Butiran cairan di kening Wilma Herdian mulai bermunculan. Jantungnya berdetak tidak normal. Perasaan tidak enak menjalar dari rongga dadanya, turun ke perutnya.
"Kak Rere, kalau Pak William datang, bilang Wilma ke toilet dulu, ya, Kak. Terserah mau nunggu apa nggak." Wilma Herdian langsung beranjak dari kursinya.
Membuat beberapa calon penumpang yang sedang melakukan reservasi, mau tidak mau menoleh ke arahnya. Dengan pandangan risih. Tidak sopan, mungkin begitu pikir mereka.
Wilma Herdian lekas menunaikan hajatnya. Perutnya tiba-tiba terasa mulas. Sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan, saat perasaan panik menyerangnya.
Beberapa menit berlalu. Wilma Herdian menyengaja memperlambat gerakannya. Berdiam lebih lama di dalam toilet. Mencuci tangannya, kemudian mematut diri ke dalam cermin yang tergantung di atas westafel kamar mandi.
Tarik napas, buang napas. Tarik napas, buang napas. Menarik napas sekali lagi sebelum tangannya memutar knop pintu kamar mandi.
Berjalan perlahan menuju ruang ticketing. Di depan pintu yang tertutup, yang memisahkan ruang depan dan belakang kantor, Wilma Herdian mengintip sejenak dari balik kaca pintu sebesar diameter sepuluh sentimeter.
Tampak seseorang di sana, tengah duduk bersandar di sofa khusus pelanggan yang menunggu antrian, apabila TTO sedang ramai. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Sesekali melirik jam dinding.
Wilma Herdian menarik napas kembali dan menghembuskannya. Dengan yakin, memutar knop pintu. Suara decit pintu membuat CEO dingin tersebut menoleh.
Tatapan matanya membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Termasuk Wilma Herdian. Lekas ia menunduk. Tahu, dirinya telah berbuat kesalahan dan membuat seorang William Lee menantinya, lebih dari sepuluh menit yang lalu.
William Lee beranjak dan segera menghampiri Wilma Herdian yang masih saja bergeming di balik pintu. Setengah badannya masih bersembunyi di balik pintu.
Pintu itu terbuka lebar, saat telapak tangan William Lee mendorongnya ke arah depan. Sebelah tangannya yang lain menarik pergelangan tangan Wilma Herdian. Dan memaksanya mengikuti langkah pria dingin di depannya.
"Sebentar, Pak." Wilma Herdian menghentikan langkahnya, saat mereka melewati meja yang biasa Wilma Herdian gunakan.
"Tasku," lanjutnya dengan suara tercekat.
Serta merta William Lee melepaskan pegangan tangannya. Membebaskan Wilma Herdian untuk mengambil tas miliknya, di balik meja. Matanya mengikuti arah ke mana Wilma Herdian berjalan. Seolah Wilma Herdian adalah barang berharga miliknya, dan jika ia lengah, seseorang akan mengambilnya.
Tas Wilma Herdian sudah di tangan. Ia berpamitan kepada teman-temannya. Langkahnya terasa diburu-buru. Tangan William Lee kembali menarik pergelangan tangannya.
Di depan pintu mereka berpapasan dengan Andi Nugraha–salah seorang travel agent, tatapan matanya begitu rumit. Menatap Wilma Herdian dan berhenti di tangannya yang tergenggam oleh tangan William Lee.
Demi kesopanan, Wilma Herdian menyapanya. Namun, sama sekali tidak dibalas oleh Andi Nugraha. Pria berjanggut tipis, dengan rambut belah tengah. Perawakannya hampir setinggi William Lee.
Wilma Herdian lantas terus mengikuti langkah William Lee, sebuah Maybach hitam menanti di parkiran. Asistennya, Ronald Nasution, terlihat membukakan pintu untuk Wilma Herdian, sedangkan William Lee membuka pintu mobil untuk dirinya sendiri, di sisi lainnya. Keduanya masuk ke dalam mobil mewah itu hampir bersamaan.
"Jalan ke mana, Bos?" tanya Ronald Nasution, asisten sekaligus supir pribadi William Lee, ketika ia telah duduk di balik kemudi.
"Wilma, kau suka makanan laut?" tanya William Lee lembut. Senyum tipis terlihat dari bibirnya.
"Aku alergi makanan laut." William Lee mengangguk.
"Apa kau vegetarian?"
"Aku biasa memakan sate kambing saat perayaan." Wilma Herdian enggan menjawab pertanyaan William Lee.
"Ke Resto Beef Steak & Shake 26. Beef steak dan milkshakenya terkenal enak." William Lee memerintahkan Ronald Nasution.
Setelah itu, William Lee terlihat sibuk dengan ponsel berlogo apel, tangannya dengan gesit menggerakkan stylus pen di atas layar.
Merasa tidak ada yang bisa Wilma Herdian lakukan atau memulai percakapan, ia pun mengeluarkan ponsel miliknya. Hanya ponsel biasa, bukan seperti milik William Lee. Bahkan, ponselnya hanya bisa digunakan untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan telepon.
Di layar, ia melihat ada beberapa pesan singkat dari rekan dekatnya di kantor, dan pesan singkat dari Andi Nugraha.
Wilma Herdian mengerutkan dahi. Pria ini, tadi Wilma Herdian menyapanya saat berpapasan, namun tidak dibalas. Sekarang, mengirimkan pesan. Maunya apa?
Tanpa pikir panjang, Wilma Herdian membuka pesan Andi Nugraha. Ingin mengetahui apa yang ia kirimkan.
[Andi Nugraha: Kau mau pergi ke mana dengan CEO casanova itu?]
Casanova katanya? William Lee seorang Casanova?
Tanpa sadar, Wilma Herdian melirik pria di sampingnya. Sedikit khawatir meliputi hatinya, jika William Lee mencuri baca pesan singkat dari Andi Nugraha.
Merasa aman–William Lee masih sibuk dengan ponsel pintarnya, Wilma Herdian membalas pesan singkat Andi Nugraha.
[Wilma Herdian: apa itu CEO casanova?]
[Andi Nugraha: Playboy. William Lee seorang playboy, gemar berganti-ganti pasangan.]
Apa? Playboy katanya? William Lee ternyata seorang playboy? Oh, setidaknya, ia bukan pria beristri. Semoga. Harap Wilma Herdian dalam hati.
[Wilma Herdian: Kau yakin? Aku diminta menemaninya makan siang. Tidak ada yang spesial.]
Pesan terkirim. Tidak lama, Andi Nugraha membalasnya.
[Andi Nugraha: Buat apa aku bohong. Hati-hati. Jangan jatuh cinta padanya.]
Membaca pesan balasan Andi Nugraha, spontan membuat Wilma Herdian terkekeh. Yang tentu saja langsung menarik perhatian CEO beruang kutub di sampingnya.
Jatuh cinta katanya? Pada William Lee? Pria dingin, arogan, suka memaksa? Apa menariknya? Sungguh menggelikan. Batin Wilma Herdian.
"Apakah ada yang lucu?" William Lee terlihat tertarik ingin melihat ponsel milik Wilma Herdian, yang tentu saja ditolaknya mentah-mentah.
"Tidak ada." Wilma Herdian menjawab singkat dan langsung menyingkirkan ponsel jadulnya dari hadapan William Lee. Memasukkanya kembali ke dalam tas miliknya.
Sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah mall dan turun terlebih dahulu di lobi. William Lee kembali menggenggam tangan Wilma Herdian.
Mereka berjalan hingga ke tengah-tengah mall, kemudian turun ke lantai dasar. Menuju Resto Beef Steak & Shake 26. Tempat itu terlihat sepi, padahal sudah memasuki jam makan siang, sementara tempat makan lainnya terlihat ramai.
"Selamat datang di Resto Beef Steak & Shake 26, Tuan Lee dan Nona Wilma," sapa petugas greeter menyambut kedatangan William Lee dan Wilma Herdian.
Kemudian seorang waiter mengantar mereka menuju meja yang telah dipersiapkan. Meja yang letaknya cukup jauh dari pintu masuk restoran, dan sedikit tertutup dari luar.
William Lee menarikkan kursi untuk Wilma Herdian, membuatnya menjadi canggung. Ia sendiri dilayani oleh waiter pria yang sejak tadi berdiri di samping meja.
William Lee memberi kebebasan untuk Wilma Herdian memilih sendiri jenis beef steak kesukaannya. Beserta minumannya.
Seketika ia bingung. Selama ini, saat sang ayah masih aktif bekerja, ia baru tiga kali makan beef steak, yang semuanya ayahnyalah yang memilihkan menu untuknya.
Selain itu, harganya lumayan fantastis. Untuk ukuran kantong karyawan ticketing. Wilma Herdian tidak ingin terlihat memanfaatkan William Lee dengan memilih menu yang mahal. Di sini, ia hanya menemani makan siang sang CEO.
"Aku ikut pilihan Bapak aja." Wilma Herdian berkata dengan sopan.
William Lee memesankan untuk mereka wagyu rib eye import. Steak dari daging wagyu rib eye import yang diolah dengan cara di grill atau dipanggang. Disajikan dengan kentang lokal, mix vegetable, mushroom dan brown sauce khas Resto Beef Steak & Shake 26.
"Wilma, mau minuman apa?" Kembali William Lee memberi Wilma kebebasan memilih minuman kesukaannya.
Wilma Herdian membuka-buka buku menu, sebelum akhirnya memilih. "Milkshake chocolate special, boleh?"
William Lee memesankan pilihan Wilma Herdian, milkshake rasa cokelat dengan topping ice cream cokelat di atasnya. Dan milky blueberry, untuk dirinya sendiri. Milkshake vanilla yang dicampur dengan buah blueberry yang segar.
Sekitar lima belas menit mereka menanti. William Lee tampak begitu santai. Tetapi tidak dengan Wilma Herdian.
"Kenapa, Wilma? Apa mendadak sakit perut lagi?" Sesaat Wilma Herdian menatap deretan meja dan kursi di sekitarnya yang tampak kosong.
Kemudian Wilma Herdian baru tersadar, di restoran yang menyajikan beragam menu beef steak yang konon menurut William Lee, enak dan lezat itu, hanya mereka berdua yang makan di sana.
"Apa makanan di restoran ini tidak enak?"
Wilma Herdian, seumur hidupnya memang belum pernah mencoba menu beef steak di restoran ini. Jadi, belum tahu seperti apa rasa beef steak di sini.
Meski Wilma Herdian yakin, dengan harga sekian rupiah yang nominalnya lumayan, tentu memiliki rasa yang lezat. Tidak mungkin, semua pengunjung di mall ini tidak mampu membayar beef steak di restoran yang hanya menyajikan aneka menu beef steak dan milkshake.
Senyum William Lee terkembang. Menatap Wilma Herdian yang menanti jawabannya.