Chereads / BUKU SIHIR SANG RAJA ELF / Chapter 7 - Ahli Pedang Bersaudara

Chapter 7 - Ahli Pedang Bersaudara

Wedden terdiam, dia sudah mulai memahami keadaannya. Dia juga sudah mengerti seperti apa hebatnya kekuatan mantra itu sehingga bisa mengalahkan Kimanh yang bahkan telah membunuh pemilik dari buku pusaka itu sendiri, Rapher sang raja Elf.

"Perjalanan menuju Selatan akan sangat memakan banyak waktu, apalagi kita tidak mengetahui dengan pasti dimana buku pusaka itu disimpan oleh keluarga Elf. Jadi, aku menyarankan kalian harus memanfaatkan waktu yang ada supaya kalian sempat mencapai gerhana bulan sebelum dunia menjadi gelap untuk selamanya."

Ley benar-benar berjiwa pemberani, dari cara berbicaranya saja pria berambut merah marun ini sudah sangat jelas terlihat kalau dia telah sering melakukan peperangan dan perjalanan jauh.

Ren yang dari tadi diam, kini dia sedikit menajamkan pendengarannya. Dia mendengar gemuruh air hujan yang tiba-tiba mengguyur desa di ujung Utara ini.

"Kurasa mereka mengikuti langkahmu," ujarnya kepada si keriting Wedden yang tampak tidak tenang.

Tao berlari masuk kedalam rumah dengan keadaan basah kuyup dan berwarna gelap. Ini memang hujan dari sihir Kimanh yang mulai menyebar kesegala penjuru negeri.

Ley telah memutuskan untuk ikut berkelana dengan kedua pria yang mengenakan mantel jingga itu. Dia telah sangat siap memperjuangkan hidupnya demi melihat kekalahan sang raja kegelapan. Ren sangat beruntung dengan adanya bantuan dari sang ahli pedang, hanya saja dia sedikit keberatan dengan ikutnya sang adik yang menyebalkan itu. Tao telah menyiapkan pedang dan mantelnya ketika Ley mengatakan bahwa dia akan ikut serta dalam misi penyelamatan dunia. Dia sangat optimis dan berani untuk menghadapi apapun penghalang mereka di tengah perjalanan.

"Tak bisakah kau meninggalkan dia?" ujar Wedden yang jelas tidak menyukai sosok Tao muda.

"Jangan khawatir, dia tidak akan merusak perjalanan kita. Dia bahkan sangat ahli dalam pertarungan," jawab Ley yang telah menyiapkan pedang dan beberapa persediaan makanan untuknya dan Tao selama perjalanan.

"Dia pernah bertarung?" pangeran Ren tampak kagum dengan pria muda yang sangat menyayangi keledai peliharaannya itu.

"Hanya pertarungan kecil, melawan gnome hutan," sahut Ley dengan sedikit tawa ringannya.

Hujan masih menyisakan rintik-rintik kecilnya, dan matahari masih semu terlihat. Ren dan Wedden yang mendapat pasukan baru dalam perjalanannya itu melanjutkan langkah mereka menuju pegunungan mata gergaji yang berada di bagian timur persei dan merupakan satu-satunya jalan yang akan menuntun mereka ke negeri selatan.

Jubah merah terang yang dikenakan kedua Arkstone bersaudara itu melindungi tubuh mereka dari pandangan si kucing penyihir jika mereka masih menginginkan darah sang pewaris raja Elf.

Perjalanan di siang yang gelap akibat mendung hujan sihir ini terasa semakin berat dengan susahnya boot mereka untuk diangkat karena tertahan lumpur. Mereka harus melanjutkan langkah ketika melewati sungai kecil Rivei yang berlumpur hitam nan lengket. Mereka saling bergandengan satu sama lain untuk saling membantu untuk mengangkat kaki mereka dari dalam lumpur sungai itu.

Hujan sudah semakin menghilang ketika mereka berhasil melewati sungai berlumpur lengket Rivei dan kini mulai menapaki padang rumput yang sangat luas menuju ke pegunungan mata gergaji. Padang rumput ini sama sekali tidak memiliki tempat untuk bersembunyi, bebatuan besarpun tidak ada di sepanjang mata memandang.

Yang mereka butuhkan sekarang hanyalah terus melangkah dan menemukan tempat untuk beristirahat sekaligus bersembunyi di malam yang mulai datang. Rumput tebal dan tinggi itu membuat pria muda Tao hampir tidak terlihat karena kalah tinggi dengan rerumputan liar itu. Dia hanya melangkah cepat dan tetap berada tepat di belakang sang kakak agar dia tidak kehilangan jejak pria yang lebih besar darinya itu.

Langkah para pengelana itu terhenti tiba-tiba ketika ada sebuah anak panah yang terlepas menuju arah mereka dan nyaris mengenai kepala pangeran Soutra.

Semuanya segera menyiapkan senjata mereka masing-masing dan memasang sikap waspada. Tapi mereka tidak menemukan adanya tanda-tanda kehadiran seseorang dari arah manapun. Ren memungut anak panah berwarna emas yang tertancap di tanah, dia segera mengenali pemiliknya dari adanya lambang sayap di bagian pangkalnya.

"Ini milik peri Lembah," ujarnya masih mengamati sekitar, "Tapi dimana mereka? Kenapa mereka menyerang tanpa menampakkan diri?" gumamnya kesal merasa diserang diam-diam.

Beberapa saat setelah Ren mengamati sekitar, tiba-tiba selusin anak panah kembali menghujani keempat pengelana itu dan menancap di tanah melingkari mereka.

Mereka masih mengamati sekitar, dan akhirnya munculah sosok tinggi kurus pasukan pria yang mengenakan jubah berwarna kelabu dengan busur dan anak panah ditangan mereka. Mereka adalah peri lembah, tepat seperti yang telah dikatakan pangeran Ren tadi. Mereka berambut hitam panjang, dan memiliki telinga yang meruncing mirip dengan telinga yang dimilik oleh Wedden. Si keriting itu segera meraba telinganya setelah melihat sosok pasukan peri itu.

Peri lembah sangat membenci penyusup, apalagi mereka berasal dari daerah yang tidak di ketahui oleh bangsanya.

Manusia, memang makhluk yang tidak pernah disukai oleh bangsa peri karena sifat liciknya yang dapat mencelakakan bangsa manapun yang sedang bersama dengan manusia itu.

Seorang peri yang merupakan pemimpin dari pasukan peri lembah itu segera memerintahkan penangkapan kepada para manusia penyusup yang telah berani melangkahkan kakinya di daerah kekuasaan mereka. Tanpa protes apapun, para pengelana itu dibawa ke istana menghadap raja peri lembah yang akan memberi hukuman bagi siapapun yang telah berani menginjak tanah kekuasaannya.

Keempat pengelana hanya pasrah dan tidak ingin melawan untuk sebuah peperangan melawan pasukan yang berjumlah berkali kali lipat dari jumlah mereka. Rambut panjang para peri lembah itu sedikit memberi nilai positif bagi mereka dan membuat mereka tampak menawan dengan tampang pembunuh mereka.

Wedden, sesekali menoleh kepada sang pangeran Soutra dan membandingkan penampilannya yang cantik dengan penampilan para peri lembah yang tetap terlihat gagah meskipun rambut panjangnya berkibaran terkena hembusan angin senja.

Si Tao muda memberikan sedikit perlawanan kepada peri yang membawanya, tapi kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan peri lembah itu yang dengan kuatnya mencengkeram lengannya di belakang.

"Kurasa model rambut mereka cukup keren," celoteh mulut kecilnya mulai putus asa dengan percobaan perlawanannya.

Perjalanan menuju istana peri lembah memakan waktu yang cukup lama, dan cukup untuk membuat tangan para tawanan menjadi sakit akibat cengkeraman kuat para peri lembah.

Memang jenis makhluk yang susah untuk dimengerti bagi Wedden, mereka sama sekali tidak ada mengucapkan sepatah katapun sejak dari awal mereka membawa para tawanan dari padang rumput hingga sekarang yang sudah memasuki kawasan istana yang megah dan kelabu di dasar lembah Giger, satu-satunya lembah yang namanya sering didengar oleh si keriting Wedden.

Lembah ini tidak akan terlihat dari ketinggian karena tertutup oleh lebatnya pepohonan raksasa yang berada di sekitar lembah yang sekaligus menjadi gerbang istana. Istana peri ini pun terlihat sederhana dengan ukurannya yang relatif sempit dibanding dengan kerajaan milik Raja Soutra. Kerajaan ini berbentuk meruncing dan menyerupai gua, karena banyak terdapat stalaktit yang bergelantungan didalam istana.

Semuanya berwarna kelabu dengan semburat emas yang berkilau indah ketika terkena cahaya dari bunga Adensil, bunga peri yang dapat bercahaya karena adanya serbuk peri kuno dari jaman leluhur para peri.

***