Wilma Herdian mengurut pelipisnya, tiba-tiba merasa pusing.
Apa-apaan William Lee ini? Rindu pada Wilma Herdian, katanya? Sampai harus mengganggunya dua malam berturut-turut. Sungguh, terlalu.
"Pak William, tapi ini sudah malam. Apa tidak ada waktu lain yang bisa Bapak pilih untuk menelpon Wilma?" Wilma Herdian berbicara dengan suara rendah.
Kata-kata Wilma Herdian, yang tanpa dipikir panjang meluncur begitu saja dari mulutnya, seolah memberi sinyal untuk William Lee. Mengizinkan pria lajang itu, untuk menghubungi Wilma Herdian lagi, lain waktu.
["Besok aku telpon gak malem-malem lagi, deh, Sayang."] William Lee menyeringai, membuat Wilma Herdian menepuk jidatnya.
Aduh! Salah ngomong. Batin Wilma Herdian.
["Aku juga mau ngecek, apa ponselmu rusak, Wil?"] Wajah William Lee berubah serius.
"Nggak, Pak. Gak rusak, cuman kemarin Wilma matiin, abis kesel sama Bapak! Telpon malam-malam." Wilma Herdian berbicara lirih dan cepat.