"Temani aku makan siang." William Lee tersenyum simpul. Pandangan matanya sungguh terlihat licik. Menatap lurus iris mata Wilma Herdian.
"Aku akan kembali tepat pukul dua belas siang. Dan jangan bersembunyi lagi," lanjutnya.
Pandangan matanya beralih pada Rere Walid. "Rere, pastikan Wilma berada di tempatnya saat aku kembali."
Selepas berbicara dengan nada memerintah, William Lee beranjak dari kursinya, setelah mengambil tiket dan KTPnya. Berjalan menuju pintu, dan kembali mengenakan kacamata hitamnya.
Semua karyawan dan para satpam yang bertugas tentu saja mengucapkan terima kasih dan selamat jalan kepada pria yang terkenal dingin itu dengan senyum terbaik. Ketika pria tersebut melewati mereka. Kecuali Wilma Herdian.
Matanya masih tampak kosong. Menatap pintu yang telah tertutup otomatis.
"Wil," tegur Rere Walid. Tangannya menepuk bahu Wilma Herdian.
Seketika Wilma Herdian menghela napas lelah, menempelkan sebelah pipinya di atas meja, menghadap Rere Wildan.
"Jika aku kabur darinya, apa aku akan dipecat?" Wilma Herdian terlihat lesu.
Baru dua bulan masa percobaan. Sebulan lagi, ia baru bisa tenang dan bisa melanjutkan kontrak kerjanya. Dia membutuhkan pekerjaan ini.
Ayahnya masih bekerja serabutan, sebagai montir panggilan. Pendapatannya tidak menentu.
Di rumah, Wilma Herdian masih memiliki dua adik yang masih usia sekolah. Anak nomor dua baru kelas dua, sekolah menengah pertama, laki-laki. Dan adik bungsunya, baru saja kelas tiga, sekolah dasar, perempuan.
Membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk sekolah mereka berdua. Karena keduanya terlanjur bersekolah di sekolah swasta. Andaikan mereka bersekolah di sekolah negeri, mereka bisa terbebas dari biaya bulanan. Namun, tetap masih membutuhkan uang untuk membeli buku dan peralatan sekolah.
"Aku tidak tahu, Wil. William Lee, kan, memang terkenal dingin. Jarang sekali ia datang sendiri untuk mengambil tiketnya ke TTO." Rere Wildan mencoba terdengar netral.
"Baru dua bulan ini dia sering datang ke TTO ...." Rere Wildan menggantungkan kalimatnya.
Berharap Wilma Herdian paham, penyebab CEO sekelas William Lee, yang memiliki banyak bawahan yang bisa ia perintahkan untuk mengurus segala keperluannya. Termasuk mengambilkan tiket untuknya. Adalah kehadiran Wilma Herdian di TTO itu.
Wilma Herdian memejamkan mata sejenak. Kepalanya mendadak pening.
Yang benar saja! Makan siang dengan beruang kutub botak itu? Batin Wilma Herdian.
Meski Wilma Herdian akui dengan jujur, tampang William Lee cukup tampan. Bahkan dengan kepala pelontosnya, tidak mengurangi kadar ketampanannya. Andai memiliki rambut, mungkin akan banyak wanita yang makin terpesona padanya.
Yeah, kecuali dengan predikat beruang kutubnya itu, yang disematkan oleh para seniornya, yang justru mereka dapatkan dari mulut asisten kepercayaan William Lee sendiri, kala sang asisten, Ronald Nasution, mengambil tiket untuk sang bos besar.
"Kamu sakit, Wil?" Tiba-tiba saja, BM TTO sudah berada di ruangan ticketing. Berdiri memperhatikan karyawan barunya–dengan kepala menempel di meja.
Seketika Wilma Herdian membenarkan posisi duduknya dan kembali merapikan penampilannya. Bosnya berada di hadapannya, bisa-bisa menurunkan penilaiannya dalam masa percobaan ini. Pikirnya.
"Gak, kok, Pak. Hanya sedikit lemas." Wilma Herdian tidak sepenuhnya berbohong. Tubuhnya tiba-tiba lemas, memikirkan jam makan siangnya nanti.
"Istirahat dulu kalau gitu, Wil. Jangan sampai sakit." BM TTO bernama Rudi Setiawan memberi kelonggaran.
Merasa diperhatikan, Wilma Herdian, dalam hatinya menjadi merasa tidak enak. Sebagai karyawan baru, harus menunjukkan performa terbaiknya.
"Aku gak mau, membuat kencanmu dengan William Lee batal, karena kamu kurang sehat," lanjut sang BM TTO sambil tersenyum simpul.
Ya, Tuhan ... bahkan BM TTO ini tahu rencana William Lee mengajaknya makan siang, saat jam istirahat nanti? Yang benar saja! Wilma Herdian membatin, tidak percaya.
Seperti itukah tingkah orang kaya? Menindas orang-orang di bawahnya. Memaksanya dengan segala cara, agar keinginannya tercapai.
Oh, Wilma Herdian butuh parasetamol kali ini. Kepalanya benar-benar merasa pusing.
"Wil, kamu serius sakit?" Rere Wildan memegang bahu Wilma Herdian, kemudian meletakkan sebelah tangannya di dahinya, untuk memastikan suhu tubuhnya tidak demam.
Wajah Wilma Herdian terlihat pucat.
Pandangan rekan-rekannya yang lain, yang telah selesai menerima panggilan telepon, atau mengeluarkan tiket untuk travel agent, tertuju kepadanya.
Ada yang menatapnya iba, ada pula yang menatapnya dengan mencemooh.
Menurut rekannya yang mencemooh, Wilma Herdian bereaksi terlalu berlebihan. Hanya menemani makan siang seorang William Lee saja, sampai harus berpura-pura sakit. Bagaimana jika yang mengajaknya seorang presiden?
"Ini minum dulu, Wil." Salah seorang satpam yang bersimpati dengan keadaan Wilma Herdian, menyodorkan segelas teh manis panas.
"Terima kasih." Wilma Herdian menghirup sedikit demi sedikit teh manis panas pemberian pak Arifin Suseno.
Beberapa saat, tubuhnya terasa membaik. Wilma Herdian memutuskan untuk kembali bekerja. Dan menerima ajakan makan siang William Lee.
Menolaknya untuk kesekian kalinya pun tidak akan berguna baginya. Wilma Herdian harus menerimanya. Tho, hanya menemani makan siang, bukan hal besar.
Setidaknya hari masih terang. Jika William Lee mencoba berbuat macam-macam, akan ada banyak orang yang masih terjaga. Lain halnya jika itu adalah makan malam. Apalagi hari ini bukan akhir pekan. TTO tutup di jam delapan malam.
Wilma Herdian duduk dengan gelisah. Satu jam lagi, tepat pukul dua belas siang.
Rekan-rekannya yang mendapat giliran shift siang hingga malam, mulai berdatangan satu per satu.
Dan dengan cepat, berita ajakan William Lee terhadap Wilma Herdian, yang mendapat restu dari BM TTO menyebar di antara rekan-rekan shift ke dua.
Mereka semua mengucapkan selamat dan menggoda Wilma Herdian yang tampak gugup.
"Jangan lupakan upeti untuk kita-kita, ya, Wil." Bang Joe, karyawan senior yang mendapat giliran shift ke dua, mulai menggoda Wilma Herdian.
Kompak semua menyetujui ucapan bang Joe. Dan mulai membahas upeti apa yang mereka inginkan.
"Donat Jecki."
"Pizza."
"Burger Queen."
"Martabak."
Satu-satu mulai menyebutkan upeti versi mereka masing-masing. Yang tentu saja tidak digubris oleh Wilma Herdian.
Upeti, katanya? Butuh berapa banyak ia mengeluarkan uang untuk membeli upeti-upeti itu? Wilma Herdian mulai berhitung dalam hati.
Jumlah karyawan di TTOnya ini ada sekitar enam belas karyawan–termasuk satpam empat orang, ditambah enam anak magang. Bisa-bisa habis sudah gaji satu bulan miliknya.
Hei, itu hanya sebuah makan siang biasa. Bahkan Wilma Herdian tidak memiliki hubungan apa pun dengan William Lee. Jadi upeti itu, untuk merayakan apa?
"Tenang, Wil. Gak perlu membelikan apa pun untuk bang Joe dan teman-teman." Rere Wildan menenangkan kegundahan hati Wilma Herdian. Memang senior yang baik hati.
"Iya, gak usah dengerin omongan bang Joe dan anak-anak, sih. Santai aja, Wil. Mereka cuma mau godain kamu aja." Kartika Sari, salah satu rekan terbaiknya, selain senior Rere Wildan ikut menenangkan.
Seketika beban berat di hati Wilma Herdian terangkat. Setidaknya, gajinya sebulan utuh.
Tidak ada perayaan apa pun. Maka tidak ada upeti.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat. Jam di dinding TTO menunjukkan sepuluh menit lagi, tepat pukul dua belas siang.
Wilma Herdian kembali menghela napas berat.
***
BM: Branch Manager TTO, seorang pimpinan cabang.