loh? Ha?" Sambil menirukan reaksi Alfa terhadapnya, laki-laki itu mengambil tempat duduk di hadapan Alfa. Melirik dua teman Alfa di meja sebelah yang mencuri pandang, lalu tersenyum pada seorang wanita—guru pembimbing—yang tadi memesankan makanan mereka.
"Lo ngapain di sini?"
"Aku ada lomba."
"Malem-malem gini?"
Alfa sempat diam, lalu tertawa. "Iya ya, sekarang udah malem. Kita ketemunya pas malem terus deh kayaknya." Gadis itu menyesap minumannya sebentar sebelum kembali bicara.
"Nggak salah juga sih."
Masih dengan sisa tawanya, Alfa menjawab, "Lombanya besok. Sekitaran jam 7 pagi. Selesai jam 4 kalau nunggu sampai pengumuman. Jadi, kami nginep di hotel buat malam ini sama besok." Melihat Elion mengangguk paham, Alfa menambahkan, menyuarakan rasa penasaran yang akhir-akhir ini berkelebat di kepalanya. "Kak Elion sendiri ... kerja di sini? Sejak kapan?"
"Ya gitu. Sejak kapannya ... kalau nggak salah ya, dua hari setelah lo nginep."
"Oh ... pantesan aku nggak pernah lihat." Tanpa sadar, Alfa menyuarakan isi kepalanya, membuat Elion menyeringai tipis.
"Jadi, lo nyariin gue?"
"Ya bukan gitu. Ak—"
"Maaf menyela," Baik Alfa maupun Elion mengangkat wajahnya, menatap guru pembimbing yang sudah berdiri di samping Alfa. Mata wanita itu dilayangkan pada Elion, sedangkan sebelah tangannya merangkul bahu Alfa. "Alfa harus makan karena kami nggak punya banyak waktu buat istirahat."
Alfa sedikit terkejut mendengar penuturan Bu Diana—guru pembimbingnya—yang kesannya mengusir Elion. Dan Alfa merasa bersalah mendapati ekspresi canggung laki-laki di depannya, walau hanya sepersekian detik.
"Oh, iya, maaf. Saya permisi."
Kalau boleh jujur, perasaan Alfa mencelos melihat Elion melambai dengan senyum kecil sebelum akhirnya masuk lagi. Meninggalkannya bersama Bu Diana dan dua teman tim lainnya.
Alfa sadar dia kemari untuk acara sekolah. Dia tidak bisa sembarangan menemui orang karena dia punya jadwal sendiri.
"Ayo, Alfa, jemputan kita hampir sampai." Bu Diana bilang begitu, lalu kembali ke kursinya bersama dua teman Alfa.
"Iya."
Dari ujung mata, Alfa melirik ke dalam. Melalui jendela-jendela kaca di sampingnya.
Elion ada di balik meja counter bersama satu teman laki-lakinya. Berbincang. Entah membicarakan apa, yang pasti selang beberapa saat teman Elion itu memandangi Alfa.
Hanya begitu. Tak lebih.
Padahal untuk yang kedua kalinya Alfa kembali berdebar. Hanya karena sebuah kebetulan mempertemukannya dengan Elion. Di tempat yang tidak dia duga.
Tapi, setelah itu dia ditarik pergi.
Makanannya baru dia nikmati tiga sendok. Minumannya masih tiga per empat gelas. Tapi bukan itu yang Alfa sesalkan. Dia sangat menyayangkan pertemuannya dengan Elion yang terlalu singkat. Padahal Alfa masih ingin banyak tanya. Ingin mencoba mengobrol dengan laki-laki itu.
Elion ....
Alfa sudah mengenal Bianca sejak mereka duduk di semester awal sekolah menengah pertama. Alfa sering main ke rumah Bianca. Alfa tahu Bianca anak bontot yang punya 4 kakak, dua sudah menikah, Elion, lalu Riani. Dan dari keempatnya, hanya Elion yang sulit ditemui. Makanya, malam itu ... itu benar-benar kali pertama dia bertemu dengan Elion yang selama ini hanya Alfa kenal lewat cerita-cerita Bianca.
Alfa dengar sedikit banyak cerita soal Elion. Dan hanya sebatas itu.
"Gue ketemu Kak Elion." Setelah memastikan tak ada yang terbangun karena dia beranjak dari ranjang, Alfa keluar dari kamar.
Pukul 00.01 dini hari. Alfa rela keluar kamar dan duduk di lobi hanya demi menelepon Bianca. Memberikan kabar yang sampai detik ini masih membuat Alfa berdebar setiap mengingatnya.
"YANG BENER?"
Alfa berdecak karena Bianca di seberang sana memekik. Dari suaranya, Alfa yakin Bianca girang tak terkira.
"Iya. Gue ketemu pas makan malam tadi. Di stasiun."
"Terus terus?"
"Ya gitu aja. Mau ngobrol malah disuruh pergi sama Bu Diana."
"Yah .... "
Hening sejenak. Alfa ingin jujur pada Bianca, tapi dia juga malu mengakuinya. Alfa tak bisa tidur karena ada yang salah dengan jantungnya. Dia tidak menyangka euforia pertemuannya dengan Elion memberikan efek yang lebih hebat daripada setelah tubuhnya menerima kafein dari kopi hitam.
.... Dengan kata lain, Alfa tak mungkin mengatakan bahwa sepertinya Alfa menaruh hati pada Elion yang baru dua kali dia temui.
"Terus lo di mana sekarang?"
"Di hotel. Di lobi. Yang lain udah pada tidur; gue nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Lo bego ya? Gue kalau kecapekan mana bisa tidur? Badan gue rasanya sakit semua gara-gara duduk berjam-jam di kereta." Akhirnya, Alfa beralibi demikian. Walau tak sepenuhnya bohong. Tapi daripada kelelahan, Alfa lebih tak bisa tidur karena ingat Elion.
"Sukurin. Siapa suruh milih kereta? Enakan juga naik pesawat."
Lalu, seperti biasanya, Alfa dan Bianca adu mulut. Memperdebatkan hal-hal tak penting sampai pukul 02.15.
Hanya saja, sampai jam di atas nakas menyalakan angka tiga pun Alfa masih terjaga, menatap langit-langit kamar yang remang-remang. Malam itu ... Elion benar-benar menginvasi isi kepalanya.
_______________