Chapter 4 - .004.Upeti

"Pak William?" lama-lama Wilma Herdian merasa jengah. CEO dingin ini, bukannya menjawab pertanyaannya, malah menebar senyum.

"Pak Ronald juga, kenapa gak dateng-dateng, ya? Kita belum pesenin apa-apa buat asisten Bapak, lho," lanjutnya.

Alih-alih menjawab, William Lee meraih tangan Wilma Herdian, agar berhenti berbicara.

Spontan, Wilma Herdian menarik tangannya, sebelum tangan William Lee menggenggamnya. Akan aneh rasanya, Wilma Herdian, yang bukan siapa-siapa bagi William Lee mendapat perlakuan yang berlebihan.

Mulai dari sejak mereka berangkat dari TTO, menarik tangannya. Kemudian menggandeng tangannya dari lobi hingga ke dalam restoran. Menarikkan kursi untuknya.

Wilma Herdian merasa, ini tidak benar. Ini sebuah kesalahan, menemaninya makan siang.

"Pak, maaf. Mohon jangan melewati batas. Saya di sini hanya menemani Bapak makan siang."

Tanpa diduga William Lee tertawa. Meski tidak sampai ke matanya.

"Baiklah." William Lee menarik tangannya kembali.

"Aku memang sengaja menyewa tempat ini. Agar privasi kita terjaga." William Lee menjelaskan hal yang seketika membuat Wilma Herdian lupa menutup mulutnya.

"Ma–maksud, Bapak?"

"Atau, Wilma lebih suka keramaian?"

Belum sampai Wilma Herdian menjawab pertanyaan William Lee, pesanan mereka telah datang.

Beef steak disajikan di atas hotplate panas, harum aroma daging yang terkuar, sesuai dengan tampilan wagyu rib eye yang tampak lezat.

Steak dari daging wagyu rib eye import yang diolah dengan cara digrill atau dipanggang. Disajikan dengan kentang lokal, mix vegetable, mushroom dan brown sauce khas Resto Beef Steak & Shake 26. Benar-benar menggugah selera makan.

Wilma Herdian mencoba memotong-motong beef steak menjadi seukuran dadu. Namun, hasilnya tidak sesuai harapan.

William Lee tersenyum. Ditukarnya beef steak miliknya–yang sudah terpotong sempurna, dengan milik Wilma Herdian.

Wilma Herdian, diam terpaku. Rona merah muncul di wajahnya. Betapa memalukannya, memotong beaf steak saja ia tidak becus.

"Daging harus dipotong berlawanan arah serat."–William Lee memberi jeda, menatap Wilma Herdian, memastikan ia mendapat perhatiannya–"Memotong daging dengan arah yang berlawanan dari serat, bertujuan untuk membuat serat menjadi lebih pendek."

"Serat yang lebih pendek, lebih gampang dikunyah. Kalau seratnya panjang-panjang, dikunyahnya, tuh, bakal susah. Paham?"

"Siap, Pak." Wilma Herdian lantas mencocol potongan daging ke dalam brown sauce.

"Bagaimana?"

"Enak, Pak." Wilma Herdian mengacungkan dua jempol setelah menelan makanan di mulutnya.

Ia masih ingat ajaran ibu dan ayahnya, untuk tidak berbicara saat mulut dalam keadaan penuh makanan. Selain tidak sopan dan tidak sedap dipandang mata. Besar kemungkinan tersedak makanan.

William Lee tersenyum, memperhatikan Wilma Herdian yang begitu menikmati beef steaknya.

"Bapak, gak makan?" Wilma Herdian baru menyadari, beef steak miliknya yang kini ada di depan William Lee. Potongannya terlanjur tidak persisi.

Mungkin, hal itu menjadikannya hilang selera makan? Pikiran Wilma Herdian seketika membuatnya merasa tidak enak hati.

"Bapak mau tukar lagi?"

William Lee tertawa. Pertanyaan polos yang keluar dari mulut Wilma Herdian benar-benar menghiburnya hari ini. Tidak salah ia memaksanya untuk menemaninya makan siang.

Bahkan, hingga menghubungi Rudi Setiawan, BM TTO tempat Wilma Herdian bekerja, agar mengijinkan karyawannya menemaninya makan siang. Tentu saja dengan beberapa syarat.

William Lee harus mengembalikan karyawannya tepat waktu, tidak merayunya, apalagi mempermainkannya. Menjaganya baik-baik.

Rudi Setiawan cukup mengenal siapa William Lee. Seleranya pada wanita cukup tinggi. Dan ketika ia mengetahui William Lee tertarik pada Wilma Herdian, hal itu cukup membuatnya tercengang.

Wilma Herdian, bukan hanya terlihat masih polos–mengingat usianya baru delapan belas tahun, namun parasnya jauh dari kata cantik–meski tidak jelek juga, jika dibandingkan dengan para wanita yang selama ini datang dan pergi silih berganti di dalam kehidupan pribadi seorang William Lee.

Sejauh ini Rudi Setiawan masih sekadar mengamati, apa tujuan sebenarnya seorang CEO yang memiliki banyak pengalaman dengan para wanita dewasa, mendekati karyawan barunya.

Ia tidak akan tinggal diam tentu saja, jika William Lee tidak menepati janjinya.

Wilma Herdian, meski baru dua bulan bekerja, kepribadian dan semangatnya untuk bekerja patut diacungi jempol, kecuali tentu saja, jika sudah berhubungan dengan pelanggan VVIP yang satu itu–William Lee. Maka dari itu, Rudi Setiawan tidak ingin kehilangan karyawan baru yang rajin itu.

"Kudengar, kau berhenti kuliah?" Suara William Lee memenuhi indra pendengaran Wilma Herdian. Pria itu mulai memakan bagiannya.

Wilma Herdian seketika berhenti menyuapkan beef steak ke dalam mulutnya. Alih-alih, ia hanya memutar-mutar potongan daging itu di atas hotplatenya. Haruskah ia jujur?

"Bapak abis baca resume saya, ya, Pak?" Tuduhan Wilma Herdian hampir tepat. Namun, yang sebenarnya, ia bertanya langsung kepada Rudi Setiawan.

"Boleh tahu alasannya?"

Huh, keluh Wilma Herdian. Perlukah orang seperti William Lee mempertanyakan alasannya? Tentu saja, karena ia tidak sanggup membayar uang kuliahnya. Setidaknya untuk sekarang. Namun, Wilma Herdian tidak menyuarakan suara hatinya.

Wilma Herdian akan fokus kepada kedua adiknya terlebih dahulu, sambil menabung untuk biaya kuliahnya nanti. Cita-citanya masih ada, namun ditunda sementara waktu.

"Tidak mengambil beasiswa?" William Lee mengambil kesimpulan sendiri, karena Wilma Herdian tidak memberitahukan alasannya.

Wilma menggeleng lemah. "Persyaratannya ada yang gak bisa saya penuhi." Wilma Herdian kembali terdiam.

"Kita ganti topik aja, Pak. Tugas saya, kan, menemani Bapak makan siang." Wilma Herdian mengeluarkan senyum terbaiknya. Meski hatinya gundah.

"Baik. Ceritakan pengalamanmu bekerja di TTO. Apa kau menikmatinya?" Wilma Herdian mengangguk tanpa ragu.

Ia sangat menyukai pekerjaannya. Terlebih para senior dan karyawan lainnya begitu kompak. Wilma Herdian menceritakan segala hal yang berhubungan dengan TTO dan para calon penumpangnya dengan wajah berseri-seri.

"Kapan kamu libur, Wil?" tanya William Lee tiba-tiba, di tengah-tengah cerita pengalaman Wilma Herdian.

"Sabtu besok libur, tapi Ahad harus masuk." William Lee mengangguk.

Beef steak di hadapan mereka berdua tanpa terasa sudah tandas. Tinggallah keduanya menikmati milkshake pesanannya masing-masing, yang rasanya juga enak di lidah.

Waktu hampir menunjukkan pukul satu siang. Batas waktu istirahat Wilma Herdian. Ia harus segera kembali ke TTO.

Perjalanan dari mall ke TTO hanya berkisar sepuluh menit. Masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi. William Lee membereskan tagihan makan siangnya. Kemudian membawa Wilma Herdian ke Kedai Donat Jecki.

Wilma Herdian hanya diam mematung, saat William memilih beberapa jenis donat. Ia membeli empat lusin. Setelah itu mereka kembali ke lobi, William Lee terlihat menghubungi asistennya.

Tepat pukul satu siang, Wilma Herdian kembali ke TTO. Dalam keadaan utuh, selamat, dan tentu saja, membawa upeti untuk rekan-rekannya.

William Lee menyerahkan tiga lusin donat untuk Wilma Herdian. Dua lusin untuk rekan-rekannya, dan satu lusin untuk Wilma Herdian dan keluarganya di rumah.

Awalnya Wilma Herdian menolak dengan halus, tentu saja. Namun, bukan William Lee jika ia tidak bisa memaksakan keinginannya.

"Aku biasa membelikan mereka makanan, jauh sebelum kamu bekerja di sana. Jadi jangan khawatir." Ucapan William Lee sebelum akhirnya Wilma Herdian menerima donat itu dan turun dari mobil milik William Lee, yang langsung membawanya kembali keluar dari area parkir di depan gedung TTO.

Rekan-rekannya di dalam tentu saja memperhatikannya. Apalagi kalau bukan upeti yang Wilma Herdian bawa di kedua tangannya.