"Ckck! Kau pasti begadang lagi, kan?"
"Mau bagaimana lagi?" Bian mencebik sembari mengangkat kedua bahu ringkihnya. "Permainan di ponsel membuat ku sedikit lupa waktu." Lanjutnya dengan suara lebih lirih. Bola matanya yang memutar untuk menghindari pandangan pria itu sudah jelas menyimpan kebohongan.
Tanpa ingin mengulik, pria berwibawa dengan setelan kerjanya yang mahal itu hanya mencibir. "Alasan saja."
"Hihihi...." Bian terkikik saat merasakan gelitikkan di pinggangnya. Ya, meski pun setelahnya sikap pria itu membuat bibirnya mendadak cemberut. Bian di turunkan paksa dari tempat sedekat bukti gairah pria itu, sedikit jengkel kala harus mengikuti langkahnya ke arah sofa panjang. Yang berarti kali ini jarak memisahkan mereka.
"Ehm, kak. Bolehkah aku tidur di pangkuan mu?" pinta Bian dengan suara manjanya.
"Tidak. Kau harus sarapan dulu. Jika kali ini kau melewatkan lagi asupan nutrisi pagi, aku bisa jamin kalau hanya membutuhkan waktu beberapa bulan saja untuk membuat mu nampak seperti tulang belulang."
"Kau sangat berlebihan."
"Juga dengan kantung mata mu yang semakin tebal. Demi apa pun, kau nyaris seperti zombie, Bi."
"Kak... Bisa tidak, sekali saja tak mengolok ku?" Rengek Bian sembari mengetuk-ngetukkan tungkai kaki telanjangnya ke bawah sofa.
"Nyatanya seperti itu, kan?"
Bian lantas membuang napas kasar, menghentakkan punggungnya ke belakang sofa. Lengan bersendekap dengan wajah kecilnya yang merajuk.
"Sumpah, sekarang aku mulai berpikir jika menemui mu tanpa energi yang cukup itu adalah kesalahan besar yang bodohnya terus ku ulangi."
"Benar sekali. Jadi sebelum banyak berpikir tentang sikap ku, alahkah baiknya kau gerakkan rahang mu untuk menggunyah beberapa suap nasi."
Tokk tokk tokk
"Masuk!"
Bersamaan dengan perintah final pria itu, pintu di ketuk dari luar. Bungkusan makanan di bawa Amel masuk seolah sudah di persiapkan sebelum kedatangannya.
"Kau bisa langsung pergi, Mel. Terimakasih."
"Sama-sama, pak."
Dengan tanpa ragu, bahkan pria itu membuat Bian tersipu hanya karena tindakan pria itu yang mau merepotkan diri dengan menyusun makanan siap saji itu di atas piring.
"Habiskan."
Pria itu berdiri dari tempatnya, Bian buru-buru mencekal pergelangannya sebelum sempat jarak memisahkan mereka.
"Jika aku menghabiskan ini semua, kau akan menuruti permintaan ku kan, kak?"
"Kau memang terbiasa bernegosiasi, ya?"
"Heheh... Aku harus memastikan keuntungan yang ku dapat sebelum melakukan sesuatu."
"Ku rasa strategi penawaran dengan di sertai paksaan milik mu ini cukup ampuh. Aku akan bertanya serius untuk kesekian kalinya, apa kau tak berminat untuk menjadi rekan bisnis ku?"
.
.
.
Mikhael kjaernett, seorang pria tampan dengan hati yang begitu lembut membuat Bian terlalu sering tertarik untuk menjadi pemilik. Pola pikir yang begitu dewasa, begitu ideal untuk menjadi seorang kekasih sepanjang masa. Kekayaan berlimpah yang membuat hidupnya bermartabat. Setidaknya untuk menyeimbangi kehidupannya yang terlanjur sial sejak awal, pikirnya.
"Ku laporkan, kau..."
"Heh! Apakah kau tuli?"
Pemikiran terlalu berat yang sering kali membuat Bian lupa segalanya. Pria sempurna itu sudah tak lagi ada di radar pandangannya. Pijakannya berubah, bahkan waktu pun terlalu cepat berlalu. Sesaat membuatnya terhuyung, nyaris terjungkal atas dorongan kasar yang makin keras mencengkramnya.
Nadin, wanita pembencinya terang-terangan itu. Memang ada yang lain?
"Ini masih pagi. Kau pikir pelayan seperti kita punya hak untuk melayangkan jiwa kapan saja hanya untuk berhalusinasi?"
"Apa kau bisa diam?"
"Ah ya, aku tau... Pasti pria pemalas seperti mu sedang berkhayal menjadi golongan kaya raya, ya? Barang-barang mewah dan pelayan yang kalau perlu sampai memanggul mu supaya kaki mu tak sampai ternodai tanah? Para wanita yang akan kau beli keperawanannya?!"
Bian menghela napas kasar merasakan denyutan di kepalanya yang makin menjadi. Makin parah saat hardikan tajam wanita gila itu mengusik. Hal itu memang bukan hal baru, bahkan seolah menjadi rutinitas paginya merasakan kesakitan, siksaan yang di mulai sejak matanya terbuka. Suasana hatinya yang tak kunjung membaik, terlebih saat bertemu tatap dengan Nadin, si pemilik suara toa yang kali ini berkacak pinggang di hadapannya itu.
"Aku tau apa yang kau pikirkan, sudah menyiapkan buruan untuk kau mangsa? Gadis polos kaya raya yang pastinya akan dengan mudah kau perdaya? Wanita karir yang hanya butuh seks sesekali? Atau kau yang terlalu ambisius sampai rela menjadi kucing untuk wanita paruh baya yang hampir menopause?"
"Ku pastikan hidup mu sudah terpengaruh sinetron. "
"Eh?"
"Demi apa pun, aku bisa saja balas melaporkan mu atas gangguan yang menyebabkan ku terhambat dalam bekerja ini."
Bian lantas beranjak pergi, meninggalkan rekan wanitanya yang bisa melotot tajam dengan wajah merah padam. "Sialan!"
Konyolnya, walau sering beradu mulut dengan melontarkan kalimat-kalimat kasar dan merendahkan, bisa membuat kedua sudut bibir Bian tertarik lebar. Ya, pada dasarnya mengumpat adalah kata buntu, tak bisa lagi beradu, wanita itu kalah telak terhadapnya.
Namun sayangnya, hiburan menyenangkan itu sedikit pun tak membuat keadaannya membaik.
Pukul sebelas malam, untuk pertama kalinya Bian tak sedikit pun bergejolak untuk lompat dari pembaringannya dan melarikan diri untuk berjingkrak di lantai dansa. Ranjang kecilnya mendadak jadi tempat ternyaman.
Bian yang terbiasa aktif meliukkan tubuh kecilnya, saat ini benar-benar tanpa daya. Sisi panas yang membuat jiwanya bergelora, saat ini hanya rasa mengganggu yang seperti sangat sulit untuk di singkirkan.
Tubuh kecilnya meringkuk, bibir pucatnya yang bergemelutup, mata sayup-sayup yang sangat sulit di bujuk untuk sekedar terpejam.
"Ergghh... Sialan!" Desisnya sengau. Mendadak kedua kakinya punya kekuatan. Selimut yang membuntalnya terlempar jatuh. Bian berlari terberit-birit, nyaris merobohkan pintu sekat kamar mandinya.
"Huekk!" Memuntahkan sisa makanannya.
"Huekk!"
Aroma muntahan di tambah rasa pahit di lidah membuat Bian terus-terusan memompa habis isi lambungnya.
Bian sangat jarang sakit, tapi jika kondisinya sudah melemah membuatnya seolah tak berdaya untuk melakukan apa pun.
Kembali ke ranjangnya dengan menumpu lengan di apa pun yang bisa di jangkau. Bibirnya di katup rapat berharap tak lagi mual. Wajahnya basah, "Sial!" Namun lagi-lagi mendesaknya untuk mengumpat saat merasakan bagian depan kaosnya juga ikut basah, Bian buru-buru melepaskannya. Bukan mewanti-wanti kondisi diri yang bisa saja semakin parah, dengan masih bertelanjang dada Bian malah melemparkan tubuhnya begitu saja ke atas ranjang dengan kaki yang masih menggantung. Menyibukkan diri dengan memotret wajah pucatnya dan mengirimkannya pada Mike.
"Hihihi..."
Dan benar saja, upayanya mencari perhatian itu langsung mendapatkan respon. Panggilan video masuk ke ponselnya.
"Hal-"
"Kau mau masih angin? Pakai pakaian mu, Bi."
Bian sampai tak bisa menahan tawa cekikikannya sewaktu Mike yang nampak khawatir sampai menyela salam darinya.
"Apa aku perlu mengulang lagi ucapan ku?"
"Tapi kau telat untuk memperingati ku, kak."