Chereads / The Guardians : Seeker / Chapter 9 - Eira

Chapter 9 - Eira

"An apa yang kamu temukan." Membersihkan pikiran yang menggangu, kewaspadaan Audrey mulai meningkat ketika dia sadar situasinya sudah di luar kendali.

"Kupikir ini duri landak, tunggu." Suara terkejut An terdengar dari kawah kecil. "Sepertinya ini tulang."

"Kamu yakin, itu tulang." Menutup matanya, Audrey perlahan berbicara. "Abir, temukan bukit."

"Ya. Aku yakin itu tulang."

"Baik. Kembalilah ke posisimu." Melihat orang-orang tua dan anak-anak masih ketakutan karena rentetan peristiwa yang terjadi, Audrey mengayunkan tangannya dan seketika cahaya hijau keluar dari tanaman di sekitar mereka dan mulai menyelimuti mereka, setiap kelelahan dan luka kecil yang mereka terima mulai sembuh.

Melihat mereka memandangya, Audrey tersenyum meyakinkan. "Abir, sudahkah kamu menemukannya."

"Enam ratus meter di depan, ada bukit kecil di sana." Abir menunjuk ke depan, di mana sekilas terlihat gundukan tanah yang terhalang pepohonan.

"Baik persiapkan dirimu, jangan biarkan kewaspadaanmu melonggar." Meskipun Audrey telah menyembuhkan kelelahan mereka bagaimanapun juga yang dia sembuhkan adalah fisik bukan mental, jadi dia memperingatkan mereka lagi.

Enam ratus meter adalah jarak pendek yang dapat ditempuh dalam waktu beberapa menit, apalagi ketika tubuh manusia mulai berubah dalam beberapa tahun ini jarak enam ratus meter tidak akan memakan waktu yang lama. Namun demikian, dengan adanya musuh yang bersembunyi di bayangan masih butuh tiga puluh menit bagi mereka untuk mencapainya.

"An singkirkan pepohonan yang menghalangi." Melihat letak bukit, Audrey menunjuk pepohonan dan memerintahkan An untuk membersihkannya.

"Abir, Tempo dan kamu. Perhatikan sekeliling dan jangan biarkan mereka menyergap kita." Audrey memandang Bahr dan memberi perintah sambil berjalan menuju para penyintas.

Berdiri di depan penyintas, Audrey tersenyum lembut dan bertanya. "Bagaimana keadaan kalian. Adakah yang terluka?"

"Terima kasih. Sejauh ini baik-baik saja." Seorang lelaki tua berjalan mendekatinya. Lelaki tua itu terlihat kurus dengan punggung bungkuk, dari awal sampai akhir dia berjalan dengan dibantu oleh seorang pemuda.

Tidak jauh di belakangnya, beberapa orang mengikuti keduanya. Dan satu kesamaannya, orang-orang ini semuanya sudah tua dan mereka membutuhkan bantuan agar bisa berjalan.

"Tetua sekalian. Silahkan duduk." Melambaikan tangannya, rerumputan mulai memanjang dan membentuk sebuah bangku tepat sejumlah orang-orang tua. Tidak hanya itu, beberapa pepohonan juga mulai tumbuh dan memanjang membentuk sebuah kanopi yang melindungi mereka semua dari hujan yang turun.

Kelima orang tua itu berjalan dan duduk di bangku dengan bantuan para pemuda dan anak-anak. Masing-masing dari mereka saling melirik sepertinya sedang mencoba memutuskan sesuatu, tetapi dari tatapan khawatir anak-anak serta para pemuda jelas itu bukanlah hal yang baik.

Melihat mereka akhirnya mengangguk dengan ekspresi tegas dan terlihat ingin berbicara, Audrey tiba-tiba mulai berbicara. "Tetua, aku mengerti niat kalian. Tapi aku mohon tolong percaya pada kami, dan meskipun kalian melakukannya bukan berarti keadaan akan membaik."

Melihat orang-orang tua itu mulai meragukan keputusan mereka, Audrey mulai tersenyum dan melanjutkan. "Tetua, lihatlah sekeliling. Lihat cucu-cucumu, mereka semua mengkhawatirkan kalian semua. Jadi tolong tetap bersama kami, meskipun bukan untuk dirimu sendiri, setidaknya untuk cucu-cucumu."

Seolah-olah menyadari apa yang terjadi, mereka kemudian memandang sekeliling dan menyadari kekhawatiran yang terlihat di mata cucu-cucu mereka. Melirik satu sama lain, mereka akhirnya tersenyum kecut dan memandang Audrey dengan tatapan terima kasih.

Meninggalkan ruang untuk mereka, agar mereka dapat mengeluarkan seluruh isi hati mereka, Audrey melihat seluruh letak bukit dengan sebuah pikiran di benaknya.

...

Beberapa menit kemudian, apa yang dulunya adalah bukit kini menjadi sebuah benteng. Benteng yang seluruhnya terbuat dari kayu, lebih spesifiknya benteng itu terbuat dari pohon. Karena terlihat jelas bahwa struktur benteng itu terdiri dari cabang dan batang pohon yang saling terhubung dan terjalin satu sama lain, apalagi beberapa cabang dan ranting masih memiliki dedaunan yang lebat yang terlihat bergoyang-goyang tertiup angin.

Terlebih lagi, akar pohon masih terhubung dengan tanah, dan banyak duri tajam mencuat dari dinding benteng itu. Jika melihatnya dari jauh jelas sekali bahwa itu bukanlah benteng tapi pohon biasa seperti layaknya tumbuhan pada umumnya.

Selain itu, di dalam benteng terdapat ruang terbuka yang di tengah-tengahnya berdiri sebuah rumah yang dapat menampung dua puluh orang, dan seperti benteng, rumah tersebut juga terbuat dari pohon.

Jika bukan karena suara desingan anak panah dan auman monster maka pemandangan benteng pohon di kedalaman hutan akan layak untuk dinikmati.

Berdiri di atas benteng Tempo terus menerus menembakkan anak panah tanpa lelah, tidak jauh dari sana Bahr terbaring terlentang dan kadang-kadang suara dengkuran terdengar darinya. Di sisi lain, An sedang duduk tegak dengan tangan disilangkan di depan dadanya, tidak diketahui apakah dia tertidur atau tidak.

Sedangkan untuk Audrey dan Abir keduanya duduk di ruangan, tidak diketahui apa yang sedang mereka bahas.

"Sudahkah kamu menemukannya?"

Menggelengkan kepalanya dengan lembut, Abir tiba-tiba mengingat sesuatu dan memutuskan untuk bertanya. "Bukankah..."

Tanpa menunggu Abir menyelesaikan kalimatnya, Audrey yang sedang termenung sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuk jarinya, memotong kalimatnya. "Aku tahu yang kamu maksud, tapi deteksi bukan keahlianku. Selain itu aku harus mengetahui arah umumnya, dan monster itu lebih licik dari dugaanku."

Mengerucutkan alisnya, Audrey memikirkan bagaimana caranya dia bisa mengatasi monster yang bersembunyi di bayangan. Selain itu dia juga sedikit jengkel mengenai Z yang pergi tanpa pemberitahuan apapun, bukan berarti dia tidak pernah melakukan tindakan itu malahan dia sering hilang entah kemana dan berakhir dengan luka disekujur tubuhnya.

Tapi setidaknya biarkan dia mengetahui keseluruhan situasinya, mungkin dengan itu dia dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi daripada bertindak sendiri dan bersikap seolah-olah penuh dengan misteri. Memijat pelipisnya dengan lembut, Audrey mengeluh pelan. "Haaah. Meskipun ini menjengkelkan, tapi aku berharap penyihir itu ada disini."

"Heeeh. Apakah telingaku ini menipuku? Audrey Si Ratu Hutan, yang kepalanya lebih tinggi dari siapapun ternyata berharap banyak padaku. Mungkinkah aku harus merasa terhormat dengan itu." Sebuah suara halus penuh dengan ejekan terdengar dari udara.

Terkejut dengan suara itu, Audrey bergegas keluar dari ruangan dan menemukan sosok yang perlahan turun dari langit. Sosok itu tertutup oleh jubah putih tanpa tahu jenis kelaminnya tetapi dari suara merdunya jelas dia seorang gadis. Dengan sepasang sayap di punggungnya, sosok itu perlahan turun dan membuka tudungnya, seketika seolah seluruh dunia hening. Jika seseorang melihatnya pasti akan terlintas di pikirannya sebuah pertanyaan, apakah dia seorang dewi.

Wajahnya sangat cantik di luar kata-kata namun wajah cantiknya penuh dengan ketidakpedulian, bukan berarti dia memandang rendah semuanya tapi sama seperti es, karena es tidak memandang siapapun ketika dia memancarkan rasa dinginnya. Seperti itulah lambang kecantikannya seolah tercipta secara khusus untuknya.

Perlahan berjalan menuju Audrey, rambut biru es panjangnya yang tergerai perlahan-lahan tertiup angin bersamaan dengan butiran es halus yang beterbangan akibat dari sepasang sayap es yang telah terurai.

"Jadi, haruskah aku merasa terhormat?" Secercah senyum mengejek terlihat di wajahnya yang sedingin es. Senyuman itu bukannya menyebabkan wajahnya terlihat buruk, malahan itu membawa pesona yang menambah kecantikannya yang sedingin es.

"Hmph. Kamu benar telingamu menipumu. Bahkan jika itu benar-benar terjadi, maka kamu harus benar-benar tersanjung." Mendengar ejekannya, Audrey mendengus pelan menolak mengakuinya.

"Heeeh. Tapi tetap saja itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa kamu lebih rendah dariku."

"Apa katamu! Aku. Lebih rendah darimu!?" Menyipitkan matanya sambil menutupi mulutnya dengan tangan, Audrey tertawa kecil dan mencemooh. "Ini adalah kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang pernah mengurung diri tujuh hari tujuh malam karena tidak bisa satu kelompok dengannya."

Mendengar itu, semburat dingin perlahan keluar dari tubuhnya. Mengikuti dingin itu, es perlahan-lahan mulai menutupi area di sekeliling gadis itu.

"Aku menantangmu untuk mengatakannya sekali lagi." Suara yang menyenangkan namun beku keluar dari mulut gadis itu. Sekali kamu mendengar nada dinginnya, kamu akan tahu seberapa marahnya dia sekarang.

"Kamu ingin mendengarnya lagi, tentu." Sebuah senyum indah namun megah perlahan merayap di wajah Audrey. " Seorang wanita yang mengurung diri selama tujuh hari tuju..."

"Dasar binatang!"