"Sial!"
Bian mengumpat kasar, meradang saat lagi-lagi percobaannya untuk melepas beban pikiran selalu berakhir dengan kegagalan.
Demi apa pun, pria kaya raya nan tampan telah rela datang ke gubuknya, menyentuhnya dengan godaan erotis, mengerahkan keperkasaan untuk menggepur miliknya yang basah.
Namun sialnya, Bian yang berusaha menekan segala tumpukan emosi di dadanya malah berakhir buruk. Dirinya yang mengundang dan di detik-detik penyatuan mereka malah libidonya sama sekali tak terangsang, jelas melukai harga diri sang rekan. Yang paling buruk, di saat pria itu terus berusaha menggencarkan sentuhan untuk mematik bara asmara miliknya, dengan lancangnya Bian malah mengotori tubuh pria itu dengan muntahannya.
"Huek!" Rasa mual yang tak tertahankan, Bian terlambat menekan lambungnya yang terus-terusan bergejolak.
Bian terpekik saat pria itu mendorongnya untuk menyingkir dari posisi menunggangnya, menepis lengannya yang berusaha membersihkan kekacauan yang di perbuat. Muntahannya yang makin meluber saat pria itu bangkit dengan tergesa.
"Maaf tak memberitahu mu jika kondisi ku sedang tak baik-baik saja."
"Kau sakit?" Dengan memekik, pria itu merayapkan tangannya kasar ke sekujur tubuh berkeringat milik Bian. Sangat panas.
Seperti kebanyakan orang asing, alih-alih merasa khawatir pria itu malah menatap Bian dengan raut murka, menuduh terlalu jauh. "Gila! Jadi kau ingin menulari ku penyakit mu itu, eh?!"
"Bukan begitu. A-aku-"
"Dasar jalang! Harusnya aku tak terlalu gegabah dengan sedikit memberi mu keistimewaan ini. Taukah kau, untuk pertama kalinya kaki ku menginjak lingkungan kumuh ini hanya untuk seseorang yang tak berharga."
"Jalang?" Ulang Bian yang kemudian berdecih, tak ada bantahan.
"Ya."
Kemudian Bian segera turun dari ranjang reotnya, berusaha meraih lengan sang pria yang terus menepis, memperlakukannya seolah kotoran menjijikkan dengan terus menjauh. Bian bersikeras, masih berharap tak kena bogem mentah saat dirinya yang bergerak pasti untuk menghadang, merebut kaos yang hendak menutupi tubuh atletis itu dari pandangannya. Berhadapan dengan deru napas tersengal, di sudut ruangan lembab nan temaram.
"Ya baiklah, aku memang seperti itu. Tapi sungguh, aku tak seburuk tuduhan mu."
Suara Bian yang lembut makin mencicit. Ciri khas penggoda ulung, mengikis jarak sejengkal demi sejengkal, merabahkan jemari lentiknya mengusap perut keras pria itu. Yakin akan terpesona dengan mata sendunya yang menghipnotis.
"Salahkah jika pria gay yang miskin ini meminta sedikit perhatian? Aku tau hubungan kita masih sangat asing," Bian menjeda ucapannya, menggiring tatapan pria itu untuk melihat perbuatan tangannya yang nakal.
"Akhhh...."
Remasan kasarnya yang seketika membuat kejantanan pria itu memberontak. Seketika seringai muncul di bibirnya, merasa bangga dengan keahliannya. "Tapi tubuh kita sudah sangat akrab, terlalu mengenal masing-masing. Saling memuaskan sampai batas akhir, bukankah itu yang terpenting? Kita bersetubuh."
"Nampaknya aku sudah gila, kejantanan ku yang pilih-pilih ini justru terus terpikat untuk merojok milik mu. Katakan pada ku, apakah aku berpotensi menjadi seorang pecinta pria sungguhan?"
"Kita bicarakan masalah itu nanti, sekarang aku hanya menginginkan mu di dalam ku, tuan... Ahh..."
Setelah banyak drama dengan nyaris berakhir gagal, pada akhirnya Bian bisa mencapai pelampiasan emosinya melalui hasrat bercinta. Tanpa harus menahan jerit kepuasannya, tak peduli jika dinding-dinding tipis membocorkan alunan merdu mereka pada para penguping. Derit ranjang yang nyaris hancur menjadi saksi betapa hasrat keduanya saling tersalur.
Ya, meski pun pagi harinya ia harus merasakan kondisi tubuhnya berkali-kali lipat makin remuk. Bian telah berbaring seorang diri, pria itu meninggalkannya. Tanpa merasa harus sakit hati. "Setidaknya dia pria yang royal," pikirnya saat menyadari puluhan lembar uang telah menaburinya.
Separuh beban kekesalannya pada Mike telah sirnah, dengan semangat Bian meraup lembaran uang itu berharap tak ada yang terselip.
Sejujurnya Bian bukan tipe orang yang menarget buruan hanya pada satu sasaran, tapi untuk pria kemarin rasanya bisa di pertimbangkan. Bian sampai menyimpan nomor ponsel pria itu, satu-satunya dari sekian deret riwayat panggilan tak terjawab.
Brakk
Bian terkesiap, tubuhnya yang bermaksud untuk berbaring tenang seketika langsung tersentak. Pintunya yang tak terkunci di dorong kasar sampai menghantam tembok pembatas. Kunci yang tergantung bergemerincing nyaris terjatuh. Tanpa rasa bersalah, dengan tak tau dirinya si pelaku malah menatap Bian dengan murka.
"Pria mana lagi?!"
Tio, sahabatnya yang tanpa basa-basi langsung mengintrogasi.
"Kau berpapasan dengannya?"
"Seperti biasa, aku selalu kena getah atas perbuatan bejad mu. Hei, bagaimana bisa para tetangga mu itu menyebut ku pria hidung belang?"
"Pria yang menyewa ku selalu tampil mewah, harusnya kau sedikit bangga dengan itu."
"Sialan!"
"Hihihi..." Bian terkikik saat melihat Tio jengkel. Menepis kaos kotor yang terlempar ke arahnya.
"Aku serius, dia siapa!?"
"Hanya kenalan."
"Sebelumnya kalian sudah pernah melakukannya?"
"Apa kau lupa? Dia adalah pria yang menyelamatkan ku dari ceramahan mu minggu lalu. Tapi jangan tanya aku siapa namanya. Selayaknya prosedur dari jasa yang ku tawarkan, rahasia jati diri."
"Sumpah, aku menyesal karena seperti orang bodoh dengan datang kemari sepagi ini, Bi."
"Ehmm... Kau tak bisa pura-pura untuk tak mengkhawatirkan ku, Yo..."
"Kau-!" Bian yang masih gencar untuk menggoda, membuat Tio yang bersunggut sampai tak sanggup berucap apa pun.
"Hei, karena aku sedang ingin bersenang-senang. Bagaimana kalau kau ikut dengan ku? Ku teraktir apa pun semau mu."
Mendengar tawaran itu, Tio yang bersendekap sembari menampilkan wajah bersungut lantas mengenyitkan dahi. Berusaha keras untuk tak nampak terlalu bersemangat mendengar kabar ajakan itu.
"Kemana?"
"Kemana pun."
"Kau masih nampak pucat, tapi di lihat dari tingkah mu seolah kau sudah kembali bergas. Memangnya kau tak kerja saja?"
"Tidak, aku sedang kesal dengan Mike."
"Mike?"
"Sudah, jangan banyak tanya. Kau cukup duduk manis, tunggu aku bersiap!" Perintah Bian sembari menarik Tio untuk duduk di ranjangnya yang menjadi satu-satunya tempat.
"Sialan! Kau telah menodai pandangan ku!"
Ya, Tio memang terlalu berlebihan dengan menjerit ketakutan bak perwanan yang hendak di setubuhi hanya karena di paksa menyaksikan tubuh telanjang Bian yang keluar dari balik selimut dan melenggok santai menuju kamar mandi. Seolah benar-benar pria suci, Tio sampai mengelus dada meski tak mampu menghilangkan pandangannya atas bercak mengering di pantat Bian.
"Menjijikkan. Aishh... Erghh..." Yang kemudian langsung meloncat dari tempatnya sambil berjingkrak. Ranjang yang begitu berantakan dan lembab, membuatnya ketar-ketir jika bekas cairan sperma mengenainya.
"Sialan! Bagaimana bisa aku berakhir menjadi seseorang yang dekat dengan gigolo?"
Bian yang semena-mena dan menyebalkan. Pada dasarnya mereka sama sekali tak saling mengenal lebih mendalam satu sama lain, meski pria yang di sebutkan cukup melekat di cerita Bian.
"Mike. Buat apa dia merajuk pada seseorang yang sudah beristri?"