Wilma Herdian memakan bagiannya dengan perlahan. Ingin terlihat anggun di depan Andi Nugraha. Meski, pada dasarnya, tindakan itu tidak perlu.
Andi Nugraha sudah mengenal Wilma Herdian sejak gadis hitam manis itu terlahir ke dunia. Pada saat itu, pandangan matanya tak beralih, saat menatap wajah dengan mata terpajam Wilma Herdian untuk pertama kalinya.
Andi Nugraha tertawa kecil, saat melihat cara makan Wilma Herdian yang tiba-tiba mendadak menjadi anggun.
"Apa ada yang lucu, Kak?" tanya Wilma Herdian, menatap lurus manik mata Andi Nugraha.
Andi Nugraha menggeleng sambil tetap tersenyum. "Tumben, makannya terlihat anggun."
Wilma Herdian tampak tersinggung, berdecih sekali. "Aku, tuh, sedang berusaha jadi gadis yang baik, makan yang baik. Malah diketawain."
Andi Nugraha tampak menahan tawa. Dan ini tidak luput dari penglihatan Wilma Herdian.
"Apalagi yang lucu?!" ketus Wilma Herdian.
"Itu." Andi Nugraha memberi isyarat dengan telunjuknya, menunjuk salah satu sudut bibir Wilma Herdian.
Wilma Herdian yang paham, langsung menyeka sudut bibir yang dimaksud, untuk membersihkannya. Namun, justru tindakannya membuat Andi Nugraha tidak tahan lagi untuk melepas tawanya.
"Kak Andi, igh!!" Wilma Herdian melempar begitu saja tisu bekas yang dipakainya untuk menyeka sudut bibirnya.
"Sini, sini." Serta merta Andi Nugraha mengambil selembar tisu baru, dan menyeka sudut bibir Wilma Herdian yang belepotan sirup cokelat
"Untung kamu makan sama aku, Wil." Andi Nugraha baru saja menghabiskan waffle bagiannya. Bersih tak bersisa.
"Memangnya kenapa?" Wilma Herdian menyuap satu sendok waffle terakhirnya.
"Kalau kamu makan dengan orang kaya itu, pasti makanmu lebih kaku dari ini. Cara makanmu pasti dipermasalahkan."
Wilma Herdian mengerutkan dahi. Orang kaya? Orang kaya yang mana?
Seperti bisa membaca pikiran Wilma Herdian, Andi Nugraha lanjut berkata, "William Lee."
Wilma Herdian terdiam beberapa saat. Mengingat makan siangnya terdahulu, untuk menemani CEO botak itu. Seingatnya, Wilma Herdian makan biasa saja, dan William Lee tidak mempermasalahkan cara makannya.
Mengingat, bagaimana pada saat itu, Wilma Herdian memotong beef steaknya asal dan tidak beraturan. Bahkan, William Lee memberikan bagiannya yang telah dipotong persisi. Sangat sempurna!
"Pak William, tidak bicara apa-apa soal cara makanku," ujar Wilma Herdian.
"Yeah, saat itu belum. Pesanku, jangan lagi menerima tawaran makan darinya." Andi Nugraha menghabiskan jatah milkshake cokelatnya.
"Habiskan minumanmu, kita pulang." Andi Nugraha menunjuk gelas Wilma Herdian yang masih terisi seperempat gelas.
"Aku kenyang, Kak." Satu porsi waffle dengan aneka topping, memang cukup mengenyangkan bagi perut sebesar milik Wilma Herdian.
Tanpa pikir panjang, Andi Nugraha mengambil gelas milik Wilma Herdian. Dalam sekejap, gelas itu sudah kosong. Membuat Wilma Herdian terdiam sesaat.
"Ish! Kalau mau jatah aku bilang, dong, Kak! Gak usah basa-basi pake nyuruh habisin."
Andi Nugraha hanya menanggapi dengan tertawa, kemudian beranjak dari kursinya, menuju kasir untuk membayar semua pesanannya.
Andi Nugraha menyerahkan helmnya untuk Wilma Herdian. Kemudian mereka pulang.
Wilma Herdian selama perjalanan pulang, mendadak menjadi lebih banyak terdiam. Membuat Andi Nugraha menarik sebelah tangan Wilma Herdian untuk dilingkarkan di pinggangnya.
"Kalo kamu diem aja, dan gak lingkarin tangan kamu, aku gak akan tahu, lho, kalo tiba-tiba kamu jatoh di jalan, Wil," goda Andi Nugraha, karena Wilma Herdian menolak melingkarkan tangannya ke pinggang Andi Nugraha beberapa kali.
"Oh." Ucapan singkat Wilma Herdian, setelah mendengar penjelasan Andi Nugraha yang terdengar sedikit berteriak, agar suaranya terdengar, di antara bisingnya suara motor bebek miliknya.
"Seperti ini, ya?" Tiba-tiba saja Wilma Herdian memeluk begitu erat pinggang Andi Nugraha. Membuat Andi Nugraha menghentikan laju motor bebeknya, tiba-tiba juga, karena terkejut.
Tanpa sengaja, dada Wilma Herdian menyentuh punggung Andi Nugraha. Menimbulkan getaran aneh di dada Andi Nugraha.
Ini bukan sentuhan pertama bagi mereka. Dahulu, Andi Nugraha kerap kali menggendong Wilma Herdian di punggungnya, setiap kali Wilma Herdian mengeluh kakinya yang pegal, jika habis berjalan jauh.
Akan tetapi itu dahulu. Jauh sebelum ini. Terakhir kalinya Andi Nugraha menggendong Wilma Herdian di punggungnya, saat Wilma Herdian kelas dua sekolah menengah pertama. Dan pada saat itu, fisik Wilma Herdian masih seperti anak-anak. Belum berkembang seperti sekarang.
"Kak Andi?" suara Wilma Herdian mengembalikan kesadaran Andi Nugraha.
Pria berjanggut tipis itu berdeham sekali, untuk menghilangkan kegugupannya. "Ya, pegangan yang erat, Wil. Aku jalan lagi."
Andi Nugraha mengantarkan Wilma Herdian dengan selamat ke rumahnya.
"Mau mampir dulu, Kak?" tawar Wilma Herdian, setelah menyerahkan helmnya kepada Andi Nugraha.
"Tidak. Aku langsung jalan lagi."
Andi Nugraha masih bergeming di tempatnya. Membuat Wilma Herdian bertanya kembali, "Kakak nunggu apa?"
"Kamu masuklah. Baru aku pulang."
"Ish, pulang aja, Kak. Aku mau liat Kak Andi pulang."
"Nggak. Aku tunggu Wilma masuk rumah. Baru aku tenang untuk pulang." Andi Nugraha bersikeras.
Namun, Wilma Herdian pun tidak mau mengalah. Bersikukuh ingin melihat Andi Nugraha pulang, baru akan memasuki rumahnya.
Merasa tidak ada gunanya melanjutkan debat, sementara hari semakin sore. Andi Nugraha mematikan mesin motor bebeknya, dan turun. Membuat Wilma Herdian tersenyum.
"Aku antar kamu masuk ke rumah." Andi Nugraha menarik tangan Wilma Herdian. Menggenggamnya hingga memasuki pekarangan rumahnya.
Di depan pintu rumah, Andi Nugraha menatap Wilma Herdian sambil berkata, "Jadi gadis yang baik. Masuk sana. Hari makin sore."
Lama mereka hanya saling bertukar pandang. Tidak ada satu pun yang beranjak lebih dahulu. Tidak Wilma Herdian, yang segera masuk ke rumahnya. Mau pun Andi Nugraha yang beranjak dari teras depan rumah Wilma Herdian.
"Wilma ...." Andi Nugraha bergerak maju selangkah. Sedikit membungkuk agar bisa sejajar dengan Wilma Herdian.
Tangan Andi Nugraha terulur menyentuh sebelah pipi Wilma Herdian. Membuat Wilma Herdian tercengang.
Andi Nugraha mendekatkan wajahnya. Membuat hati Wilma Herdian terasa tidak menentu. Jantungnya berdetak lebih cepat.
Demi meredakan gemuruh di dadanya, Wilma Herdian memejamkan matanya. Apa pun yang akan terjadi. Terjadilah. Begitu yang Wilma Herdian pikirkan. Pasrah.
Hingga beberapa detik berlalu, yang terasa lama. Wilma Herdian tidak merasa Andi Nugraha melakukan sesuatu kepada dirinya. Memutuskan membuka matanya perlahan.
Wilma Herdian terkejut, saat mendapati Andi Nugraha begitu dekat dengan wajahnya. Hidungnya hampir saja menyentuh hidung Wilma Herdian.
Napas Andi Nugraha yang dirasakan Wilma Herdian menerpa wajahnya, terasa hangat dan wangi aroma cokelat.
"Masuklah. Jangan membuat ayah dan ibumu khawatir, Wil." Andi Nugraha menjauhkan wajahnya, dan sebelah tangannya, yang sesaat lalu menyentuh pipi Wilma Herdian, ia gunakan untuk mencubit pipinya.
Wilma Herdian yang merasa malu, karena beberapa detik lalu berpikir yang tidak-tidak, segera mendorong menjauh tubuh Andi Nugraha yang jauh lebih tinggi dari Wilma Herdian.
Berjalan tergesa meninggalkan teras rumahnya, membuka pintu dengan tergesa, kemudian masuk, dan segera menutup pintunya kembali, dengan sedikit membanting. Meninggalkan Andi Nugraha begitu saja.