Chereads / Terpotek Cinta CEO Botak Tapi Ganteng / Chapter 13 - .013.Apakah Menolak Pemberian Harus Disertai Alasan?

Chapter 13 - .013.Apakah Menolak Pemberian Harus Disertai Alasan?

William Lee menatap sahabatnya dengan wajah murka dari balik layar ponselnya, setelah hilang rasa terkejutnya.

Rudi Setiawan, tertawa terbahak, hingga suara tawanya itu terdengar hingga lantai satu, ruang ticketing.

"Puas kau tertawakan aku, heh?"

Rudi Setiawan kembali tertawa. Menyeka sudut matanya.

"Apa yang terjadi? Mengapa ponsel Wilma ada padamu, hah?"

"Seharusnya kau perhatikan wajah terkejutmu itu. Sungguh lucu dan konyol! Jauh dari kata CEO dingin, yang disematkan untukmu." Alih-alih menjawab pertanyaan William Lee, Rudi Setiawan terus mengejeknya.

"Rud ...." William Lee terdengar serius.

"Kalau kau ingin mendekati karyawanku. Saranku, lupakan saja! Wilma tidak tertarik dengan harta kekayaanmu."–Rudi menjeda ucapannya sesaat, melihat reaksi William Lee–"Dia tidak sama dengan para wanita cantikmu itu," lanjutnya.

"Jadi, apa yang terjadi?" William Lee masih bersikukuh menuntut penjelasan.

"Kau tidak merasakannya? Dia menolakmu, William Lee. Sudah lupakan saja. Dia tidak cocok bersanding denganmu. Wilma wanita baik-baik."

"Bukan tipe wanita yang akan mudah menerima barang mewah untuk kau bujuk naik ke ranjangmu." Kali ini Rudi Setiawan mengucapkannya dengan sungguh-sungguh.

"Omong kosong!" Serta merta William Lee memutuskan sambungan panggilan videonya.

Suara tawa Rudi Setiawan kembali menggema hingga lantai satu. Para bawahannya menjadi bingung. Ada apa dengan bos mereka?

*

Pukul delapan malam.

Wilma Herdian dan Kartika Sari bersiap-siap untuk pulang dari TTO, setelah memastikan semua barang berharga milik TTO aman di tempatnya.

Seperti biasa, Kartika Sari dijemput oleh tunangannya, dan mereka meninggalkan Wilma Herdian di belakang.

Andi Pratama menawarkan menemani Wilma Herdian hingga halte, namun ia menolaknya dengan halus. Dengan alasan tidak ingin merepotkannya. Dan, ia ingin belajar mandiri.

Dan di sinilah Wilma Herdian, berjalan sekitar satu kilo meter menuju halte. Tiba di sana, halte tampak sepi. Wilma Herdian memutuskan untuk duduk di bangku sembari menunggu angkot, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Wilma Herdian memeriksa tasnya, dan melihat di layar ponselnya, nomor yang tidak ia kenal. Ragu-ragu untuk menjawab, hingga akhirnya memutuskan untuk menerimanya pada dering ke lima.

"Wilma, kamu di mana?" Suara di seberang sana langsung to the point.

Wilma Herdian mengerutkan dahi. Mengira-ngira siapa lelaki yang menghubunginya.

"Ini siapa?" Terdengar helaan napas di seberang telepon.

"Kamu di mana, Wil?"

***

Maybach hitam tampak memasuki lahan gedung perkantoran yang telah sepi. Pengemudinya turun dengan tergesa-gesa dan langsung menuju TTO Majapahit Air yang telah tutup tidak lebih dari sepuluh menit lalu.

Menghampiri dua orang satpam TTO Majapahit Air yang tengah berjaga, dan bertanya tentang Wilma Herdian. Kedua satpam itu menjawab, Wilma Herdian pulang sekitar sepuluh menit lalu, sendirian.

Mendengar Wilma Herdian pulang sendirian, pria itu lantas masuk kembali ke dalam mobilnya dan memberitahukan kepada tuannya, bahwa wanita yang dicarinya sudah pulang, dan hanya sendirian.

Pria pelontos yang duduk di kursi penumpang belakang lantas menghubungi nomor Wilma Herdian. Menunggu dengan tidak sabar panggilannya diangkat.

Tanpa basa-basi, William Lee yang baru keluar dari lahan parkiran langsung bertanya lokasi Wilma Herdian. Meminta Ronald Nasution membawa mobilnya perlahan sambil memperhatikan kiri jalan. Mencari sosok Wilma Herdian.

Dua kali ia bertanya, Wilma Herdian tidak juga menjawab pertanyaannya, hingga tiba-tiba ia mendengar dari balik telepon suara teriakan Wilma Herdian.

"Lepas! Lepasin! Tolong! Tolong!"

William Lee makin memfokuskan matanya mencari sosok Wilma Herdian. Sambil terus mendengarkan suara dari balik teleponnya. Semoga tidak terlambat.

Di balik kemudi, Ronald Nasution netranya menangkap seorang wanita tengah berebut tas dengan seorang lelaki tinggi besar, tidak jauh dari lokasinya. Lekas, ia memacu kendaraannya. Dan berhenti tepat di depan halte. William Lee langsung turun dari mobilnya, bahkan saat mobil itu belum berhenti sempurna.

"HEI KAMU!" Suara teriakan William Lee menghentikan sesaat aksi lelaki tinggi besar yang tengah merebut paksa tas Wilma Herdian.

Merasa ada orang lain, lelaki itu pun hendak melarikan diri, namun berhasil dikejar William Lee. Dan ....

BUGH! BUGH! BUGH!

"Pak William, sudah, Pak! Cukup, Pak! Pak Ronald, tolong pisahin, dong, Pak!" Wilma Herdian berteriak ngeri melihat aksi William Lee menghabisi penjambret yang sepertinya tengah mabuk–tercium aroma alkohol dari hembusan napasnya. Tubuh tinggi besarnya adalah lawan seimbang bagi lelaki yang kini terkapar di bawahnya.

William Lee lantas menarik kerah lelaki yang telah babak belur tersebut. Memaksanya bangkit dan mengikutinya.

Seingat William Lee, tidak jauh dari TTO Majapahit Air adalah kantor polisi, dan ia membawa lelaki itu ke sana. Diikuti Wilma Herdian. Sementara Ronald Nasution kembali ke mobilnya dan memutar balik, menuju kantor polisi.

***

Usai membuat laporan di kantor polisi, William Lee bersikeras untuk mengantar pulang Wilma Herdian hingga ke rumahnya. Meski tentu saja pada awalnya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu.

Dengan alasan, menjamin keselamatannya, dan tidak lagi terjadi hal yang serupa, akhirnya Wilma Herdian menerima tawaran William Lee.

"Ini." William Lee menyodorkan sebuah kotak ke hadapan Wilma Herdian, setelah mereka berada dalam perjalanan menuju rumah Wilma Herdian. Kotak yang sama dengan yang telah Wilma Herdian titipkan pada bosnya, Rudi Setiawan, sore tadi.

Rudi Setiawan, melalui kurirnya telah mengembalikan hadiah pemberian William Lee untuk Wilma Herdian, sore itu juga. Dan, mau tidak mau, William Lee menerima kembali hadiah itu. Dan menyimpannya, untuk diberikan langsung pada Wilma Herdian nanti.

Wilma Herdian terlihat enggan menerimanya. Membuat William Lee menarik sebelah tangan Wilma Herdian dengan tangan satunya, agar ia mau menerima kotak itu.

"Buat ganti ponselmu yang rusak." Seketika Wilma Herdian teringat ponselnya yang terlempar di halte saat mempertahankan tas miliknya. Dan ia melupakan ponsel itu, karena tergesa-gesa mengikuti William Lee ke kantor polisi.

"Aku tidak suka barang pemberianku dikembalikan." William Lee berkata dengan tegas. Nada suaranya begitu dingin. Membuat siapa pun akan merasa ngeri dan mengikuti perintahnya. Tapi tidak dengan Wilma Herdian.

"Maaf, Pak. Saya gak bisa nerimanya."

"Kenapa?"

Wilma Herdian menghela napas. Apakah menolak pemberian dari seseorang harus selalu disertai dengan alasan? Wilma Herdian, berpikir keras, agar William Lee tidak lagi memaksa kahendaknya.

"Pertama, barang ini terlalu mewah, Pak. Harganya saja bisa untuk memberi makan orang-orang miskin yang kelaparan, banyak sekali."

"Ke dua, aku tidak membutuhkan barang mewah. Aku akan beli ponsel baru dengan uangku sendiri, dengan harga sesuai budget."

"Ke tiga, jika aku menerima barang ini, Bapak pasti bakal menagih sesuatu kepadaku lain waktu. Dan itu, aku tidak akan mampu, Pak."

Alasan terakhir yang dilontarkan Wilma Herdian spontan membuat William Lee tertawa. Menggelengkan kepalanya. Selepas itu, ia menatap tajam iris mata Wilma Herdian. Meski keadaan di dalam mobil itu temaram, namun Wilma Herdian bisa merasakan tatapan dingin sang CEO yang awalnya terasa hangat, menjadi dingin.

Ronald Nasution memerhatikan dari balik kaca spion. Gadis ini, sangat berani menolak pemberian William Lee. Benar-benar langkah yang keliru. Ia hafal betul tabiat tuan mudanya, semakin ditolak, William Lee akan semakin agresif dalam bertindak. Coba saja.