Tio pergi, Bian yang di tinggal sendirian pun merasa bosan. Tanpa merasa khawatir atas ucapan sang kawan yang kesejahteraan hidupnya terancam, Bian malah menggerutu atas ketidaksempatannya meminta tolong.
"Harusnya sebelum pergi ku suruh dia buat sarapan dulu. Sial! Aku lapar..."
Bangkit dari ranjang dengan tertatih, menyeret kakinya yang terasa begitu lembek menuju sudut dapur. Terlalu kelaparannya sampai terbesit untuk menjilat sisa bumbu tertinggal di piring kotor yang dini hari tadi di babat habis. Namun rasanya Bian tak sejorok itu untuk mengutipnya dari tempat cucian piring. Dari sekian banyak bahan sayuran yang di belanjakan Mike, untungnya ia menemukan mie instant.
Kresss
Tanpa ingin mengambil resiko dengan membakar habis isi rumah sewanya, Bian meremas mie itu menjadi serpihan lebih kecil dan mengocoknya dengan bumbu. Menuangkannya langsung ke mulut dengan rakus sampai habis tak tersisa.
"Aku masih lapar..."
Meninggalkan bungkusan kosong serta remahan mie di lantai begitu saja. Bian kemudian menggeledah seluruh saku pakaian kotornya yang berserakan tak karuan, berharap menemukan beberapa lembar uang.
"Bangsat!"
Lapar memang membuat suasana hatinya benar-benar bergejolak. Bian kesal saat sepeserpun tak di miliknya. Terlebih saat terbesit pintasan kejadian, Tio yang menggeledah saku celananya sewaktu di klub malam jelas menjadi tersangka atas kesulitannya kali ini.
"Bajingan! Apa dia tuli? Berapa kali harus ku katakan untuk tak mengambil hutang ku dulu?"
Jalan akhir yang terpaksa harus di tempuh. Berdandan seadanya tanpa berniat sedikit pun membasuh tubuh lengketnya. Berjalan tertatih melintasi jalan raya, 30 menit di tempuhnya untuk sampai di tempatnya bekerja. Langsung menerobos masuk lewat pintu belakang karyawan, berniat mengutil makanan untuk menyelamatkan hidupnya. Kesibukan di dapur membuatnya mengendap-endap untuk mencari celah.
Brakk
"Ouch!"
Sampai seseorang yang sengaja menabrak keras tubuhnya dari belakang menggagalkan. Niatnya menyamar jadi tikus kecil lemah tak berdaya malah mendapatkan perhatian terlalu banyak dari sekeliling yang terlalu brutal.
Bian tertangkap basah. Bodohnya yang di lakukannya malah cengar-cengir sambil angkat tangan mengakui niatan dosa. "Jangan pedulikan aku- Akhhh...."
Merasakan tubuhnya terseret, efek lemas membuat Bian tak bisa berkutik saat Nadin mendorongnya ke ruang sempit tempat loker karyawan.
"Jam berapa ini?"
Ya, Bian tak sanggup memungkiri jika upaya menyelamatkannya dari kelaparan perlu mengorbankan sedikit tekanan emosinya. Gertakan gigi yang mengerat menggoyah sisi harga dirinya.
"Bisa lihat jam tangan mu? Kebetulan aku tak bawa."
"Gezzz... Kenapa kau begitu menyebalkan, eh?!"
"Solusinya mudah, kau hanya perlu mengabaikan kehadiran ku."
Bian yang mendorong bahu Nadin, sampai kepergiannya lagi-lagi di gagalkan oleh wanita itu.
Brakk
Kembali, Bian kembali merasakan ngilu di punggungnya yang terhantam bahan besi itu.
"Ada apa dengan wajah mu?"
Demi apa pun, mendengar pertanyaan itu membuat Bian geli setengah mati. Apa-apaan dengan raut panik Nadin saat kini menatap luka lebamnya?!
"Bukan urusan mu."
"Dengan mulut pedas mu, aku yakin jika seseorang tengah kau lukai perasaannya, kan?"
Memutar bola mata jengah, Nadin yang terlalu berisik benar-benar sangat mengganggunya. "Hei, lepaskan tangan ku."
"Sayangnya, aku orang yang tak tegaan."
"Sialan! Jangan menarik ku seperti ini!"
Nadin adalah wanita terbuas yang pernah di kenalnya. Terlalu pemaksa sampai-sampai Bian tak punya kesempatan untuk menolak.
Untuk pertama kalinya, pegawai teladan itu melipir dari tugas. Mengabaikan bisik-bisik yang mencurigai kedekatan, membawa Bian ke taman belakang. Merecoki kesibukan di dapur dengan Nadin yang secara berlebihannya meminta batu es di sebuah wadah.
"Duduk."
"Punya hak apa kau mengatur ku, eh?!"
Dughh
"Isshh..."
Lagi-lagi Nadin menjadi pemaksa, menekan kedua bahunya sampai pantatnya jatuh terduduk di bangku.
"Aku hanya ingin membantu. Tak usah pikirkan cara mengucapkan terimakasih pada ku."
Nadin yang tengah berusaha keras memecah batu es, meletakkannya di buntalan handuk. Bian bermaksud mengelak, jika saja wanita itu tak lebih tanggap menekan tengkuknya. Benturan yang mengejutkan tepat di luka lebamnya seketika membuat Bian meringis kesakitan.
"Isshh... Bisa pelan-pelan, tidak?"
"Jangan manja. Lagipula kenapa waktu di pukul tak coba menghindar?"
"Pertanyaan bodoh macam apa itu? Lagipula, mana ku tau kalau ada orang yang berniat buruk pada ku."
"Oh, jadi kau ingin mengatakan jika baru saja di lukai oleh orang gila? Jujur saja, sebenarnya apa sih masalah mu? Orang gila saja merasa terusik oleh kehadiran mu."
Emosi yang makin terpancing, Bian lantas menepis tangan Nadin, berdiri dari posisinya dengan tatapan tajam, siap menghardik wanita yang terlalu lancang ikut campur urusannya. "Kau-"
Kruyuk kruyuk
Jika saja suara perut keroncongannya tak menyela.
"Pfhmm... Hahaa..."
Nadin yang semula kaku seketika terbahak. "Diam!" Gertak Bian yang berusaha tetap mendominasi, meski sangat sulit saat tawa Nadin semakin kencang akibat di dapati raut wajahnya yang sinkron, memerah malu.
"Bangsat!"
Pikir Bian sama sekali tak merasa bahwa perbuatan Nadin membantu, alih-alih malah seakan menginjak-injak harga dirinya.
Nadin pergi, sekembaliannya yang begitu cepat sembari meletakkan baki makanan serta minuman di hadapan Bian.
"Makan!" Ucapan yang seolah memberi titah pada anjing peliharaan.
"Sebenarnya apa niat mu, eh?!"
"Bukankah kau seseorang yang dekat dengan boss besar? Aku hanya tak ingin bermasalah jika nanti kau yang terlalu istimewa ini tiba-tiba di temukan mati hanya karena kelaparan."
"Kau sedang mengolok ku, kan?"
"Setelah ini pulang saja. Aku sudah membantu mu meminta izin pada pak Frans."
"Hei-"
"Sudah ku bilang, aku tak butuh ucapan terimakasih dari mu."
Nadin yang benar-benar pergi, melambaikan tangan bagai sosok malaikat yang tengah berdarma pada setan kecil tak tau diri.
Jika bukan karena situasi mendesak, sudah pasti Bian akan menumpahkan makanan yang ada di hadapannya. Apa boleh buat, meski hidupnya sudah amat tak berguna, setidaknya ia ingin mati tanpa rasa belas kasihan dari siapa pun.
Melewati perjalanan melelahkan untuk bisa sampai ke tempatnya. Setidaknya sejenak ia merasakan kenyang sampai akhirnya kembali merasakan lemah nyaris hilang kesadaran setelah itu.
Matahari yang mulai tinggi, seakan memeratakkan kulit kepala. Suhu tubuh yang meningkat, emosi yang belum stabil akibat Nadin, makin di perparah saat bertemu tatap dengan Tio yang seenaknya nangkring di depan pintu. Jongkok dengan kepala tertunduk lesu, sampai Bian yang bernafsu untuk mencabik-cabik muka yang ngenyir tanpa rasa bersalah saat menyadari kehadirannya itu.
"Bangsat! Berani kau datang ke sini, eh?!"
Plakk
Tio yang berdiri dengan kedua lengan terbuka lebar menyambut pelukan untuk sang kawan, sama sekali tak memperkirakan jika malah pipinya yang di sambangi tamparan keras.
"Hei-hei...! Apa kau hilang akal, eh?!"
Tio yang belagak bodoh, membuat Bian menggeram, makin sadis menancapkan kuku tajamnya tanpa kenal ampun.